Marah yang Tertahan

1300 Words
Senja telah berlalu dan malam mulai menyelimuti kota dengan kesunyian. Di ruang keluarga yang tidak terlalu luas tapi nyaman, Lira tampak sedang merapikan mainan Alin yang berserakan di lantai. Ia baru saja menidurkan putrinya setelah seharian bermain dengan anak itu. Sebisanya, Lira berusaha mengalihkan pikiran dari bayang-bayang Aksa yang terus menghantui. Ketika suara pintu depan terbuka, Lira menoleh dan mendapati Revan masuk dengan wajah penuh senyum. Wajah pria itu terlihat lebih ceria dari biasanya. Pancaran matanya pun penuh dengan kemenangan seperti baru kembali dari perjalanan panjang. “Malem banget pulangnya,” ucap Lira sambil pura-pura cemberut dan sedikit manja. Tapi kepura-puraannya segera memudar saat ia melihat betapa bahagianya Revan. Perasaan takut yang samar mulai menguasai hatinya. Ada apa ya? “Iya. Tadi Mas habis ngobrol banyak sama Pak Aksa dan Pak Tomi,” jawab Revan sambil meletakkan tas kerjanya di sofa. Ia berjalan ke arah Lira, lalu menggenggam kedua tangan wanita itu. “Mas bawa kabar baik.” Lira menatapnya dengan bingung sekaligus waswas. “Kabar baik apa, Mas?” Revan tertawa kecil, jelas tidak bisa menahan kegembiraannya. “Aku dipromosikan, Ra. Tadi pagi di rapat staf, Pak Aksa mengumumkan kalau aku akan dipindahkan ke Bandung untuk jadi direktur anak perusahaan MindSphere di sana.” Sial. Lira membeku. Wajah Lira yang tadinya terlihat biasa saja kini berubah menjadi muram dan pucat. Kata-kata itu langsung menghantam hatinya. Bandung? Jadi Aksa sengaja akan menjauhkan Mas Revan dariku? “Ra ….” Revan menatap Lira dengan alis terangkat. “Kok diam aja? Aku kira kamu bakal senang mendengar kabar ini.” Lira mencoba mengendalikan dirinya. Ia mengerjap dan mencoba tersenyum meskipun senyum itu tidak mencapai matanya. “Oh. Selamat, Mas. Ini kabar besar.” Tapi suaranya terdengar hambar, bahkan ia sendiri bisa merasakannya. Revan memiringkan kepalanya. Pandangannya menelisik wajah Lira. “Kamu kenapa? Kok kayaknya nggak senang? Ini kan kesempatan besar buat kita. Aku nggak cuma jadi asisten lagi, Ra. Aku bakal jadi pemimpin.” Lira menunduk sambil berpikir keras mencari alasan. Ia tahu ia tidak bisa menunjukkan kebenarannya, bahwa ia takut Aksa sengaja ingin memisahkan mereka untuk semakin menjebaknya. Setelah beberapa detik yang terasa menegangkan, Lira akhirnya mengangkat wajah dan menatap Revan dengan mata yang sedikit basah. “Aku senang, Mas. Tapi aku juga sedih,” katanya pelan dengan suara sedikit bergetar. “Sedih kenapa?” tanya Revan, bingung. “Kalau Mas pindah ke Bandung, kita bakal berpisah, ‘kan?” jawab Lira dengan suara pelan, mencoba terdengar meyakinkan. “Aku nggak mau kalau harus LDR-an sama Mas.” Revan tertawa kecil, lalu menarik tubuh Lira ke pelukannya. “Kamu pikir aku tega ninggalin kamu di sini sama Ibu dan Alin? Aku nggak bakal biarin itu terjadi.” Lira menatapnya, pura-pura bingung. “Maksud Mas?” Revan tersenyum, kemudian membelai rambut Lira dengan lembut. “Kamu, Ibu, dan Alin akan ikut aku pindah ke Bandung. Kita mulai hidup baru di sana. Aku sudah memikirkan itu sejak di kantor.” Perasaan lega langsung menyelimuti hati Lira. Tapi ia tidak menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya. Ia hanya mengangguk pelan dan membalas senyum Revan dengan senyum tipis. “Aku tahu ini mendadak,” lanjut Revan, “tapi ini kesempatan emas, Ra. Kita bakal punya masa depan yang lebih baik di sana. Dan yang paling penting, kita tetap bersama.” Lira menunduk menyembunyikan ekspresi wajahnya. Ada rasa bersalah yang perlahan menyusup ke hatinya. Revan begitu bahagia, begitu optimis, sementara ia sendiri masih terjebak dalam rasa takut dan rahasia gelapnya. “Aku akan ikut ke mana pun Mas pergi,” jawab Lira akhirnya, mencoba terdengar tulus. Revan mencium kening Lira dengan penuh kasih, lalu berucap, “Kamu istri yang hebat. Aku beruntung punya kamu. Maaf, kalau sampai saat ini aku belum bisa ngebahagiain kamu.” “Apa yang sudah Mas lakukan untukku, semuanya adalah kebahagiaan terbesar di hidupku, Mas. Aku yang terlalu banyak menyusahkan Mas dan Ibu,” balas Lira dengan mata berkaca-kaca. “Sudahlah, Lira. Jangan membahas itu lagi. Kita akan baik-baik saja selama kita bersama. Iya, ‘kan?” Senyuman kecil terukir di wajah Revan. Lira hanya tersenyum kecil meskipun hatinya masih penuh kekhawatiran. Apakah Aksa akan membiarkan ini? Apakah dia akan benar-benar membiarkan aku pergi? *** Di dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Aksa duduk dengan tubuh tegang. Rahangnya mengeras seiring dengan pikirannya yang dipenuhi kemarahan. Cahaya sore yang menembus jendela kaca besar membentuk siluet tajam di wajahnya dan menambah kesan dingin yang semakin kentara. Di hadapannya, Tomi berdiri beberapa langkah lebih jauh dari biasanya. Ia ragu-ragu untuk membuka suara. Napasnya terdengar pelan, tapi cukup bagi Aksa untuk menyadari kegelisahan yang terpancar dari sahabat sekaligus asistennya itu. “Lo serius dengan kabar ini?” suara Aksa akhirnya pecah dalam ruangan yang dipenuhi ketegangan. Nadanya rendah, nyaris datar, tetapi cukup untuk membuat Tomi tahu bahwa Aksa sedang menahan diri agar tidak meledak. Tomi menelan ludah sebelum menjawab, “Serius. Gue dengar langsung dari orang keuangan.” Ia menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, “Revan bakal ngajak Lira sama anaknya pindah ke Bandung. Katanya, dia mau langsung bawa keluarganya biar nggak LDR-an.” Aksa memejam mencoba mengatur napas. D4d4nya naik-turun perlahan, tapi tekanan yang ia rasakan semakin menvsuk. “T0l0l!” Tomi sedikit menggeser posisinya berusaha mengurangi ketegangan yang semakin pekat di ruangan itu. “Bos, sudahlah. Mending lo selesaikan sampai di sini aja kegilaan lo sama Lira.” “Nggak ada yang boleh selesai sampai gue bilang selesai,” sela Aksa dengan nada dingin dan penuh tekad. “Terserah lo. Gue selalu dukung lo, tapi gue nggak bisa ngeliat lo ngancurin hidup lo sendiri.” Aksa mengabaikan ucapan Tomi. Dengan gerakan kasar, ia berdiri mendadak, lalu mendorong kursinya ke belakang hingga roda-rodanya berdecit di atas lantai marmer. Tangannya menelusup ke rambut dan mengacaknya hingga terlihat berantakan. Frustrasi memancar jelas dari wajah dan napasnya yang mulai memburu. “Gue nggak akan biarin dia pergi, Tom,” geramnya, “gue nggak akan biarin Lira pergi.” Tomi menatapnya dengan hati-hati, tahu bahwa dalam kondisi seperti ini, Aksa bisa saja mengambil keputusan impulsif yang akan ia sesali nanti. “Jadi lo mau ngapain sekarang?” Aksa berjalan mondar-mandir, pikirannya bekerja cepat mencari celah. Matanya menyapu ruangan tanpa fokus berharap ada sesuatu di sana yang bisa memberinya solusi instan. “Gue mau dia tetap di sini,” kata Aksa akhirnya, “gue nggak peduli gimana caranya, tapi gue mau dia.” Tomi menghela napas, lalu bersedekap. “Oke. Lo mau tahan dia di sini. Tapi gimana caranya? Revan udah mutusin mau bawa Lira dan anak mereka pindah ke Bandung. Kalau lo mau, lo batalin aja pengangkatan Revan jadi direktur MindSphere Solution.” Aksa berhenti melangkah. Ia menatap Tomi, dan kali ini, bukan kemarahan yang tampak di wajahnya, melainkan sesuatu yang lebih berbahaya, ketenangan penuh perhitungan. “Nggak, Tom.” Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tapi bukan senyum yang menunjukkan kebahagiaan. “Lo yang harus ngomong sama dia. Lo harus ngomong sama Revan.” Tomi mengerutkan kening sementara tatapannya dipenuhi kebingungan. “Gue harus ngomong apa?” “Bilang ke dia kalau kepindahan keluarganya harus ditunda.” Aksa melangkah mendekat. “Pake alasan profesional. Dia masih harus adaptasi di kantor baru. Staf di sana belum kenal dia dan dia harus tunjukin dulu performanya sebelum bawa keluarga. Buat dia mikir ini soal tanggung jawab kerja, bukan soal gue.” Tomi diam sejenak, menimbang kata-kata Aksa. “Dan kalau dia nggak nurut?” Senyum di wajah Aksa semakin melebar, tetapi matanya tetap dingin, penuh keyakinan. “Dia akan nurut,” katanya pelan, tapi penuh kepastian. “Dia tahu lo bukan cuma asisten gue. Lo juga konsultan hebat di MindSphere.” Tomi tidak langsung menjawab, hanya menatap Aksa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia tahu, sekali Aksa menginginkan sesuatu, pria itu tidak akan berhenti sampai mendapatkannya. Dan kali ini, yang diinginkan Aksa adalah sesuatu yang mungkin bisa menghancurkan lebih dari sekadar dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD