TUJUH

2277 Words
   Lavina keluar dari dalam ruangannya. Berjalan menyusuri koridor rumah sakit untuk segera pulang. Namun, ia tidak langsung turun ke lantai satu untuk pulang. Tadi Alvan mengirimnya chat, mengatakan jika pria itu sedang di rumah sakit.  Dan menunggu di ruangan kerja pria itu. Itu dikirim oleh Alvan saat ia sedang makan siang dengan Kandil. Beberapa suster yang ia jumpai menyapanya dengan ramah. Kemudian berlalu begitu saja, begitu juga dengan dirinya. Bahkan beberapa pasien yang kebetulan ia lewati juga ia sapa dan sedikit berbasa basi. "Sus, Pak Alvan di ruangannya?." Tanya Lavina saat tiba di kantor rumah sakit. "Iya, Dok. Pak Alvan di ruangan nya. Sepertinya tertidur karena sejak masuk gak keluar-keluar." Jawab Suster Amira. Ia mengangguk saja, kemudian mengucapkan terimakasih sebelum berjalan menuju ruangan Alvan. Apa yang dikatakan oleh Suster Amira ternyata benar. Ketika ia mengetuk pintu, sama sekali tidak ada jawaban. Dan saat ia membuka dan masuk kedalam. Ia melihat Alvan terbaring di sofa panjang yang ada di tengah-tengah ruangan. Pria itu tertidur di sana. Ia mendekat, sambil mengitari pandangan di ruangan kerja milik Alvan yang sudah juga pernah di tempati oleh Pak Nugroho. Dahinya mengernyit heran saat melihat pria itu berkeringat, bahkan kemeja yang dikenakan Alvan sedikit terlihat basah. Kening itu sesekali berkerut dan tidur Alvan terlihat gelisah. Mimpi buruk kah?. Fikirnya sambil terus mendekat menghampiri Alvan. "Al." Panggil nya berniat untuk membangunkan pria itu. Tidak ada tanggapan dari Alvan, pria itu malah bergerak semakin gelisah. Beberapa lagi mengubah posisi tidur. Keringat membasahi keningnya. Ia menoleh sekitar mencari posisi AC. Dan mesin pendingin ruangan itu menyala. Jadi, kecil kemungkinan jika Alvan kepanasan. Ia saja bisa merasakan sejuknya. Lavina maju lebih dekat, membungkuk untuk membangunkan Alvan lagi. "Al, bangun -". Ia terkejut dan langsung menarik diri saat tiba-tiba Alvan terbangun dan langsung meringkuk di sofa. "Argh!". Pria itu mengerang, ia langsung cemas saat tiba-tiba Alvan duduk bertumpu lutut di sofa sambil memegangi d**a. Napas nya tersengal dan putus-putus. Dan erangan seperti sulit bernapas ia dengar. Secara naluriah ia mendekat, duduk di belakang Alvan dan mengusap bahu pria itu dengan lembut ingin memberi ketenangan.  Apa yang di mimpikan Alvan, sampai pria itu tersiksa?. Alvan kaget saat merasakan sentuhan di bahunya, ia langsung menoleh dan kemudian menghela napas lega. "Lav."  "Kamu kenapa?." Tanya Lavina dengan wajah khawatir. Pria itu menggeleng, memperbaiki duduknya yang tadi membelakangi Lavina menjadi menyampinginya. "Gapapa, cuma mimpi buruk aja." Jawab Alvan mengulas senyum kecil. Alvan mengusap rambut pendeknya kebelakang, lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya. Membuang kantuknya, ia kembali menoleh pada Lavina. "Sudah mau pulang?". Lavina mengangguk. Dan Alvan langsung berdiri, pria itu menuju meja kerjanya. Merapikan beberapa berkas di sana. Kemudian baru mengajaknya untuk pulang. "Ayo." Lavina mengangguk, ia berdiri dan berjalan bersama dengan Alvan keluar dari dalam ruangan kerja. Selama dalam perjalanan itu, ia terus memikirkan apa yang ia lihat barusan. Ia tidak bodoh, meski bukan dokter psikolog atau psikiater. Dirinya bisa membedakan mana mimpi buruk biasa dan mana mimpi buruk yang bawaan trauma. Jadi, sekarang ia mulai bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya di alami Alvan?.  Dan tadi, pria itu bermimpi apa? Sampai kesulitan bernapas seperti tadi. Tapi, ia tetap diam. Tidak langsung bertanya pada sang suami. Ia hanya berjalan di samping Alvan, sambil terus mengamati wajah Alvan yang terlihat masih mengantuk. *** Selama perjalanan, ia terus mencuri lirik pada Alvan. Ia masih terus kepikiran tentang apa yang ia lihat tadi. Bahkan hingga mereka tiba di rumah kedua orang tuanya, karena besok weekend jadi malam ini mereka akan menginap. "Kamu kenapa? Kok ngeliatin aku gitu? Entar naksir lho". Ujar Alvan dengan banyolnya. Ia langsung mendengus, memutar malas bola matanya. Membuat Alvan tertawa sendiri. Lalu memutuskan untuk turun dan masuk kedalam rumah. Papa dan Mamanya terlihat sedang bersantai di ruang keluarga saat mereka masuk menyapa dan menyalami keduanya. "Belum makan kan?." Tanya Mama pada mereka. "Belum." Jawab Alvan dengan menggeleng kepala. Matanya terlihat sayu, atau sengaja di buat sayu dan memelas. "Yaudah, makan dulu gih. Mama sama Papa tadi udah makan. Kalian telat sih datangnya." Ujar beliau lagi. Ia melirik Alvan yang merubah raut wajahnya menjadi kecewa. Terlihat cemberut seperti anak kecil yang sedang merajuk pada ibunya. Membuat ia bergidik geli sendiri akan sikap manja sang suami pada Mamanya.  "Mama gak mau nemenin, Al?". Tanya Alvan memelas. Beliau mengulum senyum, melirik putrinya yang terlihat geli. Suaminya hanya tertawa mendengar nada manja sang menantu. "Kan sama Lavina". Jawab Mama padanya. Ia langsung mendelik pada Mamanya. Ia tidak mau berhadapan dengan Alvan yang selalu seperti bocah jika bersama dengan Mamanya. "Yaaajh..". Pria itu merespon kecewa. Membuat Mama dan Papanya tertawa sendiri. Ia memilih untuk langsung pamit ke dapur. Perutnya juga sudah lapar. Apalagi ia sudah sangat merindukan masakan Mamanya. Tentang sikap Manja Alvan pada Mamanya, ia bukan tidak suka. Bukan juga risih atau apa. Hanya saja, ia geli saja.  Ia juga merasa senang, karena Alvan itu laki-laki yang kurang kasih sayang orang tua. Terutama dari seorang ibu. Bahkan saat pertama kali Mama memberi perhatian pada Alvan, Laki-laki itu sempat membeku. Ia masih ingat jelas, saat ia melihat air mata Alvan menetes saat pertama kali Mama mengusap kepala Alvan dengan penuh kasih sayang. Saat itu mereka sedang sarapan. Hatinya sedikit terenyuh saat itu. "Lavina." Ia terkejut dengan panggilan tersebut. Dan mengernyit heran pada Alvan yang sedang menatapnya. "Kamu kenapa? Kok ngelamun? Jadi gak aku di kasih nasi, udah laper." Lanjutnya. Ia langsung sedikit salah tingkah. Lalu buru-buru mengambil nasi dan menaruhnya kedalam piring Alvan. Sesekali ia melirik pada suaminya yang terlihat sangat bersemangat saat melihat hidangan makan malam hasil masakan Mamanya. "Kalau Mama masak pasti enak, aku bisa habisin semua ini. Mama bakal marah gak ya? Kalau aku habisin semua." Ujar Alvan meliriknya. "Emangnya sanggup? Ini banyak lho." Ujarnya mengambil lauk ke dalam piring Alvan. "Segini doang mah kecil, apalagi kalau masakan Mama. Beehhhh... Aku seminggu tinggal sama Mama dan Papa kamu naik 15 kilo. Sampe pusing mikir perut ku yang gak ideal lagi". Cerocosnya. Ia hanya mengernyitkan dahi dengan heran. Memandang Alvan yang mulai menikmati makan malam nya. Melihat pria itu begitu bernafsu dan sangat lahap. Ia hanya bisa mengulum senyum sendiri. Lalu entah keinginan dari mana, ia mengulurkan tangan untuk membersihkan sambel yang menempel di sudut bibir Alvan. Membuat pria itu menoleh dan mata mereka bertemu. Ia langsung menelan ludah, entah mengapa dan sejak kapan sepasang hazel milik Alvan membuat jantungnya berdebar. Membuatnya langsung memutuskan kontak itu dan fokus pada makanannya. Alvan hanya menggeleng saja melihat sikapnya. Mereka berdua makan dalam diam, Alvan terlihat fokus pada makanannya. Ia sampai menggeleng saat Alvan benar-benar hampir menghabiskan semuanya. Hanya menyisakan sedikit saja.  Sampai pria itu terlihat kekenyangan. "Aduh.. aku gak bisa bangun lagi.". Keluh Alvan lemas. "Makanya kalau makan ingat orang. Rasain sengkak kan sekarang." Ujar Lavina sambil membereskan meja makan. "Bantuin kek". Kata Alvan mendelik. Ia mendengus, setelah mencuci piring dan Alvan masih terkapar di kursi. Ia sengaja membiarkan Alvan disana. Menunggu sampai pria itu sendawa, biar enakkan. Dan benar saja, selesai ia mencuci piring bekas makan mereka. Alvan langsung bersendawa dengan cukup keras. Membuat ia sampai mendelik. "Jorok!". Katanya. "Ya, Maap!". Ujar Alvan terkekeh sendiri. "Bantuin berdiri." Lanjut Alvan. Ia mendengus lagi, tapi tetap berjalan mendekati Alvan dan menarik tangan Alvan untuk membantu berdiri. Tapi,. Pria itu malah balik menariknya, sampai ia terjatuh di atas tubuh Alvan. Alvan langsung memeluk pinggangnya. Ia mendongak dan lagi-lagi mata mereka bertemu. Pria itu tersenyum lembut dan sangat manis. Belum lagi dua lesung pipi yang tidak begitu terlihat. Tapi, jika sedekat itu ia bisa melihat lesung Pipi Alvan yang menambah kesan tampan dan manis seorang Alvan. Ehem. Deheman dari arah pintu membuat mereka terkejut. Lavina langsung menarik diri kembali. Sedangkan Alvan hanya memamerkan cengiran badungnya pada Papa mertua yang tengah mengerling menggoda mereka. "Jangan di ruang makan, sana di kamar aja." Kata Papanya Lavina. "Ish, Apa sih. Papa gak jelas." Respon Lavina dengan muka memerah. Lalu wanita itu langsung memilih pergi dari ruang makan itu. Ia menggerutu kesal, saat mendengar tawa dua pria di dalam sana. Dengan sedikit berlari ia naik ke kamarnya. Lalu langsung memutuskan untuk membersihkan diri. *** Alvan baru keluar dari dalam kamar mandi, sambil mengeringkan rambut dengan handuk ukuran sedang.  Dan ia melihat Lavina sedang asik dengan novel di tangan. Drt Drt Drt Perhatian Lavina dari laman novelnya beralih ke arah nakas di samping. Ia melihat ponsel Alvan bergetar dengan layar menampilkan nama kontak Mikha beserta foto gadis itu.  Ia menoleh pada Alvan yang sedang asik mengenakan kaus nya. Tidak menyadari jika ponsel nya ada panggilan. Ia memilih diam, entah mengapa ia lakukan itu. Sampai ponsel itu berhenti bergetar dan ia kembali fokus pada novelnya lagi. Namun, dua detik kemudian kembali ponsel itu bergetar. Lagi, ia melirik Alvan yang sedang merapikan rambut yang berantakan.  Masih belum menyadari panggilan di ponselnya. Ia memilih diam lagi, tidak berniat memberi tau Alvan. Fikiran nya mulai tidak tenang sekarang. Teringat kembali pada pertemuannya dengan Mikha sebulan yang lalu. Tepatnya pada saat gadis itu berkunjung ke rumah dan mengobrol dengan Alvan. "Aku sama Alvan hanya menikah karena permintaan orang tua, kamu boleh mendekati nya." Kata Lavina saat Alvan berpamitan akan bebersih sebelum mengantar Mikha pulang. "Maksud kamu?." "Aku tidak akan melarang kamu berhubungan dengan Al. Karena kami memang tidak punya hubungan apapun. Pernikahan kami hanya akan berlangsung setahun." Ia bisa melihat dengan jelas, raut wajah Mikha berubah cerah saat itu. Seolah angin segar itu kembali di dapatkan. Dan sekarang, ia menjadi tidak rela jika Alvan berhubungan dengan gadis itu. Lavina menelan ludahnya sendiri. Kemudian menghembuskan napas kasar. "Kenapa?". Ia menoleh pada Alvan yang menatapnya heran. "Gapapa". Jawab Lavina. Ia meletakan novel itu di atas nakas. Tepat di atas ponsel Alvan, tepatnya ia sengaja menutup ponsel itu dengan novel. "Al, sini." Panggilnya. Alvan menurut, pria itu menghampirinya dan berdiri di samping tempat tidur. "Duduk ih". Alvan menurut lagi. Ia duduk di tepi kasur memandangi Lavina. Lalu tersenyum manis, saat tangan gadis itu merapikan rambutnya dengan jemari lentiknya. Lalu mata mereka bertemu lagi, jantungnya bertalu ketika Lavina tersenyum hangat. "Kamu masih bertemu dengan Mikha?". Tanya itu lepas begitu saja. "Enggak, kan aku sebulan ini sibuk sama show di luar kota." Jawab nya. Lavina terlihat tersenyum lega. Matanya masih memandangi nya. "Lagian Mikha lagi gak di Indonesia, dia lagi di KL." Lanjut Alvan. Ia hanya ber oh tanpa suara. Menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. "Ah, ya. Aku punya sesuatu buat kamu". Kata Alvan