Perubahan suasana hati Nadya yang semula terlihat ceria menjadi lebih pendiam. Sementara Harris juga lebih memilih sibuk dengan ponselnya dan Herlina yang diam gelisah memperhatikan suasana pagi hari itu yang tampak kurang bersahabat ketika Harris mengajak Rayya ikut sarapan pagi ini.
Tak lama kemudian, Rayya datang membawa nampan berisi satu cangkir kopi untuk Harris dan bread toast dan teh hijau untuk dirinya.
“Ini kopinya, Mas.” Rayya menaruh cangkir kopi di meja. Tepat di samping hidangan nasi goreng yang dibuatkan oleh Nadya. Yang belum pria itu sentuh. Rayya menyunggingkan senyum simpul.
“Terima kasih, Sayang. Kamu nggak ikut makan?”
“Nggak, Mas. Ada hal yang kerjakan di kamar jadi nggak apa-apa kan kalau aku makan di kamar?” Rayya mengangkat piring kecil makanannya yang terlihat sederhana.
Harris mengangguk dan memberikan senyumannya.
Rayya membalas senyuman Harris dan memberikan belaian pada bahu suaminya. Dari ekor matanya ia bisa melihat Nadya mendelik tak suka dan meremas tangannya sekuat tenaga.
Hal itu kembali membuat Rayya melebarkan senyumannya dengan rasa puas. Rayya sengaja melakukan itu semata-mata ingin memberitahu kepada mertua dan wanita lain di rumah ini bahwa Rayya dan Harris masih bersikap mesra.
‘Karena aku masih istri sah Mas Harris.’
Meski pada kenyataannya bertolak belakang tapi setidaknya Rayya masih mempertahankan harga dirinya.
“Aku masuk duluan ke kamar ya. Maaf aku nggak bisa anterin kamu ke depan.”
“Nggak apa-apa, nanti berangkatnya hati-hati ya.”
Rayya mengangguk dan kemudian berlalu tanpa perlu repot berbasa-basi dengan Nadya dan ibu mertuanya.
‘Jika Mama bisa memperlihatkan sifat aslinya, kenapa aku tidak bisa?’ lanjut Rayya dalam hatinya sebelum akhirnya menutup pintu kamar dan menguncinya.
Herlina mendengus sebal. “Mau pergi lagi tuh si Rayya?”
“Iya katanya mau urusan dan ke toko buku,” ujar Harris lalu menyeruput kopi hitam panas tanpa gula yang dibikinkan Rayya untuknya.
Kemudian Harris memejamkan mata menikmati rasa yang selama ini ia rindukan. Hal itu tak luput dari pandangan Nadya yang memang sejak tadi tengah menaruh perhatian penuh pada gerak-gerik Harris.
“Kalau cuma mau dibikinin kopi, Nadya juga bisa. Kemarin juga dia sempat bikin kamu kopi kan disaat istri kamu mendekam di kamarnya terus?” tanya Herlina menyadari kegelisahan Nadya.
“Aku rasa juga kita harusnya memaklumi sikapnya yang berdiam diri di kamar terus itu karena kita. Lagipula, aku rindu kopi buatan Rayya.”
Sudut bibir Herlina berkedut.
Nadya langsung mendongak. “Kopi buatanku nggak enak ya, Mas?”
“Bukan nggak enak, tapi aku lebih suka kopi buatan Rayya.”
“Memangnya ada bedanya?” Herlina mendengus dari tempatnya.
Harris hanya mengedikkan kedua bahunya. “Mungkin kamu harus tanya Rayya bagaimana dia biasa buatkan kopi buatku.”
Remasan pada jemarinya semakin kencang dan Nadya bisa merasakan napasnya naik turun karena ritme jantungnya yang berdegup kencang lantaran menahan gelombang emosi dari dalam hatinya.
Semuanya terdiam. Suasana menjadi sunyi. Harris tampak menikmati setiap tegukan kopi hingga terlihat mengabaikan masakan yang sudah Nadya bikinkan untuknya.
Hingga saat Harris menyelesaikan tegukan terakhir dari cangkir kopinya, pria itu langsung berdiri.
“Makanannya nggak dihabiskan, Mas?” tanya Nadya dengan suara parau.
Harris menggeleng. “Aku sudah cukup kenyang.”
“Padahal kamu baru makan dua sendok saja, Mas.” Nadya menatap Harris dengan sendu.
“Segitu sudah cukup buatku. Aku lebih suka sarapan yang lebih ringan sebenarnya tapi terima kasih atas masakannya. Aku berangkat dulu ya.”
“Mau aku bungkusin buat bekal makan siang, Mas?” Nadya bersikeras.
Sekali lagi Harris menggeleng. “Tidak usah. Oh ya, kemungkinan nanti sore aku akan pulang terlambat. Jangan menungguku.”
“Kamu mau lembur, Mas?”
“Bukan. Aku mau makan malam dengan Rayya di luar.”
Nadya tidak sanggup merespon. Hatinya mendadak kelu dan ada gejolak perasaan yang menghimpitnya. Jenis perasaan yang sangat ia tahu dan ia membencinya.
Nadya cemburu.
Kemudian Harris pergi meninggalkan Nadya yang termenung di tempatnya sambil menatap punggung pria yang ia cintai. Pria yang sudah lama ia incar karena pesona dan wibawanya yang meluluhkan hati Nadya yang sempat skeptis untuk kembali jatuh cinta pasca hubungannya yang kandas dengan trauma yang cukup besar.
Ia jatuh cinta pada Harris saat pertama kali bertemu. Di sebuah acara pernikahan Danira dan Fariz. Kala itu dirinya hampir terjatuh karena tersandung oleh gaun pestanya sendiri ditolong oleh Harris yang dengan sigap menarik lengannya.
Nadya memang terselamatkan dari benturan kerasnya lantai ballroom hotel meski sudah dilapisi oleh karpet tebal. Tapi minuman yang ia pegang tak terelakan lagi menumpahi gaunnya dan membasahi area d**a.
Untungnya, saat itu pesta sudah hampir selesai. Harris memberikannya jas yang ia kenakan kepada Nadya untuk menutupi bagian yang kini sudah terekspos serta membawanya memasuki area keluarga dan menyuruhnya tunggu disana sampai pesta usai.
Saat itulah Nadya kembali merasakan desiran pada hatinya. Selama hidupnya ia tidak pernah mendapatkan perhatian dari pria manapun, termasuk hubungannya yang kandas karena mantan pacarnya suka melakukan kekerasan terhadapnya. Ketika sosok pria yang selama ini ia idamkan akhirnya muncul, Nadya langsung jatuh hati.
Harris adalah sosok pria yang selama ini ia cari.
Namun, ketika ia akhirnya tahu bahwa Harris merupakan Kakak Ipar Danira, harapannya pun kandas. Nadya berusaha melupakan sosok Harris tapi ternyata tidak mudah. Padahal Nadya dan Harris tidak banyak interaksi dan bertemu tapi sosok Harris sudah melekat ke dalam relungnya.
Sampai akhirnya kesempatan dimana Nadya bisa mengenal Harris pun datang tanpa ia pernah duga sama sekali.
Herlina datang menawarkan dirinya menjadi istri kedua Harris untuk melahirkan cucunya. Tanpa pikir panjang, Nadya menerima tawaran Herlina.
Nadya pikir, ia bisa meluluhkan hati pria itu ketika akhirnya kesempatan itu datang. Tapi nyatanya ia tidak bisa sedikitpun mengalihkan perhatiannya dari istrinya.
“Nadya, jangan begitu dipikirkan perkataan Harris.” Suara Herlina menyadarkan lamunannya.
“Ini nggak seperti yang Mama tawarkan.”
Herlina mendesah pelan. “Mama nggak tau kalau ternyata Rayya begitu teguh pendiriannya.”
“Tapi aku heran kenapa Mbak Rayya masih mau mempertahankan pernikahannya padahal suaminya sudah menikah lagi?”
“Harris yang bersikeras untuk tidak mau menceraikan Rayya. Sejak awal itulah persyaratannya dan Mama tidak bisa menuntut terlalu banyak.”
“Dan Mbak Rayya menerima gitu aja kehadiran aku?”
Herlina terdiam sesaat. “Ternyata dia cukup berlapang dada.”
“Atau mungkin ada hal lain yang disembunyikan?”
Herlina dan Nadya saling berpandangan sementara benak masing-masing diantara mereka sudah berspekulasi liar.
“Kamu tenang aja, Nadya. Selama kamu berhasil hamil, perhatian Harris pasti akan sepenuhnya buat kamu dan perlahan Rayya akan tersisihkan. Kamu masih mau untuk berjuang mendapatkan hatinya Harris kan?”
Nadya kembali berpandangan dengan ibu mertuanya itu lalu mengangguk mantap. Ia sudah bertekad akan menggunakan cara apapun untuk menarik perhatian Harris.
***
Pagi selanjutnya, Nadya tampak berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan perasaan yang gelisah. Matanya beberapa kali melihat ke arah nakas di samping ranjang yang ternyata ada sebuah benda pipih panjang sedang tergeletak begitu saja.
Seumur hidupnya, Nadya tidak pernah menginginkan sesuatu begitu besarnya sampai saat ini ia menginginkan Harris.
Kesempatan berada di samping Harris dan terlibat sebuah perjanjian. Nadya merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan posisinya. Bahkan untuk bisa menarik perhatian pria itu.
Ditambah, sepertinya Rayya punya pendirian yang cukup teguh untuk bertahan. Dan harus rela berbagi suami dengannya. Yang sampai saat ini Nadya tidak habis pikir, kenapa wanita itu mau?
Tampaknya hubungan Rayya dan Harris sudah sedikit membaik setelah Harris mengajak Rayya makan malam. Dan Nadya harus menahan diri ketika melihat malam itu Harris tidur dalam satu kamar yang sama dengan Rayya.
Tapi Nadya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tak berdaya dan itu hal yang paling ia benci.
“Satu-satunya cara untuk menarik perhatian Mas Harris adalah dengan memberikan apa yang Mbak Rayya nggak bisa beri selama ini.”
Nadya berhenti melangkah dan menoleh ke arah test pack yang teronggok di atas meja.
“Hanya satu. Satu cara.”
Perlahan Nadya mendekat dan mengambil alat tes kehamilan itu dan membaca hasilnya. Seketika itu juga raut wajahnya berubah.
***