Menyulam Sakit Hati

1328 Words
Keesokan harinya, Tomi melaksanakan tugasnya. Ia menemui Revan di ruang kerjanya dengan wajah yang dibuat serius tapi tetap ramah. Revan menyambut Tomi dengan hangat, meskipun ia sedikit heran kenapa asisten Aksa datang menemuinya secara pribadi. “Ada apa, Pak Tomi?” tanya Revan sambil menunjuk kursi di depannya dan mempersilakan Tomi duduk. Tomi duduk dan langsung memasang ekspresi seperti seseorang yang membawa pesan penting. “Begini, Pak Revan. Saya mau bicara soal rencana perpindahan Bapak ke Bandung sama keluarga.” Revan langsung tersenyum. “Oh, iya. Saya memang sudah ngomong ke beberapa orang kalau saya bakal langsung ajak istri dan anak saya pindah. Saya pikir itu lebih baik daripada ninggalin mereka di sini.” Tomi mengangguk pelan. “Saya ngerti, Pak Revan. Tapi, ada beberapa hal yang harus Bapak pertimbangkan lagi. Saya cuma kasih saran, ya.” Revan tampak sedikit bingung. “Pertimbangan apa?” Tomi menarik napas panjang. Ia kembali bicara dan mencoba terdengar meyakinkan. “Anak perusahaan di Bandung itu startup, Pak Revan. Suasananya beda sama kantor pusat di sini. Bapak masih baru di posisi direktur dan pasti butuh waktu untuk beradaptasi dengan tim di sana. Kalau Bapak langsung pindah sama keluarga, itu bisa bikin Bapak lebih repot. Bapak bakal bolak-balik ngurusin keluarga dan kerjaan. Saya cuma takut Bapak nggak fokus dan malah bikin Bapak lebih repot.” Revan mengangguk kecil, mulai mencerna kata-kata Tomi. “Pak Revan tahu kan Pak Aksa percaya banget sama Bapak?” lanjut Tomi, “dan dia ngasih Bapak posisi ini karena dia yakin Bapak bisa. Tapi dia juga nggak mau Bapak buru-buru mengambil langkah yang bisa jadi kendala di awal. Ada baiknya Pak Revan tunjukin dulu performa Bapak di sana, bangun relasi sama staf Bapak. Kalau semua sudah beres, baru Bapak bawa keluarga Bapak pindah. Lebih aman, ‘kan?” Revan menghela napas panjang, wajahnya berubah serius. “Saya mengerti maksud Pak Tomi, tapi saya juga nggak pengen ninggalin keluarga saya lama-lama.” Tomi tersenyum tipis. “Nggak perlu lama, Pak Revan. Sebulan atau dua bulan, saya ppikir sudah cukup buat Bapak beradaptasi di sana. Setelah itu, Bapak tinggal bawa mereka. Lebih baik begitu daripada semua jadi berantakan.” Revan terdiam. Ia terlihat berpikir keras. Kata-kata Tomi memang masuk akal, tetapi hatinya masih berat membayangkan meninggalkan Lira dan Alin di Jakarta. “Baik, Pak Tomi. Saya akan memikirkannya,” kata Revan pada akhirnya. Tomi mengangguk. Ia merasa puas bahwa ia telah menanamkan keraguan di kepala Revan. Ia tahu Aksa akan senang mendengar kabar ini. Meski demikian, Tomi tetap mengkhawatirkan kelanjutan kisah gelap bosnya dengan istri asisten CFO tersebut. *** Matahari baru saja naik ketika Lira menuntun tangan kecil Alin berjalan menyusuri trotoar. Gerbang besi besar bertuliskan TK Tunas Bumi tampak terbuka lebar. Alin tampak riang dengan tas kecil berwarna pink yang bergoyang di punggungnya. Sesekali Alin melompat-lompat kecil sambil bercerita tentang pelajaran menggambar yang akan diikutinya hari itu. Lira mencoba tersenyum mendengar celoteh anaknya meskipun pikirannya masih kacau. Kabar dari Revan semalam tentang kemungkinan menunda kepindahan mereka ke Bandung membuat hatinya kacau. Namun, ia tidak bisa memaksa Revan. Semua yang melibatkan Aksa pasti punya agenda tersembunyi, pikirnya. “Bunda, Alin masuk dulu ya!” seru gadis kecil itu tiba-tiba dan memotong lamunan Lira. “Iya, Sayang. Hati-hati ya,” jawab Lira, lalu membungkuk untuk mencium pipi Alin. Setelah melepas putrinya di gerbang sekolah, Lira berdiri sejenak. Ia memperhatikan Alin yang berlari menuju teman-temannya di halaman sekolah. Pemandangan itu biasanya memberikan rasa damai bagi Lira, tetapi tidak pagi itu. Ada sesuatu yang aneh di udara, sebuah firasat yang membuat hatinya gelisah. Dengan langkah pelan, Lira berbalik dan berjalan menjauh dari gerbang. Ia mengambil ponselnya dari dalam tas berniat mengecek pesan masuk dari Revan. Tapi langkahnya mendadak terhenti ketika ia mendengar suara mobil berhenti di belakangnya. Lira menoleh dan darahnya langsung berdesir. Di depan gerbang sekolah, sebuah mobil hitam mewah dengan kaca gelap terparkir. Lira mengenali mobil itu dalam sekejap, bahkan sebelum pintu pengemudi terbuka. Dan benar saja, ketika pintu itu terbuka, sosok yang keluar dari dalamnya membuat napas Lira nyaris terhenti. Aksa. Pria itu mengenakan setelan jas kasual berwarna abu-abu tua yang melapisi kemeja putih di dalamnya. Penampilan pria itu terlihat rapi, tetapi ada sesuatu di wajahnya, sesuatu yang tidak biasa. Tatapannya tajam dan ada kegelisahan yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya. Aksa berjalan ke arah Lira dengan langkah santai seakan kehadirannya di depan sekolah itu adalah hal yang wajar. Tetapi bagi Lira, setiap langkah Aksa terasa seperti ancaman yang semakin mendekat. “Pagi, Lira,” sapa Aksa. Lira mengedarkan pandangan ke sekeliling memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka. Tetapi jam di sekolah itu masih terlalu pagi untuk banyak orang berada di sana. “Ngapain kamu di sini?” tanya Lira dengan suara bergetar. Aksa hanya tersenyum, lalu menyelipkan kedua tangannya ke saku celana. “Aku mau bicara sama kamu. Sebaiknya kita cari tempat lain biar nggak menarik perhatian.” Lira membeku, seluruh tubuhnya terasa dingin. Mau apa dia? Wanita itu berdiri diam di tempatnya sambil menatap Aksa dengan mata penuh kecemasan. Tatapan pria itu terlalu tajam, terlalu mend0m!n4s!, dan terlalu familiar bahwa menolak bukanlah pilihan yang akan membebaskannya. “Aku nggak punya waktu banyak, Lira,” kata Aksa dengan nada rendah yang menohok. “Kalau kamu nggak mau bikin masalah di sini, masuk ke mobil.” “Aksa, aku—” “Masuk,” potong Aksa tegas dan dengan nada dingin. Tatapannya menelisik dan di balik ketenangan wajahnya, ada ancaman yang begitu jelas. “Atau kamu mau aku mulai bicara hal-hal yang nggak perlu di depan orang-orang di sini?” Ancaman itu seperti belati yang menusuk tepat ke hati Lira. Ia mengerjap panik, kemudian menoleh ke sekeliling dengan cemas meskipun tempat itu masih cukup sepi. Napas Lira tiba-tiba saja terasa sesak, tapi ia tahu Aksa bukan orang yang hanya bicara tanpa bertindak. Dengan langkah berat, Lira akhirnya berjalan menuju mobil hitam itu. Aksa membuka pintu penumpang untuknya, senyum tipis yang penuh kemenangan menghiasi wajahnya. Lira masuk tanpa berkata apa-apa dan duduk di kursi penumpang dengan tubuh yang kaku. Aksa menutup pintu, lalu melangkah ke sisi pengemudi, masuk, lalu menyalakan mesin. Selama perjalanan, keheningan menjadi atmosfer yang menyesakkan di dalam mobil. Lira menatap keluar jendela. Tangannya mengepal di atas pangkuan. Tak ayal, berbagai macam dugaan bermunculan di kepalanya. Aksa tetap diam di kursi pengemudi. Tatapannya fokus pada jalanan, tapi ketegangan di wajahnya jelas terlihat. Tangan pria itu mencengkeram kemudi dengan kuat, menunjukkan bahwa ia juga sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. “Aku nggak akan lama,” akhirnya Aksa membuka suara, nadanya dingin dan tegas. Lira menelan ludah. “Apa yang kamu mau?” Aksa menghela napas, seperti sedang memilih kata dengan hati-hati. “Aku cuma ingin memastikan sesuatu.” “Memastikan apa?” desak Lira. Aksa hanya menatapnya sekilas, lalu kembali menatap jalan di depan. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di bahu jalan menuju sebuah komplek hunian vertikal mewah di pusat kota. Lira merasakan kengerian menjalari tubuhnya. Ia menoleh ke Aksa, berharap ada jawaban di wajah pria itu. Namun, yang ia dapatkan hanya tatapan tajam yang penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan. Aksa mematikan mesin mobil, lalu memosisikan dirinya menghadap Lira. Dalam keheningan yang mencekam, ujung jarinya menyentuh dagu Lira, memaksa wanita itu untuk menatap langsung ke matanya. “Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu, Lira,” ucap Aksa. Lira menelan ludah. Tubuhnya membeku di tempat. “Aksa, jangan ....” Alih-alih menjauh, Aksa justru semakin mendekat dan membuat jarak di antara mereka menguap dalam hitungan detik. Napasnya terasa hangat di wajah Lira, sementara matanya mengunci milik wanita itu, dan menelusuri tiap detail ekspresinya. “Jangan apa?” Lira memejam. Tangannya mencengkeram ujung rok dengan erat dan berusaha menahan guncangan di dalam dirinya. Ia tahu ia harus menolak, harus menjauh, tetapi tubuhnya tak bisa bergerak seakah terjebak dalam gravitasi kuat yang berasal dari pria di hadapannya. “Jangan apa, Lira?” Aksa mengulang pertanyaannya. Sebelum Lira sempat merespons, Aksa semakin mendekat. Bibirnya hanya sejengkal dari bibir Lira. Tegangan di antara mereka begitu tebal, begitu mengunci, hingga waktu seakan berhenti berputar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD