“Tapi hasil tes kehamilan itu bisa aja salah, Ma. Aku masih belum yakin.” Nadya menunduk.
“Mama yakin kamu beneran hamil. Tapi untuk memastikan kamu dan Harris harus segera ke dokter ya untuk periksa kandunganmu.”
Mendengar itu, Harris yang masih bergeming sesaat pun seketika sadar dan matanya langsung berbinar begitu mengetahui kabar yang sudah menjadi impiannya sejak lima tahun terakhir.
“Nadya. Mulai sekarang, katakan apapun yang kamu inginkan, aku akan berusaha untuk memenuhi permintaan kamu,” kata Harris seraya menggenggam tangan Nadya.
Tak jauh dari tempat mereka saling berpelukan, ada Rayya yang mematung di tempatnya berdiri sambil memegang sebuah nampan membawa secangkir teh untuk Nadya yang bergejolak karena tangannya yang bergetar hebat.
“Ternyata Mas Harris begitu ingin punya anak.” Rayya bergumam lirih. “Seharusnya aku yang berada di sana yang kasih kabar bahagia dan disambut dengan hangat.
Melihat itu, jantungnya seperti diremas sekuat tenaga sehingga membuatnya kesusahan untuk bernapas.
Orang yang pertama menyadari kehadiran Rayya dan masih mematung di tempatnya berdiri adalah Herlina. Ibu mertuanya itu menatap Rayya dengan sorot mata semakin menunjukkan rasa jijik terhadap Rayya dan sekilas Rayya melihat kalau Herlina menyunggingkan senyuman yang meremehkan dirinya.
“Kamu sudah dengar kan, Rayya? Berita kehamilan Nadya?” tanya ibu mertuanya. Tatapannya seolah menyiratkan sedang meremehkannya.
Rayya mengerjap mata beberapa kali sebelum akhirnya melangkah mendekati Nadya.
“Selamat atas kehamilanmu, Nadya.” Suara Rayya tercekat.
Wanita berparas cantik dan berambut panjang itu menyunggingkan senyum yang terlihat tidak tulus. “Terima kasih, Mbak Rayya.”
Rayya memaksakan senyumannya.
“Ternyata kamu mual-mual karena ini? Gimana sekarang keadaannya?”
“Sekarang sudah lebih baik. Maaf ya Mbak, aku nggak memakan sarapan buatanmu.”
“Nggak apa-apa, aku paham. Ini aku buatkan teh hangat.”
Nadya menerima cangkir porselen cantik salah satu koleksi Herlina itu kemudian meminumnya tanpa drama.
“Kamu lagi kepengen makan apa, Nadya? Kayaknya kamu lagi nggak bisa makan sarapan roti yang diolah seperti itu. Mau Mama buatkan bubur ayam?”
“Bubur ayam, boleh, Ma.”
“Kalau buat bubur dari awal itu mungkin akan memakan waktu yang lama. Aku yang belikan saja gimana? Ada bubur ayam langganan di depan komplek dan kebetulan rasanya enak sekali.” Harris berkomentar.
Sekali lagi Nadya mengangguk dan memperlihatkan sorot mata yang berbinar.
Di tengah euforia kegembiraan yang tengah menyelimuti Herlina dan Harris, Rayya perlahan menyelinap keluar dari lingkaran yang memaksanya memasang senyum palsu dan wajah kesukacitaan menanggapi berita kehamilan Nadya.
Rayya memasuki kamarnya dan menumpahkan air mata yang sejak tadi ia bendung. Cairan bening itu sukses membasahi pipinya deras dan tidak berhenti hingga lima belas kemudian.
Ia kembali menangis dalam diam.
Tanpa ada yang mencarinya, tanpa mau repot menanyakan bagaimana keadaannya.
‘Bukankah ini yang aku inginkan? Tapi kenapa aku malah menangis? Ini memang kabar gembira buat semuanya. Nadya berhasil hamil dan rencana Mas Harris akan segera terealisasi. Hanya sembilan bulan, Rayya. Kamu harus kuat sampai waktu itu.’
***
Nadya tidak kuasa menahan senyumnya ketika akhirnya Harris mengajaknya pergi dan dirinya saat ini sedang berada dalam satu mobil yang sama dengan pria itu keesokan harinya.
Harris sengaja menunda keberangkatannya ke kantor dan menggeser semua jadwal yang ada hanya untuk menemani Nadya untuk kontrol pertama kali ke dokter kandungan.
“Akhirnya aku bisa berduaan dengan Mas Harris keluar rumah. Meski cuma ke dokter kandungan, tapi aku senang. Karena selama ini aku bosan dan kesepian karena di rumah aja.”
Dari sebelahnya, rahang Harris berkedut. “Nanti kalau kamu mau keluar rumah sekedar jalan-jalan atau kemanapun, bilang saja. Akan sebisa mungkin aku lakukan demi anakku yang ada di dalam perutmu.”
Tidak dapat dipungkiri, Harris pun turut bersuka cita menyambut berita kehamilan yang selama lima tahun ini sudah ia tunggu-tunggu. Meski bukan dari rahim Rayya, tapi anak yang ada di dalam kandungan Nadya tetaplah darah dagingnya.
Selama ini dia berjuang untuk tidak menunjukkan kekecewaan setiap kali Rayya memberitahu bahwa usaha mereka gagal lagi hanya untuk menguatkan Rayya.
Nadya menyunggingkan senyuman kikuk.
“Kita ke dokter kandungan yang menangani Danira dulu ya. Katanya Dokter itu yang paling direkomendasikan.”
“Ehm, Mas. Sebenarnya aku mau bilang sesuatu.”
“Apa?”
“Boleh nggak kalau aku yang menentukan tempat kontrol kandungan?”
Harris menoleh sesaat. “Kenapa?”
“Karena sepertinya aku kurang nyaman kalau dokternya laki-laki.”
“Kamu nggak usah khawatir, Nadya. Meskipun dokternya laki-laki kan ada suster wanita yang bisa bantuin kamu.”
Nadya meremas pergelangan tangannya gelisah.
Harris yang tampak melihat kegelisahan Nadya pun akhirnya setuju. “Ya sudah kalau kamu maunya di tempat lain boleh. Yang penting kamunya nyaman.”
“Makasih, Mas.”
“Kamu ada rekomendasi dokter siapa dan di rumah sakit mana? Mumpung kita belum jauh dari rumah.”
“Aku punya dokter kenalanku, namanya Sarah. Alamatnya nggak terlalu jauh dari sini.” Nadya menyebutkan nama tempat dan alamat kepada Harris.
“Klinik bersalin? Bukan rumah sakit?”
Nadya mengangguk. “Dia sebelumnya kerja di rumah sakit dan sekarang dia sudah membuka kliniknya sendiri dengan konsep bersalin seperti di rumah. Tapi perawatannya oke kok. Aku sudah pernah liat testimoninya.”
Cukup lama Harris berpikir sebelum kemudian dia mengangguk setuju.
“Baiklah.”
Nadya pun tak kuasa mengulum senyumnya lalu mengambil ponsel dan mengetik pesan untuk seseorang.
Klinik bersalin yang terletak di sebuah perumahan elit ibu kota ini mengusung tema persalinan yang lebih intimate dan membuat Ibu merasa nyaman seperti di rumah sendiri. Selain itu ada persalinan water bird yang sedang banyak diminati oleh para ibu sebagai opsi bersalin mereka.
Nadya dan Harris berjalan memasuki rumah yang besar dan luas. Bagian depan klinik ada meja tinggi yang cukup besar yang diperuntukkan untuk pendaftaran pasien baru.
“Dokter Sarah masih di perjalanan. Silakan tunggu di depan ruangan di sebelah sana ya, Bu.” Wanita itu menunjuk ke sebuah lorong panjang yang bersebelahan dengan ruang terbuka.
“Konsepnya bagus. Ada ruang terbukanya.” Harris berkomentar seraya berjalan bersama Nadya menuju ruang praktek dokter yang letaknya di depan taman kecil di tengah rumah dengan atap terbuka.
Nadya menyetujuinya. “Iya, maka dari itu aku kepingin kesini.”
Karena Nadya mendapatkan antrean pertama maka tidak ada yang menunggu di depan ruangan dokter. Ia lalu duduk di salah satu sofa empuk yang menghadap ke area taman.
Baik Harris maupun Nadya sama-sama diam. Keduanya tampak canggung dan berkutat dengan pikiran masing-masing.
Harris dengan perasaan antusias untuk pertama kalinya, tapi diselimuti dengan rasa bersalahnya terhadap Rayya.
Sementara Nadya dengan pikiran lain yang bertolak belakang. Ia gelisah. Sampai harus meremas kedua tangannya diam-diam.
Tak menunggu waktu yang lama, Dokter Sarah akhirnya datang menyapanya singkat sebelum akhirnya memasuki ruangan dokter. Degup jantung Nadya semakin berdetak kencang, tangannya sudah berkeringat.
“Mas, mau ikut masuk?” tanya Nadya berhati-hati.
“Iya, aku mau lihat secara langsung apa yang dikatakan dokter.”
Nadya mengangguk pelan. Bersamaan dengan itu, seorang perawat muncul dari balik pintu dan memanggil namanya. Nadya berdiri diikuti dengan Harris dan berjalan memasuki ruangan. Namun, Harris menghentikan langkahnya karena ponselnya berbunyi.
“Kalau penting, angkat saja, Mas.”
“Tapi…”
“Nggak apa-apa.”
“Baiklah, aku menyusul ya.”
Nadya melangkah masuk dan sudah di sambut oleh Sarah, temannya yang bertemu di salah satu kondisi yang tidak terduga.
Wanita bertubuh sedikit berisi dengan jubah putih khas dokter itu pun menyambut kedatangannya dengan senyuman hangat. “Halo, Ibu Nadya?”
Nadya menggigit bibir bawahnya dan tersenyum kikuk. “Halo, Dok.”
“Aku nggak tahu kalau kamu sudah menikah. Kenapa nggak mengundangku?”
“Ehmm.. Ceritanya cukup panjang.”
“Baiklah. Ada apa, Nad? Tadi aku membaca pesanmu tapi aku masih kurang ngerti.”
Nadya menarik napas panjang dan melirik sekilas kepada perawat yang tampak sedang sibuk dengan dokumen rekam medisnya.
“Aku butuh bantuanmu, Sarah.” Nadya berbisik dan menatap Sarah dengan sorot mata tajam.
***