Lira berdiri kaku di tengah ruang tamu apartemen Aksa. Udara di dalam ruangan terasa lebih dingin dibanding suhu di luar, tetapi keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Napasnya pendek-pendek, jantungnya berdegup tak menentu. Lira seharusnya tidak ada di sini. Ia tahu itu. Namun, ancaman Aksa yang terus membayanginya sejak Revan pergi ke Bandung tidak memberinya pilihan lain. Pria itu selalu punya cara untuk memaksanya datang, dan malam ini bukan pengecualian. Dari sudut ruangan, Aksa bersandar di bingkai jendela besar apartemennya dengan punggung tegak dan satu tangan terselip di saku celana. Pandangannya mengarah keluar ke hamparan cahaya kota yang kelap-kelip di kejauhan seperti sedang sedang menikmati pemandangan. Namun, Lira tahu betul bahwa pikirannya ada di tempat lain, di