“Jadi mereka akan berhubungan lagi malam ini?” gumam Rayya sambil tersenyum kecut balik mendengarkan perbincangan yang terjadi di ruang keluarga.
Rayya tidak lagi menangis untuk meratapi nasibnya yang harus berbagi suami dengan wanita lain. Seolah hatinya sudah mati rasa dengan rangkaian kejadian yang menimpanya. Hanya satu alasan kenapa dirinya mau bertahan sampai sejauh ini.
Rayya kembali memusatkan perhatiannya pada layar laptop yang sedang menampilkan laman putih yang masih kosong. Hanya ada kursor yang berkedip-kedip di sudut kiri atas.
Kemudian tangannya terangkat dan jemarinya menari dengan luwes di atas keyboard mengisi layar yang semula putih kini dipenuhi dengan narasi dan dialog yang bersahutan. Rayya kembali menumpahkan kesakitannya dalam bentuk tulisan dan mengunggahnya di internet.
Selama setahun lebih Rayya menyembunyikan kegiatannya dari mertua bahkan suaminya sendiri. Awal mulanya, Rayya memang memiliki hobi membaca novel sejak masih remaja dan itu mengantarkannya membuat karya tulis fiksi yang hanya ia simpan seorang diri tanpa banyak yang tahu termasuk orang tuanya.
Saat beranjak dewasa, Rayya sedikit mulai meninggalkan kegiatan menulis lantaran sibuk dengan pendidikan dan mulai meniti karir yang berbeda dari yang diharapkan keluarga. Meski mendapatkan pertentangan dari kedua orang tua, Rayya tetap berprinsip sehingga membuat mereka menyerah. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Harris dan memilih untuk merelakan karirnya yang bahkan baru ia mulai.
Hobi yang sempat terlupakan itu kembali muncul ke permukaan ketika Rayya mulai merasa kesepian di tahun keempat pernikahannya dan bertepatan dengan itu wadah menulis berbasis online sudah mulai bermunculan. Diam-diam, Rayya mulai mengunggah karyanya yang baru dengan menggunakan nama samaran.
Banyak yang mengapresiasi karyanya sampai Rayya bisa mendapat uang saku yang didapatkannya sebagai respon positif dari orang yang menyukai tulisannya. Hal itu membawanya pada sebuah kesempatan besar dengan sebuah platform online yang rela memberikan nominal yang besar untuk sebuah jerih payahnya.
Rayya mulai mendapatkan kembali dirinya dan bisa bebas berekspresi tanpa banyak yang tahu identitasnya termasuk suaminya sendiri. Dan kini, Rayya merasa sedikit bersyukur karena memiliki kegiatan yang bisa membantunya mengalihkan dari dunianya yang sedang hancur berantakan.
Malam ini, Rayya tahu dirinya pasti tidak bisa tidur. Ia membiarkan jemarinya menari lincah di atas keyboard dan menghasilkan sebuah tulisan yang keluar dari dalam hatinya.
***
Keesokan harinya, Harris mengetuk pintu kamar Rayya lagi. Kali ini, Rayya membuka pintu kamar tanpa keributan seperti sebelumnya. Terlihat Harris sudah siap dengan setelan jas berwarna hitam.
“Kamu mau pergi lagi?” tanya Harris yang bingung karena melihat Rayya sudah berpakaian rapi pagi hari ini. Namun, terlihat Rayya habis tidak tidur semalaman dari lingkaran hitam di bawah matanya.
“Iya, aku ada urusan hari ini.” Rayya berbohong. Bagaimana bisa ia berada di rumah dan berhadapan dengan raut wajah kemenangan dari Nadya?
Bukannya Rayya takut. Ia hanya ingin kedamaian pada jiwa dan raganya.
“Kesini sebentar, Sayang. Aku mau bicara.” Harris mengamit tangannya dan mengajaknya duduk di pinggiran kasur.
Sesaat Harris meraba bedsheet yang terasa dingin dengan perasaan rindu karena sudah tiga minggu lebih pria itu tidak pernah menyentuh Rayya. Bertapa ia merindukan Rayya, jika bukan karena kejadian ini mungkin saat ini Rayya tidak begitu dingin padanya.
“Ada apa, Mas?”
Lamunannya terpecah. Harris menoleh dan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan pandangannya berhenti di sudut ruangan. Terdapat laptop dengan brand ternama yang ditaruh di atas meja kecil.
“Aku baru liat laptop itu. Kamu baru beli?”tanya Harris dengan nada suara lembut ketika menoleh kembali kepada Rayya.
Mata Rayya mengikuti pandangan suaminya.
“Oh iya, aku memang baru beli beberapa hari yang lalu.”
“Aku rasa itu laptop keluaran terbaru dan harganya masih cukup tinggi. Dan aku tidak memberikanmu uang saku sebanyak itu.”
“Aku beli itu pakai uang tabunganku, Mas.” Rayya mendesah pelan yang tidak sepenuhnya jujur.
Harris tidak begitu banyak memberinya uang karena tahu jika Rayya hanya akan di rumah saja. Kebanyakan Harris memberikannya uang untuk kebutuhan rumah. Dan ketika ada kalanya mereka keluar rumah, semua pengeluaran ditanggung oleh Harris.
Harris mengangguk kepala dan menghembuskan napas lega karena jawaban Rayya sesuai dengan apa yang ia pikirkan.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Kenapa, Mas? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Harris mendesah pelan. “Tadi malam, Mama dan Nadya menaruh rasa curiga padamu.”
“Makanya kamu tanya hal ini untuk menyakinkanmu?”
Harris mengangguk.
“Kamu jawab apa sama mereka?”
“Sama seperti jawaban kamu. Makanya aku lega kalau apapun yang menjadi kecurigaan Mama dan Nadya itu tidak terbukti. Dan aku percaya sama kamu, Rayya.”
Mau tidak mau Rayya tersenyum kecut. “Tenang aja, Mas. Aku nggak akan menghambur-hamburkan uang anak sulungnya.”
Harris menoleh terkejut dengan kesinisan dari kalimat Rayya untuk pertama kalinya.
“Apa terjadi sesuatu sampai kamu ngomong begitu?”
Rayya mengangguk lemah. “Mama menuduh aku hanya menjadi beban dari suamiku karena tidak punya penghasilan tapi juga gak bisa kasih anak.”
Harris mendesah pelan. “Rayya, aku janji padamu, setelah semua ini selesai. Kita bisa pergi dari rumah ini dan membangun rumah tangga di rumah baru.”
Rayya hanya menatap Harris dengan tatapan yang hampa. Tidak ada lagi semangat dari dalam dirinya untuk mengaminkan janji yang keluar dari mulut Harris.
“Aku hanya berharap kamu bisa menepati semua janji-janji kamu, Mas.”
Tangan Harris terangkat dan menangkup wajah Rayya. “Aku hanya ingin kamu sedikit lebih bersabar. Kamu mau, kan?”
Lama Rayya menatap Harris. Meski bertentangan dengan hatinya tapi akhirnya Rayya mengangguk.
Harris mendesah lega dan perlahan pria itu mendaratkan bibirnya di atas kening Rayya. “Hari ini mau kemana?”
“Ke toko buku saja palingan, ada buku yang mau aku beli.” Rayya menjauhkan diri dan berdiri sejauh mungkin untuk memberikan jarak diantara mereka. Harris menyadarinya tapi ia memilih untuk menghargainya.
“Pulangnya jam berapa?”
Rayya terdiam sebentar. “Aku belum tahu.”
“Gimana kalau nanti aku jemput kamu dan kita makan di luar?”
Mendengar itu sontak saja membuat Rayya menoleh dan menatap suaminya. “Kamu yakin?”
“Udah lama kan kita nggak makan di luar berdua saja? Lagipula, biar kamu pulang sama aku nggak sendirian lagi.”
Rayya terdiam sesaat sebelum akhirnya ia setuju. Harris bangkit dan mengajak Rayya untuk sarapan bersama.
“Aku kangen masakanmu.”
“Nadya atau Mama pasti udah nyiapin sarapan.” Rayya berusaha mengelak.
“Kalau begitu, buatkan aku kopi bisa dong?” Harris bersikeras.
Rayya akhirnya mengangguk. Tak sampai hati melihat Harris berusaha sebaik mungkin kepada dirinya padahal dia tahu kalau hati Rayya masih porak poranda apalagi setelah Harris menghabiskan malam bersama Nadya.
***
Mereka akhirnya keluar kamar bersama menuju meja makan yang ternyata sudah tersaji beberapa hidangan makanan. Benar saja, Nadya dan mertuanya sudah menyiapkan menu sarapan untuk Harris.
“Rayya mau ikut sarapan juga?” tanya Herlina yang terkejut begitu melihat kemunculan Rayya.
Karena sudah tiga minggu Rayya tidak lagi ikut makan bersama ataupun ikut nimbrung ketika Nadya dan Herlina sedang bersantai.
Sementara Nadya muncul dari dapur dengan membawakan piring berisi nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi diatasnya sambil bersenandung. Terlihat sekali bahwa wanita itu memiliki suasana hati yang bagus pagi hari ini.
“Loh ada Mbak Rayya?” tanyanya ketika matanya bersiborok dengan Rayya.
Rayya tidak menjawab. Terlihat di meja makan hanya tersedia tiga piring untuk Nadya, Harris dan juga Herlina.
Tentu dirinya tahu bahwa kehadirannya bukan lagi yang diharapkan di keluarga ini.
“Aku pikir mbak Rayya nggak ikut sarapan sama kita, jadi aku buatkan nasi goreng hanya tiga porsi.”
“Nggak apa-apa, aku memang tidak akan sarapan kok.”
Baik Nadya dan juga Herlina saling bertatapan.
“Aku cuma mau bikinin Mas Harris kopi.” Rayya hendak berjalan melewati Nadya sebelum akhirnya wanita itu menyela.
“Nggak usah repot-repot, Mbak. Biar aku yang bikinin Mas Harris kopi.”
“Nadya.” Harris memanggil menghentikan langkah Nadya.
Wanita berambut panjang sepunggung itu menoleh dengan mata berbinar dan bibir yang merekahkan senyuman.
“Aku mau kopi bikinan Rayya.”
Senyuman di bibir Nadya sirna. Tatapannya yang berbinar juga seketika menjadi gelap. Nadya menoleh melihat Rayya yang masih diam mematung di tempatnya tengah menatap Nadya dengan seulas senyum miring yang terkesan mengejeknya.
Detik itu juga Nadya menatap Rayya dengan pandangan yang tidak bersahabat.
***