seperti teringat sesuatu. "Apa?". Tanya Lavina bingung. "Bentar ya." Dan Alvan langsung bergegas keluar dari dalam kamar mereka. Entah akan pergi kemana. Ia menjadi sedikit penasaran dengan apa yang akan di berikan oleh suaminya itu. Dan, selagi Alvan pergi. Ia mengambil ponsel pria itu dan menjawab telfon Mikha yang masih berusaha menghubungi suaminya. "Hallo?". Sapanya tidak ramah. "Ha.. Lavina?." "Iya, Al lagi di luar, hp nya tinggal di kamar. Ada yang mau kamu sampaikan ?." Ujarnya masih sopan. "Oh.. enggak ada. Bilang saja kalau aku menelfon nya." "Oke." "Yaudah kalau gitu, bye Lav."  "Bye." Dan sambungan telfon terputus. Ia kembali menyimpan ponsel Alvan di nakas. Bertepatan dengan Alvan yang kembali ke kamar. "Ini aku beli di Bali, waktu aku jalan-jalan sekitar pantai." Kata Alvan. Pria itu mengulurkan sebuah kotak persegi panjang padanya. Membuatnya mengernyit heran. Dan menerima itu dengan penuh tanda tanya. Sebuah kalung dengan bandul matahari berwarna perak. Ia melirik pada Alvan yang masih duduk memandanginya. "Kata Radit, matahari itu hangat. Padahal kan panas, ya?". Kata Alvan merusak suasana. Ia terkekeh pelan. Alvan mengambil alih untuk memakaikan di lehernya dan ia tidak menolak. Di kumpulkan semua rambutnya menjadi satu. Lalu bergerak maju. Alvan mengalungkannya di leher, mengikatnya dan kemudian kembali memandangnya. "Cantik". Gumam pria itu. Ia tersenyum, mata mereka kembali bertemu. Alvan masih tersenyum manis, hingga tangan nya di sentuh dan ia menunduk melihat Alvan menggenggam tangannya. "Aku berharap, matahari akan mencairkan bekunya hati kamu. Dan juga menghangatkan dingin nya hati kamu, Lav." Ia tersentak mendengar itu. Pandangannya naik menatap mata Alvan yang menatapnya dengan sirat berbeda kini. "Aku gak tau ini tepat atau enggak. Atau terlalu cepat buat kamu. Aku bukan mau memanfaatkan kesempatan di saat hubungan kamu sedang bermasalah dengan Dude." Mendengar nama itu di sebut langsung membuat hati nya perih. "Lavina". Ia menoleh kembali pada Alvan. Pria itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti. "Boleh gak sih, kamu ngasih kesempatan buat kita?." Ia terkejut mendengar itu. Pria itu mengambil napas dalam. Dan membuangnya dengan gugup.  "Aku harus mengatakan ini sama kamu, terserah kamu mau menyikapi nya bagaimana. Tapi, aku harus jujur. Kalau aku jatuh cinta sama kamu". "Al-". Alvan mengangkat tanganya memberi isyarat bahwa ia belum selesai. "Aku gak papa kalau kamu gak bisa balas perasaan aku. Aku cuma berharap, kamu mengizinkan aku untuk mencintai kamu." Lanjut Alvan lagi. "Aku tau ini terlalu cepat, kamu sendiri masih-". Ia menghentikan kelanjutan ucapan Alvan. Ia benar-benar tidak ingin mendengar Alvan menyebut nama itu. Untuk sekarang, ia tidak ingin mendengar nama itu dulu. Karena ia takut dampaknya akan semakin sakit. Jadi, ia nekat menghentikan ucapan Alvan dengan satu kecupan. "Lav-". "Al, sebelum kamu mengatakan itu. Aku udah coba fikirin semuanya." Kata Lavina dengan suara pelan. Alvan menelan ludahnya. "Aku tau ini jahat banget sama kamu, karena aku menjadikan kamu sebagai pelarian. Tapi, aku memang butuh pelarian. Dan aku tidak berniat mencari laki-laki lain. Kamu... Kamu bisa sedikit menjadi penawar luka ku. Maaf .. kalau aku egois Al." Ujar Lavina merasa bersalah. Alvan tersenyum lembut, pria itu menggeleng. Mengusap air mata yang jatuh di pipinya.  "Gapapa, kamu memang butuh rebound. Dan aku janji bakal berusaha untuk buat kamu jatuh cinta sama aku." "Al-". "Mungkin enggak sekarang, tapi nanti. Suatu hari nanti, aku yakin saat itu akan tiba." Lanjut Alvan lagi. Ia merasakan getir di hatinya. Gelisah dan juga semakin merasa bersalah. Tapi, ia juga sudah memikirkan semuanya.  Dude benar, mereka memang tidak akan bersatu. Jadi, ia menyiapkan diri untuk berpaling. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD