Kilasan Masa Lalu yang Mengganggu

1067 Words
"Kamu mau bilang apa, Ra?" Suara Aksa memecah keheningan sore. Angin yang berembus di tepi danau menyapu permukaan air, menciptakan riak-riak kecil yang menari dengan tenang. Namun, hatinya justru merasakan sebaliknya yakni gelisah dan berkecamuk. Lira duduk di depannya. Gadis itu menunduk sementara jemarinya sibuk memilin ujung rok seakan sedang mencari pegangan. "Aksa, aku rasa kita tidak akan berhasil." Kalimat itu melayang di udara seperti badai yang datang tanpa peringatan. Jantung Aksa berdetak kencang. Tatapannya mencari-cari kepastian di wajah Lira yang masih enggan menatapnya. "Apa maksudmu?" tanya Aksa dengan suara yang sedikit bergetar. Lira menarik napas panjang, lalu mengangkat wajah. Pancaran matanya yang berkaca-kaca tampak menyimpan lautan kata yang selama ini enggan terucap. "Kita harus mengakhiri hubungan ini,” tutur Lira akhirnya. Ucapan Lira menghantam keras d4d4 Aksa seperti pukulan yang tak terlihat, tapi terasa begitu nyata. Selama beberapa saat, Aksa merasa udara di sekelilingnya menghilang dan digantikan oleh kehampaan yang menyesakkan. "Apa?" Aksa menatap Lira lebih dalam dan menunggu reaksi wanita itu selama beberapa detik. Ia berharap salah mendengar, tapi yang ia dapatkan hanya tekad keras di mata Lira. "Mengakhiri hubungan kita? Lira, apa maksudmu?" Lira menggigit bibir bawahnya, lalu mengalihkan pandangan ke arah air yang berkilauan di bawah sinar matahari senja. Sesaat kemudian, Lira kembali menatap Aksa. "Aksa, aku mencintaimu, tapi cinta saja tidak cukup. Aku butuh lebih dari ini." Aksa mengerutkan kening berusaha mencerna ucapan Lira. "Apa maksudmu lebih dari ini? Aku mencintaimu, Lira. Aku mendapatkan beasiswa magister-ku di Standford. Setelah selesai, aku bisa bekerja di perusahaan besar dan membuat hidup kita bahagia. Aku—" "Itu masalahnya, Aksa!" potong Lira. Ia meremas jemarinya sendiri saat akan melanjutkan ucapannya. "Aku tidak bisa menunggumu. Ada orang lain. Dia bisa memberiku apa yang tidak bisa kamu berikan. Dia mapan, punya segalanya, dan aku memilih dia." Hening dalam sekejap. Hati Aksa terasa diremukkan dari dalam. Lira menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan penuh luka. Dan untuk pertama kalinya, Aksa menyadari sesuatu bahwa ini bukan sekadar keputusan mendadak. Ini adalah sesuatu yang sudah lama dipikirkan Lira. Lira tidak menunggu jawaban. Ia bangkit, melangkah pergi, meninggalkan Aksa dengan kehancuran yang tak terucapkan. … Sebuah kecupan lembut di bibir Aksa menarik dirinya kembali ke dunia nyata. Aksa mengerjap berusaha mengusir bayangan masa lalu yang masih mengendap di pikirannya. Bibir Shinta, tunangannya, yang sedang melancarkan ciuman intens seharusnya menciptakan kehangatan yang membakar. Tapi anehnya, yang Aksa rasakan justru kebekuan. Suasana hangat serta aroma peppermint tea di kamar itu pun tak memberikan efek apa pun. Aksa bersandar ke punggung ranjang sementara Shinta duduk di pangkuannya. Shinta mengenakan lingerie merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Jemarinya menelusuri kulit leher Aksa, mencoba membangkitkan gairah yang seharusnya ada. Namun, bagi Aksa, semua itu hanya terasa seperti angin yang berlalu begitu saja. Bahkan ketika ciuman Shinta menyusuri d**a bidang Aksa hingga berakhir Shinta mengulum bukti gairahnya, Aksa masih merasa hambar. Ia seharusnya sudah melupakan Lira. Sudah enam tahun berlalu, tapi jejak wanita itu masih tertinggal dan memenuhi setiap sudut hatinya. Senyuman Lira, sorot matanya, suara yang dulu begitu akrab di telinga masih terpatri jelas bagai ukiran yang enggan memudar. Aksa mengepalkan tangan berusaha meredam kepahitan yang tiba-tiba menyelimuti. Bodoh. Seharusnya ia tidak pernah membiarkan dirinya bertemu lagi dengan Lira. Karena pada akhirnya, Lira bukan hanya sekadar mantan. Wanita itu adalah luka yang tak pernah benar-benar sembuh. "Kenapa kamu diam saja?" Pertanyaan Shinta membuyarkan lamunan Aksa. Kali ini wanita itu sudah tak mengenakan apa pun. Tubuh polosnya sudah kembali ke pangkuan Aksa. Aksa menatap Shinta, lalu menyunggingkan senyum palsu untuk menutupi resah di hatinya. "Aku cuma sedang banyak pikiran." Shinta mengerutkan kening. "Tentang apa?" "Acara makan malam besok.” “Tenanglah, Sayang.” Lira mengecup lembut bibir Aksa, lalu kembali berucap. “Kamu nikmati saja malam ini. Semuanya sudah diatur oleh EO.” Aksa tersenyum tipis. Shinta tidak tahu bahwa bukan itu yang sebenarnya ada di benak Aksa. Kenyataan bahwa besok Aksa akan bertemu lagi dengan Lira, itulah yang sangat mengganggu pria tersebut. Apakah Aksa bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Lira lagi, Aksa tidak bisa menjaminnya. Tapi yang pasti, saat ini ia tidak boleh melewatkan kesempatan bersama Shinta. Bukan saatnya melepaskan yang ada untuk sesuatu yang belum pasti. Aksa memegang pinggang ramping Shinta dengan kedua tangan, lalu membimbing wanita itu untuk menggerakan tubuhnya naik-turun dengan irama yang ritmis. Sampai akhirnya gerakan itu semakin cepat dan mengguncang kebekuan yang ada, hasrat Aksa membvnc4h dalam pelukannya. *** Besok sorenya Langit sore mulai berpendar jingga saat Aksa dan Shinta melangkah keluar dari butik. Jalanan kota masih ramai, mobil-mobil melintas perlahan, dan langkah kaki orang-orang berpadu dengan suara klakson yang sesekali terdengar. Aksa merapikan lengan kemejanya. Pikirannya masih setengah melayang ke acara makan malam yang akan digelar di rumahnya malam nanti. Namun, semuanya mendadak lenyap begitu saja saat pandangannya menangkap sosok itu di seberang trotoar. Lira. Langkah Aksa terhenti. Tubuhnya menegang tanpa bisa ia kendalikan. Ia menatap wanita itu tanpa berkedip, seakan takut jika ia berkedip, sosok itu akan menghilang begitu saja seperti ilusi. Lira berdiri sambil menggenggam tangan Alin di depan sebuah toko mainan. Aksa menelan ludah. Waktu mendadak terasa berjalan lebih lambat. Lira masih sama seperti yang ia ingat, dulu maupun saat pertemuan mereka beberapa hari yang lalu. Rambutnya yang jatuh ke bahunya berkibar pelan tertiup angin, membingkai wajah yang dulu selalu Aksa sentuh dengan penuh kerinduan. Dan anak itu .... Aksa menatap gadis kecil yang berdiri di samping Lira. Gadis kecil itu mengenakan gaun putih sederhana dan sandal sepatu berwarna merah muda. Rambut hitamnya dikuncir dua, menampilkan wajah mungil dengan kulit secerah porselen. Apa anak itu anak Lira dan Revan? Deduksi dengan cepat tercipta dan menahan gerak Aksa. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga suara di sekitarnya terasa menghilang. Ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu tentang anak itu yang membuat dadanya bergetar hebat. Jika ia dan Lira menikah sebelum ia berangkat ke California untuk mendapatkan gelar magisternya, mungkin anak mereka pun sudah sebesar anak itu, pikir Aksa. "Sayang?" Suara Shinta menariknya kembali ke realitas. Tangan wanita itu menyentuh lengannya dengan lembut. Pandangannya mengikuti arah pandangan Aksa. "Itu Lira, istrinya Revan, ‘kan?" Aksa tidak menjawab. Tenggorokannya terasa kering sementara pandangannya masih terpatri ke arah Lira dan Alin. Shinta tersenyum kecil, lalu tanpa ragu menarik lengan Aksa untuk mendekati Lira. "Ayo, kita sapa mereka!" “Tidak. Sepertinya mereka tidak butuh tumpangan. Kita pulang saja.” Aksa memutuskan untuk pulang dan memilih tidak terlibat lagi secara emosional pada Lira. Tapi yang jadi pertanyaan, apakah ia bisa melakukannya dengan mudah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD