BAB 2

1218 Words
Adinata terus memikirkan apa yang di ucapkan sang ayah. Sungguh, ia tak ada niat untuk menikah lagi. Karena jujur, Adinata belum bisa move on dari sang istri. Ia begitu mencintai Inggrid. Walau Inggrid memilih cerai dari pada bertahan dengan dirinya. Adinata tak marah. Karena ia tau, dirinyalah penyebab Inggrid benci dan tak betah dengannya. Untuk itulah ia tak mau lagi menjalin sebuah hubungan apalagi menikah. Keinginan untuk memuaskan hasrat tentu saja ada. Tapi, ia lebih memilih fokus pada anaknya saja. Ia mencoba menjadi ayah yang baik dan selalu ada untuk sang anak. Namun, sebagai laki-laki ia memang tidak bisa merangkap sebagai ibu sekaligus. Ia butuh bantuan sosok perempuan. Dan itu tidak mungkin Inggrid. Dan ia tak mau orang lain. Adinata terima saja tawaran sang ayah? Mungkin dengan begitu ia bisa mempercai Kirana untuk menjaga anaknya. Toh, Nou begitu dekat dengan Kirana padahal baru pertama bertemu. Bahkan sampai tertidur dalam gendongannya. Kirana juga terlihat sebagai perempuan baik dan ceria. Termasuk sabar juga mungkin. Ah, lupa. Keibuan. Sepertinya cocok untuk menjadi pengasuh Nou. Eh... Maksudnya ibu bagi Nou. Sepanjang hari ini Adinata terus memikirkan masalah itu. Hingga ia bersiap untuk pulang. Adinata melihat Nou tengah tidur di sofa yang ia beli khusus untuk Nou tidur. Ia beranjak dari duduknya dan mendekati Nou. Ia usap wajah imut anaknya. Putih bersih persis kulit ibunya. "Maafkan ayah, sayang. Karena ayah tidak becus merawat kamu. Kamu harus selalu ikut serta ke kantor bersama ayah. Harusnya kamu bermain di rumah dengan mainan yang layak. Bukan kertas dan pulpen yang hanya akan kamu sobek dan makan. Kasihan anak ayah." Adinata mengecup pipi gembulnya. Gemas sekali Adinata melihat anaknya sendiri. Rasanya seperti ingin ia makan. Persis seperti bakpau isi daging. Adinata pun mengangkat tubuh mungil Nou. Dan ia bawa keluar ruangan untuk pulang. ****** Galen terus mengatakan niatannya pada Adinata. Membuat pikiran Adinata teracuni. "Bagaimana? Jangan fikirkan dirimu saja. Anakmu juga butuh ibu. Masalah kamu terima dia atau tidak, cinta dia atau tidak. Itu tak masalah. Itu masalah kalian. Tapi, Nou? Ia butuh ibu seperti Kirana. "Nou akan sangat bahagia bila bersama dengan Kirana. Ia adalah gadis yang ceria dan penyabar. Kau lihat itu kemaren kan? Ayolah, apa lagi yang kau fikirkan?" Galen terus saja mendesak. "Ayah, apa ayah yakin, gadis itu mau menikahi duda beranak satu?" Adinata nampak ragu. "Kamu ini duda juga masih sangat keren, Nak. Tampan seperti ayah dulu. Siapa perempuan yang tidak mau denganmu?" "Aku bukan perjaka lagi, Ayah. Aku duda!" "Ayah tau, tapi, apa masalahnya? Kan belum di coba. Coba dulu, baru boleh ambil kesimpulan." "Entahlah, aku bingung." "Kalau kamu mau, ayah bisa langsung bilang pada Ibrahim nanti." "Ayah...." "Oke-oke. Pikirkan saja dulu." ***** Kirana... Tidak jelek juga. Ia baik dan menyayangi Nou. Apa yang kurang dari Kirana? Mungkin untuk Nou ia sangat cocok. Baiklah pikirkan lain kali saja. Adinata memejamkan matanya sembari memeluk Nou. Ya, malam ini ia memilih tidur bersama Nou. Untuk menghilangkan gundahnya. Adinata tidur dengan lelapnya. Ia bahkan bermimpi. Mimpi yang begitu indah. Ia melihat Nou sudah berlari mengejarnya dan memanggilnya ayah. Sungguh Adinata begitu bahagia melihat Nou tumbuh besar dan berlari mengejarnya. Adinata begitu mencintai Nou karena Nou begitu mirip ibunya. Andai saja Inggrid tidak minta cerai. Pastilah kini mereka hidup dengan begitu bahagianya. Pergi jalan-jalan di akhir pekan. Bersanda gurau dengan Nou dan Inggrid. Oh Tuhan... Sungguh Adinata rindu Inggrid. Adinata terbangun dengan air mata yang meleleh. Mimpinya seperti nyata. Hingga tak sadar ia meneteskan air mata. Ia usap pipinya yang basah. Ia tengok Nou yang masih terlelap. Dengkuran halus terdengar jelas. Ia usap dan kecup pipi bakpao milik Nou. Ia berharap Nou tumbuh layaknya anak lainnya. Ia tak mau Nou kekurangan kasih sayang. Andai, Inggrid tidak pergi meninggalkan Indonesia. Mungkin Nou tidak akan kehilangan sosok ibunya. Apakah Inggrid sudah menikah lagi? Bila iya, patah hati sekali Adinata. Ia masih terus berharap, jika sewaktu-waktu Inggrid ingin kembali padanya. Semoga saja saat itu Inggrid tidak terlambat. Adinata melirik foto yang terpajang di atas meja. Foto Inggrid dan dirinya saat Inggrid tengah hamil 8 bulan. Ia tak bisa menyimpan foto itu. Terlalu sayang jika hanya di simpan. Ia raih dan ia kecup. Jikalau aku menikah lagi. Semata-mata hanya untuk Nou. Hatiku hanya padamu, Inggrid. Ia peluk dan kembali tidur. ***** Galen mencoba mendatangi Ibrahim di rumahnya. Kebetulan Kirana juga tengah pergi keluar untuk berbelanja kebutuhan rumah. Ibrahim menyambut Galen dengan tetap tiduran di kasur. Karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk ia duduk. Punggungnya sudah tak mampu untuk menopang tubuhnya berdiri atau hanya sekedar bersandar. Terasa sangat sakit. Hingga ia hanya bisa merebahkan tubuhnya saja. "Jadi gimana masalah yang aku bilang di telepon?" Tanya Galen langsung. "Aku sih terserah aja, kalau anaknya mau ya nggak apa-apa. Kita bisa jadi besan. Dan anakku, bisa punya keluarga lagi kalau aku nggak ada nanti." "Heh! Ngomong apa sih!" Sentak Galen kesal mendengar jawaban Ibrahim. "Jangan pura-pura nggak tau, Len. Aku ini lebih tua dari mu, kita emang sahabat dari muda. Tapi, tetap saja usia ku lebih tua dari mu di tambah aku sakit-sakitan. Aku nggak bohong kalau aku udah mulai nggak kuat ngelawannya, Len." Galen terdiam. Ia tak sangka sahabatnya yang dulu begitu energik dan paling kuat diantara yang lain. Kini hanya terbaring lemah. "Len, aku akan merestui anakku, jika akhirnya mereka menikah. Toh, anakku juga tidak pernah berpacaran. Selama ini ia hanya sibuk bekerja dan merawatku saja. Aku kasihan padanya, Len. Ia masih muda, tapi, tak pernah merasakan kebahagiaan seperti teman-temannya yang lain. Aku malu, Len. Malu sama diriku yang sudah tua ini. Tidak bisa lagi membahagiakan anakku. Mungkin, dengan menitipkan ia padamu, aku akan mati dengan tenang, Len." Galen meneteskan air matanya. Ia tak kuasa menahan kesedihan hatinya. Akankah akhirnya Ibrahim meninggalkan dirinya lebih dulu? Sebelum ia sempat melihat cucunya nanti? "Ibrahim, kamu harus kuat dong. Anakmu aja belum nikah, belum punya cucu. Tega kamu ninggalin dia dalam kondisi seperti itu?" Ibrahim terdiam. Air matanya kembali menetes deras. Galen dengan telaten menghapus air mata sahabatnya. "Aku juga akan tua, Ib. Aku juga akan sama seperti mu. Melihat saja sekarang sudah tak seperti dulu. Ayo, kita bersama melihat anak-anak kita bahagia. Ib." "Jangan, kamu harus lebih sehat dari dulu, Len. Jaga anakku. Jaga cucukku." "Papa, bicara apa sih?" Galen dan Ibrahim tersentak. Mereka menoleh ke arah pintu. Kirana tengah berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. "Ran, Papa...." "Apa maksud, Papa bicara begitu? Apa?" "Ran, ini kenyataan yang tak bisa di sembunyikan, Nak. Papa lelah... Lelah dengan penyakit tua papa ini. Papa sudah tak bisa apa-apa, Rin. Hanya menyusahkan, Ran, saja kerjaanya." "Cukup! Papa, nggak sayang sama Kirana!" Kirana membanting pintu dan masuk ke dalam kamarnya. Ia kunci dan ia naik ke ranjang. Ia juga menangis tersedu-sedu. Ia tau, ia paham. Orang tuanya telah menua. Kesehatan menurun. Ia tau, sewaktu-waktu orang tuanya akan di ambil oleh Tuhan. Tapi, haruskah di perjelas? Haruskah di ungkapkan seperti ini? Tak bolehkah jika Karina berharap papanya sembuh? Papanya kembali ceria seperti dulu lagi? Tak bolehkah?? Menikah? Dengan anak om Galen yang melihatnya saja ia tak mau? Haruskah Kirana lakukan ini sebagai harapan orang tua nya yang terakhir? Haruskah ia korbankan perasaannya demi orang tuanya? Haruskah??? Kirana menyesal pulang lebih awal. Jika ia tau akan mendengar hal gila ini. Lebih baik ia lebih lama di tempat kerjanya. Kirana menutup tubuhnya dengan selimut. Ia ingin melupakan semua yang ia lihat dan dengar. Ia harap esok akan baik-baik saja.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD