Sekitar lima belas menit kemudian, suara pintu kamar mandi terbuka. Arafah yang sedang duduk di tepi ranjang mengangkat kepala, dan detik itu juga, napasnya menjadi tercekat. Bima keluar hanya dengan selembar handuk yang melilit di pinggangnya. Tetesan air masih mengalir di tubuhnya, menelusuri kulit kecokelatan yang tampak kokoh dan terawat. Otot-ototnya terlihat begitu tegas, d**a bidangnya naik-turun dengan ritme yang stabil, dan rambut basahnya berantakan dengan cara yang justru membuatnya semakin memikat. Arafah membatu. Oh, Tuhan. Dia sudah tahu bahwa Bima memiliki tubuh yang kuat—pria itu tentara, tentu saja ototnya terlatih dengan baik—tetapi melihatnya secara langsung seperti ini adalah pengalaman yang begitu berbeda. "Kenapa melamun?" Suara Bima yang terdengar ringan namun