Langit malam penuh bintang ketika Lira, Revan, dan Alin tiba di rumah megah milik Aksa. Bangunan itu berdiri anggun dengan pencahayaan mewah yang membuat setiap sudutnya terlihat berkilauan. Suara musik klasik mengalun lembut dari dalam dan deretan mobil mewah terparkir rapi di sepanjang jalan masuk.
Lira yang tampil anggun dengan gaun hijau bermodel sederhana berdiri di samping Revan sambil memegang tangan Alin. Anak yang mengenakan gaun biru pastel pendek itu tampak gembira. Ia memandangi rumah besar itu dengan penuh rasa takjub. Tapi tidak dengan Lira. Tubuhnya terasa tegang, seperti ada tali yang menarik-narik perutnya. Apa yang sedang Aksa rencanakan?
Saat mereka memasuki pintu depan, seorang pelayan menyambut mereka dengan ramah. Ia mempersilakan mereka masuk ke aula utama. Namun, Lira tidak siap untuk apa yang ia lihat di sana.
Ruangan itu penuh dengan tamu-tamu berpakaian formal. Sebagian besar adalah wajah-wajah yang sudah Lira kenali sebagai petinggi MindSphere. Pria dan wanita berbicara dengan tawa ringan sambil memegang gelas anggur di tangan mereka. Suasana terasa seperti pesta besar, bukan sekadar makan malam santai seperti yang Revan bicarakan.
“Apa ini, Mas?” bisik Lira pada Revan dengan nada penuh kekhawatiran.
Revan tersenyum, meski ia sendiri tampak sedikit bingung. “Mungkin ini cara Pak Aksa menunjukkan rasa terima kasihnya,” jawabnya pelan.
Ketika mereka berjalan ke tengah ruangan, Aksa muncul dari antara kerumunan. Pria itu mengenakan setelan jas hitam dengan dasi satin berwarna perak yang sempurna melengkapi kemeja putih bersihnya. Potongan jasnya yang tajam menonjolkan tubuh atletisnya. Rambutnya yang rapi menambah kesan pria berkelas yang tahu bagaimana tampil memukau. Di tangannya, segelas anggur merah terlihat seperti aksesori alami yang menegaskan aura seorang pria yang berada di puncak kekuasaan. Wajahnya penuh senyum, tetapi tatapan tajamnya langsung tertuju pada Lira dan membuat wanita itu merasa seperti tertangkap basah.
“Pak Revan! Bu Lira!” serunya dengan nada ramah sambil melangkah mendekat. Pandangannya lalu beralih pada Alin “Dan ini pasti Alin.”
Lira hanya bisa tersenyum kecil berusaha menyembunyikan kegelisahannya yang berdentam hebat di d4d4nya.
“Selamat datang di rumahku,” ucap Aksa sambil menjabat tangan Revan dengan hangat. “Malam ini kita merayakan kembalinya salah satu pegawai terbaik MindSphere.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Revan dengan nada tulus. “Saya tidak tahu harus berkata apa. Semua ini terlalu mewah untuk saya.”
“Tentu saja tidak,” balas Aksa dengan senyuman yang sedikit terlalu lebar. “Anda pantas mendapatkannya.”
Namun, perhatian Lira segera beralih ketika seseorang mendekat ke arah mereka. Shinta. Wanita itu mengenakan gaun merah yang cukup terbuka di bagian d4d4 dan punggung. Wajahnya jelas sekali dihiasi senyuman palsu saat tiba di hadapan mereka.
“Pak Revan,” sapa Shinta dengan nada yang sengaja dilembutkan. “Senang akhirnya bertemu lagi.”
Revan membalas dengan sopan. “Senang bertemu Anda, Bu Shinta.”
Namun, perhatian Shinta segera beralih ke Lira dan senyumnya menjadi lebih tajam. “Dan ini, pasti Bu Lira,” ucapnya penuh nada ironi. “Bagaimana kabarnya, Bu Lira? Senang akhirnya Anda tidak perlu bekerja di rumah ini lagi,” imbuhnya dengan nada mencemooh.
Lira menegang mendengar kata-kata itu. Alin, yang memegang tangannya, menatapnya dengan bingung. Bukan hanya Alin, Revan juga tampak bingung. Setahu Revan, Lira bekerja sebagai office girl di MindSphere sebelum ia ditahan. Untungnya, sebelum Lira sempat merespons, Aksa lebih dulu menjelaskan.
“Shinta,” katanya sambil menataptajam Shinta. “Aku rasa kamu salah paham. Lira hanya membantuku beberapa kali saat asisten rumah tanggaku cuti. Kami pernah bekerja di satu kantor dulu, jadi aku memintanya membantu. Kurasa tidak ada yang aneh dengan itu.”
Shinta tampak tidak senang dengan penjelasan Aksa, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya tersenyum tipis, lalu melangkah mundur dengan sikap yang anggun.
Lira menghela napas lega, meskipun ia tahu bahwa pembelaan Aksa bukan untuknya, melainkan untuk menjaga citranya sendiri di depan Revan dan tamu-tamu lainnya.
Setelah obrolan singkat itu, perhatian Aksa beralih ke Alin. Ia menunduk hingga pandangannya setinggi mata anak itu, lalu mengulurkan tangan.
“Halo, Alin,” sapanya lembut. Nada suaranya terdengar berbeda dari saat ia berbicara dengan yang lain. “Kamu pasti sangat bangga dengan ayahmu.”
Alin mengangguk pelan. Tangannya terulur ragu-ragu ketika menjabat tangan Aksa. Tapi ketika tangan kecilnya bersentuhan dengan tangan Aksa, sesuatu terjadi. Aksa menatap anak itu lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu di matanya, sebuah kilatan emosi yang ia sendiri tak memahaminya.
Lira memperhatikan itu dengan cemas, walaupun ia tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan Aksa.
Hanya ketika Aksa berdiri tegak kembali, pandangannya singgah pada Lira. Tatapan itu berbeda dari sebelumnya. Ada sejumput int!mid4s! sekaligus rasa ingin memiliki di dalamnya.
Apa yang sebenarnya ia pikirkan? tanya Lira dalam hati, tapi ia tidak punya waktu untuk mencari jawabannya.
Musik klasik kembali mengisi ruangan, dan pesta malam itu terus berlanjut. Tapi bagi Lira, setiap detik terasa seperti permainan yang tidak ia mengerti aturannya dan Aksa adalah satu-satunya orang yang memegang kendali.
Sepanjang malam, Lira merasa seperti sedang berada di tengah panggung dengan sorotan yang terus diarahkan padanya. Namun, sorotan itu bukan dari para tamu, melainkan dari satu orang, Aksa.
Meskipun ia tampak sibuk berbicara dengan tamu-tamu penting dan tersenyum ramah ke segala arah, pandangan pria itu terus-menerus mencari Lira. Setiap kali mata mereka bertemu, Lira merasakan sesuatu yang mengerikan. Aksa seperti sedang menyusup ke dalam pikiran dan seluruh tubuhnya.
Lira mencoba fokus pada Revan dan Alin. Ia memastikan suaminya merasa nyaman, berbincang dengan rekan-rekan lamanya di MindSphere. Sementara itu, ia mengawasi Alin yang tampak senang menikmati makanan penutup dan bermain dengan anak-anak lain di sudut ruangan. Namun, pandangan Aksa yang tak henti-hentinya membuat Lira tidak bisa bernapas dengan lega.
Apa yang dia inginkan dariku? Lira mencoba menepis kegelisahan yang semakin membebani diri. Namun, rasa takut itu terus merayap masuk. Bagaimana kalau Revan mengetahui semuanya? Apa yang akan terjadi pada kami?
Setelah makan malam selesai, acara berubah menjadi lebih santai. Para tamu menyebar di sekitar aula. Sebagian berbincang sambil memegang gelas minuman, sementara yang lain menikmati musik lembut dari piano di sudut ruangan.
Lira merasa sedikit lega ketika Aksa tampaknya sibuk dengan tamu-tamunya, tetapi itu tidak berlangsung lama. Siti, kepala ART di rumah Aksa, datang mendekatinya dengan sopan. Wanita berseragam hitam-putih itu memberitahu sesuatu yang membuat Lira tertegun sejenak.
“Maaf, Bu Lira,” kata Siti sambil membungkuk. “Saya minta bantuan Ibu sebentar saja untuk mengecek makanan ringan untuk anak-anak. Pihak catering tidak mempersiapkan itu karena tidak menyangka akan ada tamu yang membawa anak. Ibu kan sudah pengalaman soal anak-anak dan jajanan sehat mereka.”
Lira merasa bingung bagaimana jadi dirinya yang dimintai tolong oleh Siti. Ah, mungkin Siti merasa sudah mengenalnya saat ia datang ke rumah itu mencari Aksa beberapa hari yang lalu, pikirnya. “Di mana saya memeriksa makanannya, Mbak Siti?”
“Di ruangan baca, Bu,” jawab Siti, “soalnya dapur dan ruang makan sudah penuh oleh menu makanan utama dan minuman. Ibu bisa mengecek sekarang. Maaf, ya Bu, merepotkan. Saya mau beresin gelas-gelas kosong dulu,” imbuhnya setengah memohon.
Melihat Siti yang tampak sangat sibuk, Lira tidak keberatan membantu. “Baik, Mbak Siti. Saya akan segera memeriksa.”
Lira menatap Alin yang sedang bermain dengan ceria di sudut ruangan bersama anak-anak lain. Meskipun ia tidak merasa ada masalah dengan makanan yang Alin makan, ia tidak ingin mengambil risiko untuk anak-anak lain yang mungkin mempunyai alergi terhadap makanan tertentu. Atas petunjuk arah dari Siti, Lira kemudian pergi ke ruangan yang dimaksud Siti.
Begitu Lira masuk, Lira tak mendapati apa pun. Ruang baca itu tampak bersih. Tidak ada secuil pun remahan kue dan lainnya.
“Apa bukan di sini ya tempatnya?” tanya Lira pada dirinya sendiri dengan suara nyaris berbisik.
“Memang di sini tempatnya,” suara Aksa tiba-tiba terdengar dari belakang dan membuat Lira terlonjak.
Lira berbalik dan menatap Aksa yang kini berdiri di ambang pintu dengan d4d4 berdebar kencang.