Pilihan Menyesatkan

1079 Words
Malam itu, Lira pulang dengan hati yang remuk. Pikirannya penuh dengan rasa sakit, kehancuran, dan dilema yang terus menggerogoti. Ia berjalan seperti mayat hidup, bahkan tidak mampu merasakan hujan yang mulai turun dan membasahi tubuhnya. Ketika ia akhirnya tiba di rumah, Lira tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia langsung ke kamarnya agar tidak bertemu ibu mertuanya. Lira tidak bisa sanggup menatap sang mertua ketika ia dihadapkan pada pilihan untuk mengkhianati putranya. Tubuh Lira melorot di belakang pintu. Ia menangis sambil memeluk lutut. Sementara itu, bahunya terguncang oleh isak yang tak tertahan. Apa yang harus aku lakukan? Malam berlalu begitu saja tanpa tidur. Ketika pagi menjelang, Lira mendapati sesuatu yang membuat d4d4nya semakin sesak. Alin, putrinya, yang tidur di kamar terpisah mengalami demam tinggi. Lira mengetahui hal itu saat ia akan membangunkan Alin untuk bersekolah. Anak berusia lima tahun itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajah kecilnya tampak memerah. Dalam tidurnya yang gelisah, Alin terus mengigau dan menyebut kata-kata yang membuat hati Lira semakin hancur. “Ayah, jangan pergi, Ayah,” gumam Alin berulang-ulang sambil kedua tangan kecilnya bergerak mencari sesuatu di udara. Lira merasa panik. “Alin, Sayang. Bunda di sini,” ucapnya sambil menyentuh dahi Alin yang panas. Ia kemudian memanggil ibu mertuanya. “Bu! Ibu!” Dalam hitungan detik, Irma, ibu mertuanya sudah ada di kamar Alin. Wanita berdaster batik cokelat itu tampak panik melihat Alin yang menggigil. “Alin! Kenapa Alin, Ra?” Irma langsung menghampiri Alin dan duduk di tepi ranjang, lalu memegang dahinya. “Ya Allah, Alin demam. Sebaiknya kita cepat bawa dia ke dokter, Ra.” Lira menggendong Alin. Bersama ibu mertuanya, mereka membawa anak itu ke klinik terdekat. Beberapa jam kemudian, setelah kembali dari klinik dan memastikan Alin kembali beristirahat, Lira duduk di tepi ranjang anaknya. Ia memandangi wajah kecil Alin yang perlahan mulai tenang. Tapi di dalam hatinya, badai terus bergejolak. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan tangan gemetar, Lira mengambil ponsel dari dalam tasnya. Ia mengetik pesan kepada Aksa, memastikan bahwa ia akan datang malam itu ke hotel yang disebutkan Aksa semalam. *** Malam datang dengan cepat menggantikan siang. Lira berdiri di depan pintu kamar hotel bernomor 1808. Tangannya yang gemetar terulur, siap mengetuk, tapi ia ragu. Udara dingin lorong hotel yang mewah terasa menyesakkan d4d4nya. Lampu temaram di sepanjang lorong pun semakin menambah suasana mencekam dalam dirinya. Hotel Grand Luxe ini begitu megah. Lorongnya dilapisi karpet merah tebal, dindingnya dihiasi lukisan mahal, dan aroma wangi lembut lavender memenuhi udara. Tapi semua itu tidak mampu mengusir rasa takut yang menguasai Lira. Lira tampak anggun mengenakan gaun hitam selutut yang sederhana. Rambutnya diikat ke belakang dengan rapi dan hanya menyisakan sedikit helaian di sisi wajahnya. Riasannya tipis, hanya sekadar untuk menyembunyikan kantung matanya yang gelap akibat malam-malam tanpa tidur. Meskipun sederhana, Lira tampak cantik dengan caranya sendiri. Namun, Lira sama sekali tidak merasa cantik malam itu. Ia justru merasa seperti seseorang yang hendak menjual diri. Aku tidak harus melakukan ini, tapi Revan sudah berkorban banyak sekali untukku. Pengorbananku ini tidak akan bisa membalas kebaikannya. Pikiran Lira berputar. Bayangan wajah suaminya di dalam sel terus membayangi dan membuat langkahnya yang semula ragu menjadi pasti. Dengan napas tertahan, Lira mengetuk pintu tiga kali. Pintu terbuka pelan-pelan. Aksa ternyata sudah menanti Lira. Pria itu tampak santai. Ia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku dan kancing atasnya dibiarkan terbuka. Dasinya terlepas dan tergantung di leher kemejanya hingga menambah kesan kasual tapi tetap memikat. Rambut pria itu sedikit berantakan, tapi karena itulah Aksa terlihat lebih tampan dari biasanya. “Kamu datang,” katanya dengan suara rendah, tapi cukup untuk membuat tubuh Lira semakin tegang. Lira berdiri di ambang pintu dengan tubuh kaku. Selama beberapa detik, ia hanya diam menatap pria yang kini memegang kendali penuh atas hidupnya. Hati kecilnya memohon agar ia berbalik dan pergi, tapi wajah Revan dan Alin kembali muncul di pikirannya. Dengan berat hati, ia melangkah masuk. Lira berdiri di tengah ruangan. Suasana di ruangan mewah itu terasa terlalu sunyi dan ia merasa setiap detik yang berlalu menjadi lebih berat. Aksa berjalan santai ke meja kecil di sudut ruangan, lalu mengambil botol anggur itu dan menuangkan cairan merah ke dalam salah satu gelas bertangkai. Ia memutarnya perlahan dan mencium aromanya dengan ekspresi santai. “Kamu mau minum?” tawarnya sambil melirik ke arah Lira. Lira menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak ingin membuang waktu. Aku ingin menyelesaikan urusan kita secepatnya.” Aksa tersenyum, tapi senyuman itu tidak memberikan rasa nyaman sama sekali. Ia meletakkan gelas anggur itu di meja tanpa meminumnya. “Langsung ke pokok masalah, ya? Aku suka sikap itu,” katanya, lalu bangkit berdiri dan berjalan pelan ke arah Lira. Ketika jaraknya hanya beberapa langkah dari Lira, pria itu berhenti. Tatapan tajamnya menjelajahi wajah Lira, lalu turun ke gaunnya yang memancarkan daya tarik tersendiri. “Tapi sebelum kita mulai,” katanya dengan suara rendah yang penuh otoritas, “ada satu syarat lagi.” Lira mengerutkan kening. Ia menatap Aksa dengan bingung. “Apa lagi yang kamu mau?” Aksa berjalan lebih dekat, membuat Lira merasa seperti tidak punya ruang untuk bernapas. “Tidak boleh ada air mata.” Lira terdiam. Napasnya mendadak tercekat di tenggorokan. “Aksa kamu keterlaluan.” Aksa lebih mendekat lagi hingga Lira bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Dan itu membuat Lira semakin gugup. “Aku tidak ingin melihatmu menangis malam ini. Kalau kamu menangis, kesepakatan kita batal. Kamu tahu artinya, ‘kan?” “Si4l4n kamu, Aksa!” Umpat Lira sambil menatap tajam Aksa. Aksa menyeringai. Sorot matanya penuh ejekan. “Kamu bisa. Kalau kamu benar-benar ingin menyelamatkan suamimu, kamu akan melakukannya. Ingat, Lira, aku tidak meminta lebih dari apa yang pernah kamu berikan dulu.” Lira mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ia berusaha keras untuk tidak membiarkan air matanya jatuh. “Baik. Kalau itu syaratnya, aku akan melakukannya.” “Good girl.” Aksa tertawa kecil. Lira hanya bisa berdiri di tempatnya, mencoba menahan semua emosi yang bergejolak di d4d4nya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa malam ini bukan hanya soal menyelamatkan Revan dan membebaskannya dari semua tuduhan. Malam ini akan meninggalkan jejak luka baru lagi. Aksa melangkah mundur, lalu menunjuk ke sofa di sudut ruangan. “Duduklah,” katanya dengan suara yang tetap terdengar memerintah. “Kita punya banyak waktu malam ini.” Lira menuruti titah Aksa. Langkahnya terlihat pelan dan berat seperti sedang menyeret seluruh dunia bersamanya. Dan ketika ia duduk, ia terus memutar satu pertanyaan di kepalanya. Bagaimana aku bisa melewati malam ini tanpa kehilangan seluruh harga diriku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD