Bab 10: Terdesak

1113 Words
Herlina memeluk Nadya sekali lagi setelah wanita itu menunjukkan foto hasil USG yang ia lakukan di dokter sama Harris beberapa menit yang lalu. “Tuhkan, Mama bilang apa, Harris? Feeling orang tua itu nggak pernah salah. Keluarga kita nggak ada keturunan nggak bisa punya anak.” Mendengar itu, Nayda menahan senyum. Harris tidak menggubris. Matanya melirik pintu kamar Rayya yang tertutup rapat. “Rayya di kamar sejak tadi?” “Lagi keluar rumah dan belum kembali. Kamu nggak tau?” tanya Herlina dengan wajah masamnya. Harris mengerutkan kening. Heran karena biasanya Rayya akan memberitahunya jika ada urusan yang mengharuskan keluar rumah. Kemudian Harris mengambil ponselnya dan baru menyadari bahwa ada pesan masuk dari Rayya satu jam yang lalu. Pastilah saat itu Harris masih menyetir mobil. Rayya: Ada yang perlu aku beli. Aku akan pulang segera setelah urusannya selesai. “Oh, iya. Aku baru baca pesannya satu jam yang lalu.” Herlina memutar bola matanya. “Dia ini sibuknya kayak orang kantoran aja, tiap hari ada aja alasan keluar rumah. Pasti nanti pulangnya malam.” “Aku tidak keberatan kok. Aku sudah beri dia izin.” Harris mengedikkan bahunya. Herlina mendengus pelan kemudian perhatiannya kembali tertuju pada Nadya. “Apa kata Dokter Firman?” “Ehm, sebenarnya…” “Kami tidak jadi ke Dokter Firman.” Harris yang menjawab. “Loh kenapa? Dokter Firman dulu yang menangani kehamilan Danira. Kata Fariz juga dia dokter yang paling direkomendasikan.” “Aku kurang nyaman karena dokternya laki-laki, Ma. Kebetulan aku punya teman dokter kandungan dan buka klinik dan periksa kandungan disana. Aku dengar Mama yang merekomendasikan dokter Firman, maaf ya, Ma.” Herlina masih memandang Nadya dan Harris bergantian kemudian menghela napas panjang. “Harusnya Mama tanya sama kamu dulu. Ternyata kamu lebih suka sama dokter kandungan yang sesama wanita dan karena kamu dan Danira berteman baik, jadi Mama pikir kamu nggak keberatan.” Nadya mengangguk pelan. “Ya sudah, yang penting kandungan kamu sehat kan?” Nadya mengangguk. “Semuanya baik-baik saja, sudah enam pekan.” “Nayda, kamu harus jaga baik-baik kandunganmu ya. Ini adalah anak pertama Harris.” Herlina menggenggam kedua tangan Nadya erat dan sorot mata yang penuh arti. “Pasti, Ma.” “Kamu pasti capek. Masih mual-mual? Mama bikinin semur daging sih. Atau kamu lagi mau makan apa?” “Kebetulan banget, aku memang lagi kepengen banget makan semur daging,” tutur Nadya dengan mata berbinar. “Syukurlah. Waktunya tepat. Kalau kamu butuh apa-apa, kasih tahu Mama atau Harris ya.” “Hmm… Sebenarnya ada sih, Ma.” “Kamu mau apa? Bilang saja, Nadya. Jangan sungkan.” “Aku mau ditemani tidur sama Mas Harris malam ini. Boleh, Ma?” “Kenapa harus minta izin? Harris pasti mau. Betul kan, Harris?” Herlina menatap Harris yang tampak sibuk dengan ponselnya sejak tadi. “Boleh.” Pria itu mendongak dan menjawab singkat lalu kembali fokus dengan ponselnya. “Tapi aku harus ke kantor dulu, ada sedikit masalah.” “Apa tidak bisa diselesaikan di rumah saja, Ris?” “Tadinya kuharap bisa begitu. Tapi sebelum masalahnya semakin melebar, aku harus ke sana. Is it okay, kan, Nadya?” Nadya mengerjapkan matanya. Terkejut karena pria itu mulai menanyakan pendapatnya. Itu berarti dirinya sudah mulai mendapat perhatian Harris. “Pergilah, Mas. Semoga urusannya bisa segera beres.” “Aku pergi dulu, kalau mau titip apapun itu, kabari aku ya.” Harris pun berbalik dan melangkah keluar rumah. Nadya masih menatap punggung suaminya sampai menghilang dari balik pintu. Setelah itu, Nadya pamit kepada ibu mertuanya untuk istirahat di kamarnya di lantai dua. Sekilas Nadya melihat pintu kamar Rayya dan Harris yang tertutup rapat. *** Malam harinya, masih dengan memakai setelan jas, Harris berjalan menaiki tangga sambil membawakan beberapa camilan untuknya. Nadya menunggu sambil melamun dan membiarkan layar televisi yang menayangkan drama korea yang sedang ia tonton. Ia sudah melangkah hingga sejauh ini dan mengambil keputusan yang sangat berani. ‘Kamu sudah melangkah sejauh ini, Nadya. Jangan menyerah! Kamu harus dapatkan apa yang sudah menjadi impianmu sejak dulu. Yang harus kamu lakukan sekarang hanyalah memanfaatkan segala kondisi dan harus berada di jalur yang benar,’ batin Nadya bermonolog pada dirinya sendiri. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan panjangnya. Harris muncul dari balik pintu dan memasuki kamar. “Nadya?” panggil Harris. “Iya, Mas. Baru pulang?” “Iya, masalahnya sudah cukup melebar,” jawab Harris dengan wajah yang lesu. Nadya diam-diam menyunggingkan senyum. Baru kali ini ia melihat Harris bersikap selayaknya suami yang menunjukkan sisi lelahnya hanya kepada istrinya. “Istirahat dulu. Mas langsung naik ke sini?” “Iya, aku membawakanmu ini.” Harris mengangkat tangannya yang menenteng sebuah bungkusan plastik yang di dalamnya ada martabak manis. “Aku kan nggak pesen apa-apa, Mas.” “Kata Mama, orang hamil mungkin akan lebih sering merasa lapar. Jadi aku beli ini buat jaga-jaga.” Jika dalam situasi normal, mungkin saja Nadya bisa terharu atau mungkin menangis karena pergolakan hormon dalam dirinya. Tapi Nadya hanya bisa tersenyum kikuk dan sedikit merasa bersalah. Kegelisahan kembali mendominasi dirinya. “Terima kasih, Mas. Udah repot-repot beliin aku ini.” “Aku siapin piring dan garpu yah.” Harris baru saja mau berbalik badan tapi Nadya mencegahnya. “Istirahat dulu. Mas Harris kan capek. Mandi dulu ya?” Lama Harris menimbang-nimbang sebelum akhirnya setuju dengan usul Nadya. “Piyama dan underwear sudah aku siapkan. Biar Mas Harris tidak usah bulak-balik lagi.” “Baiklah.” Pria itu melepas jas dan membuka kancing kemeja paling atas. Harris membuka ponsel dan mengetikkan sesuatu sebelum akhirnya Ia menaruh ponsel berjenis fold itu di atas nakas dan melangkah gontai menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar. Selagi menunggu Harris mandi, Nadya bermaksud untuk merapikan pakaian yang diletakkan Harris di atas kasur lalu ketika melihat ponsel di atas nakas dengan layar yang belum terkunci. Pandangan Nadya teralihkan pada isi pesan teks antara Harris kepada Rayya, Istri pertamanya. Harris: Malam ini aku akan menemani Nadya di kamarnya. Aku harap kamu mengerti. Setelah semua ini berakhir, kita bisa kembali bersama-sama lagi. Nadya mengerutkan kening. “Apa maksudnya? Apa yang sedang direncanakan oleh Harris dan Rayya?” gumam Nadya lirih. Sekali lagi ia membaca pesan teks itu dengan berbagai intonasi untuk memahami arti dari apa yang Harris maksud. Tiba-tiba saja segala hal yang selama ini ia anggap aneh mulai menemukan puzzle-nya. Jadi ini yang mereka rencanakan. Setelah apa yang diinginkan oleh mereka, ia akan dibuang begitu saja. Pantas saja Rayya bertahan karena sebenarnya Nadya-lah yang akan pergi dari rumah ini. Nadya mula menggigit kuku-kukunya, hal yang kerap kali ia lakukan ketika sedang gelisah dan jika dalam keadaan terhimpit. ‘Sebelum itu semua terjadi. Aku harus membuat Rayya pergi dari rumah ini,’ batin Nadya bertekad kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD