Lira duduk di sofa besar yang empuk. Namun, ia tidak merasa nyaman sama sekali. Pikirannya begitu kacau sementara d4d4nya sesak oleh beban yang bertumpuk. Ia duduk dengan punggung tegak. Tangannya yang gemetar diletakkan di atas pangkuan. Sebisanya, Lira mencoba menenangkan diri sendiri.
Aksa berdiri tidak jauh dari Lira. Ia menatapnya dengan tatapan yang tajam dan penuh misteri. Tidak ada senyuman di wajah tampannya kali ini. Hanya keheningan yang begitu dalam sehingga membuat Lira semakin merasa kecil.
“Kamu masih tegang,” duga Aksa.
Lira tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan berusaha menghindari tatapan pria itu.
Aksa melangkah mendekat dengan langkah pelan dan terkendali. Auranya mend0m!n4s! ruangan tanpa perlu usaha. Ia berhenti tepat di depan Lira, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. Dengan santai, tangannya bertumpu di sandaran sofa, membingkai ruang kecil yang kini hanya jadi milik mereka berdua.
“Lira,” panggilnya pelan, “lihat aku.”
Lira menegang. Ia ingin menghindari tatapan itu, tapi magnet di balik perintah Aksa terlalu kuat. Dengan enggan, ia mengangkat wajahnya, dan dalam sekejap ia terperangkap dalam tatapan dingin pria itu.
“Kamu tahu,” lanjut Aksa, “aku tidak ingin ini terasa seperti paksaan. Aku ingin kamu menyerahkannya dengan kesadaran penuh.”
Lira menahan napas walaupun denyut jantungnya terasa semakin kencang. Ia tahu maksud Aksa dan justru karena itulah ketakutan semakin mencengkeramnya. Sambil menggigit bibir, Lira mencoba menahan gemetar di tubuhnya sebelum merespons, “Aku di sini karena aku tidak punya pilihan lain.”
Aksa tersenyum sinis. “Setiap orang selalu punya pilihan, Lira. Kamu memilih jalan ini karena kamu mencintai suamimu. Dan aku, hanya memanfaatkan kesempatan itu.”
Kata-kata Aksa mencabik-cabik hati Lira. Ia sadar, melawan Aksa sekarang tidak akan mengubah apa pun. Lira pun memejam selama beberapa saat, mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa dalam dirinya. Dan ketika ia membuka matanya lagi, ia berkata dengan suara bergetar, “Aksa, tolong selesaikan ini dengan cepat.”
Tatap gelap Aksa meneliti wajah Lira, mencari sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu. Tanpa basa-basi tangan Aksa membingkai wajah Lira dan mencoba menahan setiap kemungkinan untuk menghindar. Ia mengecup bibir Lira dengan lembut tapi penuh kendali.
Di sisi lain, Lira hanya memejam dan membiarkan sentuhan itu terjadi tanpa keinginan untuk membalas. D4d4 dan pikirannya terasa sesak seakan ada tali tak kasatmata yang memaksanya bertahan dalam situasi ini. Semua yang ia lakukan sekarang adalah keterpaksaan, bukan kemauan. Namun, ketika sapuan lidah Aksa menjelajahi setiap sudut bibirnya, tubuh Lira mulai menegang. Ada sensasi asing yang menyelinap di sela penolakan yang ia genggam erat. Sensasi masa lalu yang kembali menyeruak.
“Aku selalu tahu,” bisik Aksa ketika ia menarik diri sejenak ke hadapan Lira. “Bahwa, tidak ada pria lain yang bisa mencintaimu seperti aku.”
Lira menatapnya dengan penuh kebingungan dan rasa sakit di hati. “Kamu tidak mencintaiku, Aksa. Ini bukan cinta.”
Bibir Aksa menyunggingkan senyum yang samar-samar dan terlihat rapuh. “Mungkin kamu benar. Tapi itu tidak penting sekarang, bukan?”
Tanpa menunggu jawaban, Aksa meraih tangan Lira lalu membantunya berdiri. Tubuh mereka begitu dekat, nyaris merapat, hingga Lira bisa merasakan detak jantungnya sendiri berlomba dengan waktu.
Aksa membimbingnya berjalan menuju tempat tidur besar di tengah kamar. Seprai putih bersih yang melapisi kasur tampak seperti panggung yang telah dipersiapkan untuk tragedi yang akan segera terjadi. Lira hanya bisa mengikuti. Langkahnya seperti orang yang berjalan tanpa tujuan. Ia sudah pasrah pada apa pun yang akan Aksa lakukan.
Langkah mereka berhenti di samping ranjang. Aksa memegang kedua tangan Lira sementara sorot matanya terpatri begitu dalam ke mata bening Lira.
“Kamu masih bisa pergi.” Aksa memberi kesempatan terakhir pada Lira untuk membatalkan tawarannya.
Sayangnya, Lira tidak ingin mengambil risiko Revan akan dipenjara. Lira pun menggeleng pelan meskipun matanya sudah berkabut. “Aku akan melakukan apa yang kamu minta.”
Aksa mengangkat tangannya, lalu menyentuh wajah Lira selembut yang ia bisa. Jari-jarinya menyusuri pipi wanita itu. “Kalau begitu, serahkan dirimu padaku, Lira. Bukan dengan rasa takut, tapi dengan kesadaran.”
Lira tidak menjawab. Ia hanya berdiri di sana dan membiarkan Aksa mengambil alih semuanya. Jantung Lira terasa akan meledak ketika Aksa kembali menginvasi bibirnya dengan ciuman bertubi-tubi. Di saat yang sama, kedua tangan pria itu menjelajah ke punggung Lira untuk menurunkan resleting gaunnya. Ketika gaun itu melorot ke lantai dan hanya menyisakan p4k4!an d4l4mnya, Lira merasakan dirinya benar-benar hancur.
Ciuman Aksa menjadi lebih dalam dan lebih intens. Yang awalnya terasa lembut, perlahan berubah menjadi lebih agresif. Lira merasa bibirnya perih saat ia punya kesempatan untuk terbebas dari ciuman Aksa dan menarik napas sejenak. Namun, Aksa tak membiarkan Lira menghirup oksigen lebih lama. Setelah mendorong pelan Lira ke kasur dan memosisikan dirinya berada di atas tubuh wanita itu, Aksa kembali melancarkan ser4ng4n gairahnya. Ia melakukan penyatuan dengan gerakan kasar dan nyaris tanpa perasaan, berbanding terbalik dengan sikapnya sebelum ini.
“Aksa,” desis Lira sambil menahan rasa sakit di bagian intinya.
“Aku … aku tidak akan melepaskanmu lagi, Lira,” ucap Aksa dengan suara tertahan dan napas yang memburu. Gerakannya kian tak terkendali seperti sedang meluapkan kemarahan yang terpendam begitu lama.
Air mata Lira jatuh dari sudut mata. Tangannya m3r3m4s sprei dengan erat sementara hatinya dipenuhi sesal dan rasa bersalah. Ternyata, suatu kesalahan besar meminta bantuan pada Aksa.
“Aksa, sudah. Kumohon hentikan!” pinta Lira akhirnya.
“Tidak. Kita baru saja mulai.” Aksa sama sekali tak berminat untuk menyetujui permintaan Lira. Ia justru semakin terpacu untuk memberi pelajaran sekaligus pembalasan pada Lira dengan cara tersebut.
Alih-alih des4h4n mesra, erangan dan pekikan Lira kini memenuhi suite mewah tersebut. Hanya setelah Aksa melepaskan desah puasnya beberapa saat kemudian, atmosfer keheningan kembali mengambil alih. Aksa berguling ke samping Lira dan memandang langit-langit sambil berusaha mengatur napas. Sementara itu, Lira langsung menarik dan menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Selama beberapa saat Lira hanya memandang dinding kamar guna menghindari tatapan Aksa.
Suite mewah yang luas kini terasa seperti ruang pengap yang penuh bayang-bayang kesalahan. Lira duduk di tepi ranjang dengan selimut putih membungkus tubuhnya yang masih terasa lemas. Pandangannya kosong, menatap lantai dengan kilau genangan air mata yang sudah ia tahan sejak beberapa waktu lalu.
Apa yang sudah aku lakukan? Pertanyaan itu terus menggema di kepalanya dan menghujam seperti jarum halus yang tidak kunjung berhenti.
Bayangan Revan muncul di benaknya. Rasa bersalah menyeruak dan membuat napas Lira terasa tersendat. Ia bangkit dan turun dari tempat tidur dengan tubuh lemah. Kakinya hampir goyah ketika melangkah ke kamar mandi.
Begitu pintu tertutup, Lira langsung terduduk di lantai dingin kamar mandi itu. Tubuhnya gemetar dan tangis yang selama ini ia pendam akhirnya pecah. Ia memeluk lututnya sendiri berusaha mencari kehangatan yang tidak ada di ruangan itu.
“Aku sudah berdosa. Aku menghancurkan segalanya,” bisik Lira di antara isak tangisnya. “Mas, maafkan aku.”