BAB 10

971 Words
Adinata membuka matanya dan tersentak saat melihat Kirana tengah tidur dalam posisi duduk, tubuhnya bersandar di kepala ranjang. Wajahnya nampak sangat sedih dan tertekan. Adinata tau, rasanya kehilangan sosok yang paling kita sayang. Di tambah, Kirana sekarang adalah seorang yatim piatu. Adinata bangun dan duduk di samping Kirana. Ia lihat Kirana dan memperhatikanya. Ingin ia sentuh wajah itu, namun, ia ragu. Adinata menghentikan niatnya dan turun dari ranjang. Saat ingin melangkah, Adinata kembali menoleh ke arah Kirana dan kembali mendekat. Ia rebahkan tubuh Kirana dan ia selimuti. Barulah ia pergi ke kamar mandi. Adinata telah menyiapkan sarapan untuk semuanya walau di rumah Galen tersedia pelayan. Galen yang sudah bangun langsung duduk di kursi dan memperhatikan Adinata. "Mana istrimu?" Tanyanya sembari meneguk secangkir teh. "Sepertinya masih tidur." "Apa semalam ia masih menangis?" Adinata mengangguk. Galen menghela nafas. "Kasihan Kirana." Adinata membawa telur mata sapi dan ia taruh di meja. Lalu ia duduk berhadapan dengan Galen. "Tapi, aku harap ia tetap fokus merawat Nou." Galen tersentak. Ia taruh cangkir tehnya dan menatap tajam pada Adinata. "Kamu masih saja berfikir seperti itu?" Tanya Galen sedikit kesal. "Apa aku salah? Bukankah aku menikahinya karena untuk merawat Nou? Bukankah itu juga yang ayah katakan padaku?" "Yah... Mamam... Yah...." Galen dan Adinata tersentak. Mereka langsung menoleh ke arah belakang. Semakin tersentak saat melihat Kirana tengah berdiri dengan menggendong Nou. Wajahnya nampak muram. "Eh... Ki...Kirana, kamu sudah bangun?" Adinata nampak terlihat sangat canggung. Galen sendiri tak mampu menatap wajah Kirana karena rasa bersalahnya. Kirana mendekat karena Nou berusaha meraih sang ayah. Adinata pun bangun dan menggendong Nou lalu mengayunnya hingga Nou tertawa. "Kirana, sarapan," tawar Galen. Kirana hanya diam. Ia duduk dan memperhatikan semua hidangan di atas meja. "Adinata yang memasak ini semua." Kirana melirik Galen. Lalu beralih pada Adinata. Ia benar-benar tak pantas ada di sini. "Maaf." Baik Galen mau pun Adinata menatap bingung. "Maaf untuk apa?" Tanya Galen. "Maaf, jika aku tidak tahu diri. Sudah diberi tumpangan, tapi, bangun siang. Aku minta maaf." Galen dan Adinata terhenyak. "Kirana, kamu kan juga anak ayah, jadi...." "Bukankah, aku di sini untuk merawat Nou?" Galen tersentak. Adinata memalingkan pandangannya. "Kirana... Kamu...." "Tidak apa, Yah. Aku paham kok." Kirana bangun dan menggendong Nou begitu saja. Adinata menarik nafas dalam. Ia lirik Galen yang tertunduk di sana. "Maafkan aku, Ayah." "Bukan salahmu, ini salah ayah." Galen bangun dari duduknya dan memilih masuk ke dalam kamar. Di kantor Adinata menyibukkan diri. Ia tak mau merasa bersalah pada Kirana. Ia harus fokus dan menyelesaikan semua pekerjaannya dan pulang. Bagaimana pun, ia tetap khawatir pada Nou. Bagaimana baiknya Kirana, ia tetaplah orang baru bagi Nou. "Selamat siang, Pak." Adinata menghentikan kerjaannya dan melihat sekretarisnya. "Ya, ada apa?" Sekretaris itu masuk dan duduk di depan Adinata. "Saya minta maaf, Pak. Untuk semua kesalahan saya selama ini." Adinata nampak bingung. "Maksudnya?" "Sa...saya... Saya mau berhenti bekerja, Pak." Adinata nampak terkejut. "Loh, tapi, kenapa?" "Saya, mau menikah, Pak." Adinata tertegun. "Menikah?" Sekretaris itu mengangguk. "Tapi, kamu, kan, masih bisa bekerja?" Sekretaris itu menggeleng dengan cepat. "Tidak, Pak. Calon suami saya meminta saya untuk berhenti bekerja. Saya harus mengurus anaknya yang masih kecil." "Anak?" "Calon suami saya, maaf, duda anak satu, Pak." Adinata tertohok. Kenapa kejadiannya seperti dirinya dan Kirana? "Hmm... Tapi, aduh, bagaimana ya. Saya belum bisa minta kamu keluar sampai saya dapat sekretaris baru." "Tidak apa kok, Pak. Saya menikah bulan depan. Jadi, saya ada waktu sekitar 2 Minggu." "Hmm... Kenapa suamimu itu tidak minta jasa babysitter saja?" "Karena ia tak percaya pada orang lain, Pak." Sumpah, ini persis seperti dirinya. "Kenapa?" Adinata terus mencoba memancing. "Saya tidak tau, Pak. Yang saya tau hanya seperti itu. Ia tidak mau jika anaknya di asuh orang asing." "Kamu sayang sama anak tiri kamu?" Adinata mulai khawatir dengan jawaban sang sekretaris. Ia nampak diam menunduk. Terlihat gugup di depan Adinata. "Sebenarnya, saya belum siap punya anak, Pak. Tapi, saya mencintai calon suami saya ini. Untuk masalah anak, itu bisa urusan belakangan lah, anaknya lucu sih, cuma agak bandel. Kadang saya lelah sama tingkah anaknya. Tapi, mau bagaimana lagi, kalau mau dapet bapaknya, ya harus mau sama anaknya." "Saya tanya, kamu sayang sama anak tiri kamu?" "Nggak terlalu sih, Pak. Namanya juga anak tiri, Pak. Saya pasti langsung teringat sama ibu kandungnya lah, mikirnya gini. Ibunya masih hidup. Kenapa harus saya yang merawat? Tapi, calon suami nggak mau pisah sama anaknya. Jadi, saya harus terima." Adinata nampak mengeraskan rahangnya. Andai Kirana seperti sekretaris nya. Ia tak segan-segan untuk menceraikan Kirana saat ini juga. Entah kenapa, Adinata merasa khawatir sekarang. Ia tak ada di samping Nou. Apa yang Kirana lakukan ia tak tau persis. Bisa jadi, di depan Adinata ia bersikap baik. Tapi, di belakang Adinata dan Galen. Ia berubah jadi jahat. Oh, astaga! Adinata tak tenang. "Pak!" Adinata tersentak. "Ehm... Ya?" "Masih ada yang ditanya? Kalau tidak, saya mau kembali ke ruangan." "Oh, ya. Tidak ada, terima kasih. Saya berharap sih, kamu tidak keluar." "Maafkan saya ya, Pak." "Ya-ya, Its oke." Sekretaris itu pun pergi. Adinata pulang cepat hari ini. Ia tak mau hal buruk terjadi pada Nou. Ia belum begitu kenal pada Kirana. Di tambah saat ini kondisi psikis Kirana kurang baik. Harusnya ia berfikir tentang itu sebelum meninggalkan Nou dengan Kirana. Memang di rumah ada Galen. Tapi, ayahnya itukan sudah tua. Di tambah Galen adalah sahabat dari almarhum Papa Kirana. Aduh, semakin tidak tenang Adinata di buatnya. Adinata langsung membuka pintu dan rumah nampak sepi. Ke mana semua orang? Ia melirik jam tangannya masih jam 4 sore. Ia menoleh ke belakang. Kosong. Ke samping kanan dan kiri. Lalu maju dan menyusuri seluruh ruangan. ,Kosong. "Ayah! Nou! Kirana!" Teriaknya. Tetap tak ada jawaban. Ia pun hendak keluar dari rumah. Namun, saat melangkah yang kedua kali ia mendengar sebuah teriakan. "Astaga! Nou!!" Adinata melotot dan langsung marah. Ia tau itu adalah suara Kirana. Suara Kirana yang sedang membentak anaknya!! Sialan!!!  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD