Ketika Lira dan Shanum tiba di kantor polisi, Lira merasakan jantungnya berdegup semakin kencang. Langkahnya terasa berat ketika ia memasuki ruangan tempat Revan menunggu. Shanum berjalan lebih dulu bersama timnya, tetapi Lira tetap diam di belakang seakan sedang mencoba menyembunyikan dirinya sendiri.
Di dalam ruangan itu, Lira melihat Revan untuk pertama kalinya setelah semua yang terjadi. Suaminya duduk di kursi. Ia mengenakan pakaian sederhana yang terlihat sedikit lusuh setelah beberapa hari berada dalam tahanan. Meski begitu, senyum lega terpancar dari wajahnya begitu ia melihat Lira masuk.
“Lira!” Panggilan Revan penuh kehangatan yang familiar. Cedera di kaki akibat kecelakaan sebelum ia dijebloskan ke penjara membuat pria itu bangkit dari kursinya dengan bantuan tongkat. Ia berjalan tertatih ke arah Lira.
Lira tidak bisa menahan air matanya. Melihat Revan berdiri di hadapannya, bebas dan tersenyum padanya, membuat rasa bersalahnya semakin besar. Air matanya jatuh tanpa henti dan ia mulai terisak.
Revan mendekap Lira dengan satu tangan, membiarkan wanita itu menangis di d4d4nya. “Hei, sudahlah, Lira. Aku sudah bebas. Semuanya sudah berakhir,” katanya pelan dan menyangka bahwa tangisan Lira adalah tangis bahagia. Namun, Lira hanya bisa menangis semakin keras.
Kalau kau tahu apa yang telah kulakukan untuk ini, Mas…, tapi Lira tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membiarkan dirinya menangis dalam pelukan Revan dan merasakan betapa dalam luka yang ia sembunyikan di balik air mata itu.
Air muka Revan tampak lebih cerah ketika akhirnya mereka keluar dari kantor polisi. Senyum di wajahnya menunjukkan rasa lega yang tulus. Sementara itu, Shanum dan timnya berbincang sebentar dengan polisi memastikan semua dokumen selesai.
Namun, suasana berubah ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan mereka. Pintu mobil terbuka, dan dari dalam keluarlah seorang pria dengan wajah yang sangat dikenali Lira, Tomi, asisten Aksa.
Tomi melangkah mendekat ke arah mereka dengan penuh wibawa. Pria yang mengenakan setelan kemeja hijau muda dan celana katun hitam itu berhenti berjalan di depan Revan.
“Pak Revan,” panggil Tomi dengan nada formal, tapi ada senyuman kecil di wajahnya. “Saya datang atas nama Pak Aksa.”
Revan menatap Tomi dengan bingung. “Pak Aksa?”
Tomi mengangguk. “Iya. Pak Aksa menyampaikan salam untuk Anda. Dan beliau meminta saya untuk memberitahukan bahwa mulai besok, Anda dapat kembali bekerja di MindSphere. Semua posisi dan hak Anda telah dikembalikan.”
Semua orang di sekitar Revan terdiam sejenak, termasuk Lira dan Shanum. Mata Revan melebar karena terkejut. “Sa-saya bisa kembali bekerja?”
Tomi mengangguk dengan pasti. “Betul, Pak. Pak Aksa sangat menghargai kerja keras Anda di masa lalu dan beliau yakin Anda masih memiliki kontribusi besar untuk perusahaan.”
Revan tampak tak percaya. Senyumnya perlahan mengembang dan ia menoleh ke arah Lira. Ia ingin berbagi kebahagiaan itu dengan Lira dengan memeluk wanita itu sesaat kemudian. “Lira, kamu dengar itu? Aku bisa kembali bekerja!”
Lira hanya bisa tersenyum lemah, meskipun hatinya terasa seperti terhimpit batu besar. Ini bukan hadiah. Ini adalah harga dari kehancuranku, Mas, tapi ia tetap berusaha menyembunyikan luka itu di balik senyum palsunya.
Tomi mengalihkan pandangannya pada selama sesaat, lalu kembali memandang Revan. “Baiklah, Pak Revan, Bu Lira, saya sudah menyampaikan kabar baik ini. Kami menunggu kehadiran Bapak di MindSphere besok. Selamat sore.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Tomi mengangguk hormat dan kembali ke mobilnya. Ketika mobil itu melaju pergi, Revan kembali menoleh ke Lira dengan wajah cerah. “Ini semua berkat doa kamu, Lira. Terima kasih,” ucapnya.
Lira tidak mampu berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan dan mencoba menahan air mata yang hampir tumpah lagi. Di dalam hatinya, Lira tahu bahwa kebebasan Revan datang dengan h4rg4 yang terlalu tinggi.
***
Rumah kecil Lira dan Revan dipenuhi senyuman malam itu. Irma tidak berhenti mengucap syukur sambil memeluk erat putranya yang akhirnya kembali ke rumah. Air matanya mengalir deras. Bukan lagi karena kesedihan, melainkan karena kebahagiaan yang selama ini ia tunggu-tunggu.
“Alhamdulillah, Revan. Alhamdulillah kamu sudah pulang,” ucap Irma sambil mengusap punggung Revan yang duduk di sofa dengan Alin di pangkuannya.
Alin juga tidak mau kalah. Gadis kecil itu terus memeluk ayahnya dan tidak ingin melepaskan genggamannya sedikit pun.
“Ayah nggak akan pergi lagi, ‘kan?” tanyanya dengan nada polos yang penuh harap.
Revan tersenyum lebar, meskipun tubuhnya masih terasa lelah. Ia mengusap kepala Alin dengan lembut. “Tidak, Sayang. Ayah nggak akan ke mana-mana.”
Lira berdiri di sudut ruangan. Ia menyaksikan pemandangan itu dengan emosi yang bercampur aduk. Ada kebahagiaan karena melihat suaminya kembali ke rumah, tetapi juga ada rasa waswas yang terus menghantui pikirannya. Apakah aku pantas berdiri di sini, menikmati momen ini, setelah apa yang telah kulakukan?
Namun, ia menepis rasa bersalah itu dan mencoba fokus pada kebahagiaan keluarganya.
Ketika Revan memberi tahu mereka bahwa ia diundang kembali bekerja di MindSphere, Irma tampak berseri-seri. “Alhamdulillah, Nak,” katanya dengan nada penuh kebanggaan. “Nak Aksa memang orang yang tahu cara menghargai pekerja keras seperti kamu.”
Lira merasakan hatinya mencelos mendengar nama itu, tetapi ia tetap memasang senyuman di wajahnya.
“Kamu harus tampil sempurna besok, Revan,” tutur Irma tiba-tiba, “Lira, tolong siapkan pakaian kerja terbaik untuk Revan, ya. Besok adalah hari penting.”
Lira mengangguk tanpa protes. “Iya, Bu. Lira akan siapkan.”
Malam itu, setelah semua orang mulai beristirahat, Lira pergi ke kamar dan membuka lemari pakaian Revan. Tangannya dengan hati-hati memilih kemeja biru yang selalu menjadi favorit Revan, melipat dasinya dengan rapi, dan memastikan semuanya siap untuk besok pagi.
Keesokan paginya, Revan bangun dengan semangat yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Lira melihat senyum yang menghiasi wajah suaminya saat mengenakan kemeja yang sudah ia siapkan semalam.
“Bagaimana penampilanku?” tanya Revan sambil memamerkan pakaian favorit yang telah dikenakannya.
“Persis seperti eksekutif muda yang sukses,” jawab Lira dengan senyuman kecil meskipun hatinya merasa sesak.
Revan melontarkan senyum cerah pada Lira sebelum melangkah keluar rumah. “Terima kasih untuk semuanya,” ucapnya, “doakan aku ya, hari ini berjalan lancar.”
“Iya, Mas.”
Ketika Revan pergi, Lira mencoba menyibukkan diri. Ia menghabiskan waktu di dapur, memasak makanan favorit Alin, mengantar dan menjemputnya dari sekolah, lalu menemani gadis kecil itu bermain dan belajar. Ia berharap semua aktivitas itu bisa mengalihkan pikirannya dari malam kelam bersama Aksa. Tetapi bayangan pria itu terus menghantui dan membuatnya merasa seperti terperangkap dalam kenangan yang tidak ingin ia ingat.
Ketika sore tiba, Revan pulang dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia terlihat lebih ceria meskipun hari itu pasti melelahkan. Lira menyambutnya dengan senyuman kecil, menanyakan bagaimana harinya di kantor.
“Semua berjalan lancar,” ucap Revan sambil melepas dasinya. “Tapi ada sesuatu yang harus kukatakan padamu.”
Jantung Lira mendadak berdenyut kencang, tapi ia berusaha tetap tenang. “Apa itu, Mas?”
Revan tersenyum, kemudian duduk di sofa sambil memegang tangan Lira. “Pak Aksa mengundang kita untuk makan malam. Dia ingin aku, kamu, dan Alin datang ke rumahnya.”
Darah di wajah Lira tiba-tiba memudar dan menjadikannya pucat pasi. “Makan malam di rumah Pak Aksa?” ulangnya pelan memastikan ia tidak salah dengar.
“Iya,” jawab Revan dengan nada santai. “Dia bilang makan malam itu sebagai permintaan maaf karena pihak MindSphrere terburu-buru melaporkanku ke polisi. Padahal, penyelidikan oleh tim audit belum selesai sepenuhnya. Dia juga ingin berterima kasih karena aku tidak menuntut balik.”
Lira merasa tubuhnya melemas. Ia mencoba menyembunyikan rasa cemasnya dengan senyuman kecil. “Kapan makan malamnya, Mas?”
“Besok malam,” jawab Revan, “dia bahkan sudah memastikan jadwalnya. Kita tidak bisa menolak undangan seperti ini, ‘kan?”
Lira hanya bisa mengangguk, meskipun pikirannya sudah dipenuhi rasa takut.
Kenapa dia melakukan ini? Apa yang sebenarnya dia inginkan? Lira berusaha keras mencari jawaban di tengah kegelisahan yang terus mencekiknya.