6

1526 Words
Damian tersenyum kecil menemukan Gabriella tengah melahap makan malamnya di ruang makan. Gadis itu pasti lapar setelah menangis sepanjang sore. Apalagi Damian tau, Gabriella adalah gadis yang cinta dengan makanan. Kelaparan berat membuat gadis itu makan terburu-buru hingga tersedak. Damian segera melangkahkan kakinya menghampiri Gabriella dengan khawatir. Namun Mrs. Anna lebih dulu datang menyodorkan gelas berisi air untuk Gabriella. Gabriella meneguknya dengan kalap sambil menepuk-nepuk dadanya yang sesak. "Gabriella! Bisa tidak makan dengan hati-hati?" Damian mengomel begitu Gabriella sudah bisa bernapas dengan normal. Damian lalu menggaruk rambutnya salah tingkah setelah mendapati tatapan terkejut Gabriella akan kehadirannya yang tiba-tiba. "Pelan-pelan, makanan itu tidak akan pergi kemana-mana." Gabriella menatap Damian dengan bingung sedangkan Mrs. Anna justru tersenyum melihatnya. --- "Anda ingin dijemput jam berapa, nona?" Gabriella menatap jam di tangannya. "Tujuh?" Jawabnya yang lebih seperti pertanyaan daripada jawaban karena sejujurnya Gabriella juga tidak yakin keduanya akan setuju. Joss dan Brandon saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Baik, kami akan berkeliling sekitar sini dan kembali pukul tujuh nanti." Gabriella tersenyum riang lalu berlalu masuk ke dalam kedai makan kecil yang cukup ramai di depannya. "Selamat datang, silahkan duduk!" Seorang wanita paruh baya yang masih cantik mengenakan celemek dan membawa nampan berisi mangkuk-mangkuk yang isinya masih mengepul menyambut Gabriella begitu gadis itu menginjakkan kakinya di dalam kedai tersebut. Gabriella tersenyum. "Apakah benar ini rumah Anthony?" Wanita paruh baya itu terlihat terkejut namun ia segera mengganti ekspresinya seperti semula. "Oh... kau temannya Tony, nak? Tunggu sebentar, aku akan mengantarkan pesanan ini dulu ya?" Gabriella mengangguk lalu duduk di salah satu kursi yang kosong. Sedangkan wanita itu mengantarkan mangkuk-mangkuk itu kepada pemesannya. "Ibu! Empat mangkuk lagi untuk Tuan di meja 14!" Gabriella menatap si pemilik suara yang baru saja berteriak. Seorang anak perempuan yang umurnya sekitar 7 tahun, dengan rambut dikuncir dua. Sangat cantik dan menggemaskan. "Oke!" Gabriella mengalihkan pandangannya pada wanita yang kini sibuk kesana kemari tanpa sadar bahwa gadis kecil tadi sudah berdiri di hadapannya. "Permisi nona apakah anda sudah memesan?" tanya gadis itu dengan ekspresi yang menggemaskan. Gabriella terpesona akan kecantikan gadis kecil ini. "Eh? Belum..." Gadis kecil itu lalu menarik kertas dan pena dari kantung celemek renda mungil yang dikenakannya. "Nona mau pesan apa?" tanyanya dengan sangat sopan dan profesional meski usianya masih sangat kecil. Gabriella ingin sekali mengacak rambut anak ini gemas karena kepolosan dan ekspresi serius gadis kecil itu. "Apa yang enak di sini?" tanya Gabriella sambil menopang dagunya. Gadis kecil itu menggaruk kepalanya dengan pena. "Hm, aku bingung. Hampir semua masakan ibuku enak, apakah kau mau pesan semuanya?" Pedagang cilik yang pintar! "Andai saja aku bisa... tapi uangku tidak akan cukup. Bagaimana kalau aku pesan semangkuk sup jamur dan segelas air?" Gadis kecil itu mengembungkan pipinya lalu menulis pesanan Gabriella. "Satu sup jamur dan air," ucapnya mengulangi pesanan Gabriella. Gabriella ingin sekali tertawa akan tingkah anak ini yang sedikit dewasa dibanding usianya. "Ibu! Semangkuk sup jamur untuk meja tiga!" Teriaknya begitu selesai mencatat. "Airnya dingin atau tidak?" tanyanya lagi. Gabriella mengangguk. Lalu dengan cekatan, gadis itu berjalan ke arah kulkas berpintu transparan di sisi meja kasir dan mengambil sebotol air mineral lalu berjalan kembali ke meja Gabriella dan meletakkannya di sana. "Hey, siapa namamu?" tanya Gabriella yang sudah tidak bisa menahan rasa ingin taunya lagi. Gadis kecil itu menatap Gabriella dengan matanya yang cukup besar. "Anastasia," jawabnya singkat. Gabriella tersenyum kecil. "Annie ini pesanan sup jamur untuk meja nomor berapa?" Sebuah teriakan membuat Gabriella dan Anastasia menoleh ke sumber suara, di mana seorang laki-laki dengan t-shirt gombrong dan celena jeans belel yang ditiban dengan celemek berbahan plastik licin berwarna merah. Bahkan celemek itu tidak bisa mengurangi ketampanan laki-laki tersebut. "Kak Tony! Orang ini yang memesan!" Anastasia menunjuk ke meja Gabriella. "Aku kan sudah menyebutkannya, meja nomor tiga!" Omel gadis kecil itu lagi. Gabriella terpana. Seorang Anthony, laki-laki dingin serampangan yang pelit dalam bicara tengah memegang nampan berisi semangkuk sup jamur dan memakai celemek! Anthony menatap Gabriella terkejut. Gadis yang secara tidak langsung membuatnya dihukum kini berada di kedai ibunya. Tapi Anthony tidak merasa kesal sama sekali dengan Gabriella. Karena ia tahu dalang di balik ini semua bukanlah Gabriella, melainkan Damian Alexander sang pemilik sekolah yang juga merupakan kakak angkat Gabriella. "Terima kasih," ucap Gabriella saat Anthony meletakkan mangkuk pesanannya di meja. Anthony menjawabnya dengan senyum tipis lalu segera berlalu kembali ke belakang. Tetapi Gabriella dengan cepat menahan langkahnya. "Tunggu!" Anthony menoleh, menaikkan sebelah alisnya menunggu kata-kata Gabriella selanjutnya. "Itu, anu... kau bekerja di sini?" tanya Gabriella kikuk. Anthony menghela nafasnya, bukannya menjawab pertanyaan Gabriella ia justru mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Begitu matanya bertatapan dengan mata ibunya seolah meminta izin. Ketika melihat Ibunya mengangguk kecil. Anthony pun menarik kursi di hadapan Gabriella. "Annie bantu ibu dulu sebentar lagi, ya?" Anthony mengusap kepala adiknya lembut. Anastasia mengangguk dan meninggalkan Anthony dan Gabriella. "Hm, sampai di mana kita tadi?" tanya Anthony sambil menggosokan kedua tangannya di atas lutut. Gabriella mengerutkan dahinya. "Hah? Kita...tidak pergi ke mana-mana," jawabnya polos. Anthony memutar bola matanya. "Maksudku pembicaraan. Ya seperti yang kau lihat. Karena mendapat hukuman di sekolah Ibu juga menghukumku di rumah. Hukuman itu membuat ibuku sedikit senang. Dia jadi tidak harus membayar pegawai part time." Gabriella menundukkan kepala merasa bersalah. "Kenapa kau ke sini?" tanya Anthony to the point. Gabriella merasakan rasa bersalah menjalari hatinya. Anthony dihukum karenanya. Karena Damian. Dia dan Anthony memang tidak mengenal terlalu lama. Bahkan sejujurnya Gabriella tidak pernah benar-benar mengetahui keberadaan Anthony. Gabriella saja baru tahu wajah Anthony dua hari lalu, hari di mana Anthony menyatakan suka pada Gabriella. Dan Gabriella jelas-jelas berbohong pada Damian mengatakan bahwa Anthony adalah kekasihnya. "Maaf, karenaku kau jadi terkena hukuman." Anthony mengerutkan dahinya. "Itu bukan salahmu," ucapnya datar. Gabriella merengut. "Tidak, Anthony! Jika kau berpikir bahwa pihak sekolah menghukummu hanya karena kita berciuman di gedung olahraga, kau salah. Itu bukan seperti itu," jelas Gabriella. Anthony tersenyum tipis. "Aku tahu. Damian Alexander kan dalang di balik semua ini?" tanyanya. Gabriella merasakan sesuatu menyetrumnya. Ia menegang. Bagaimana Anthony bisa tahu? "Kakak angkatmu itu terlalu protective terhadapmu. Aku mengerti. Aku saja yang tidak tahu diri hingga berani mencium sang nona dari keluarga Alexander." Gabriella merona mengingat kejadian di mana Anthony mencium bibirnya setelah menyatakan menyukai Gabriella. Astaga! Saat itu Gabriella merasa bagaikan disengat jutaan ribu volt listrik. Itu jelas pengalaman yang sudah lama Gabriella idamkan sebagai seorang remaja. Setidaknya sebelum Damian menghancurkan segalanya! "Maafkan aku..." Anthony mengangguk. "Lupakan. Aku sendiri bingung kenapa kau tidak menamparku saja ketika aku menciummu waktu itu?" Gabriella tentu tidak bisa mengatakan dengan jujur bahwa selain Gabriella ingin merasakan rasanya berciuman dengan laki-laki seusianya, ia juga sengaja melakukan itu agar Damian marah. "Aku terlalu terkejut. Kau sendiri kenapa nekat menciumku? Aku bahkan belum menjawab pernyataan cintamu, tahu!" Anthony terlihat berpikir. "Wajahmu waktu itu mengatakan 'cium aku! Cium aku!' jadi yang terpikirkan pertama olehku adalah menyambar bibirmu. Aku kira aku akan dipukul, ternyata wajah dan isi hatimu saat itu memang memintaku untuk menciummu." "Sembarangan! Tidak begitu! Aku... aku terlalu shock sehingga tidak sanggup untuk menamparmu! Untuk saja Mr. Alex muncul tepat waktu." Anthony mengorbit bola matanya. "Ya dan berakhir hanya aku yang dikenai hukuman. Aku khawatir, Damian Alexander itu memasang alat pengintai di tubuhmu." Gabriella reflek menyentuh dirinya, panik. "Memangnya alat seperti itu ada?" tanyanya horor. Anthony mengedikkan bahu. "Makan saja supnya sebelum dingin, bodoh," ucap Anthony asal. Gabriella mendengus, tapi mematuhi ucapan Anthony untuk menarik mangkuknya mendekat dan mulai mengaduknya dengan sendok. "Kita baru mengobrol sebentar saat itu," ujar Gabriella sambil menyeruput kuah supnya. Anthony meliriknya sekilas lalu memandang keluar. "Hm." "Oh ya, besok kau sudah bisa masuk sekolah lagi," ucap Gabriella antusias. Anthony menatap Gabriella heran. "Ini baru 2 hari, jangan bercanda! Aku dilarang ke sekolah seminggu." Gabriella menggeleng. "Aku serius! Hukumanmu dihapus." Anthony menatap Gabriella, mencari kebohongan dari wajah gadis itu namun ia tidak menemukannya. Anthony akhirnya menghela nafas. "Terima kasih." Gabriella menggeleng. "Akulah yang seharusnya berterima kasih." --- "Nona Tuan Alexander sudah menunggu anda di rumah" ujar Joss begitu Gabriella masuk ke dalam mobil. Gabriella mengerucutkan bibirnya sambil bersedekap. Oh, kapan aku bisa tidak bertemu dengannya lagi "Apakah hari anda baik, nona?" tanya Brandon berbasa-basi. Gabriella mengingat-ingat harinya di sekolah. Ujian kelulusan sudah berhasil dilewati. Tetapi bukan berarti tugasnya sebagai pelajar sudah selesai. Gabriella masih harus mengikuti ujian masuk universitas dan ikut kelas tambahan di sekolah. Pelajaran di sekolah lebih diperdalam dan khusus membahas soal ujian untuk masuk universitas yang skala kesulitannya jauh di atas ujian sekolah. "Lelah. Aku pusing mempersiapkan diri untuk ujian universitas!" Joss dan Brandon saling pandang. Suatu keajaiban Gabriella mau menanggapi mereka dengan nada yang cukup bersahabat. "Semangat, nona! Ujian itu minggu depan kan? Setelahnya kau bisa pergi jalan-jalan dengan Tuan Alexander untuk melepaskan kepenatan pasca ujian!" Gabriella seketika melonjak di kursinya. "Benarkah?! Woaaah pasti menyenangkan!" Gabriella bersorak riang di kursinya. Brandon dan Joss terpengaruh untuk ikut tersenyum bersama Gabriella. Apakah ini berarti Gabriella sudah berdamai dengan Damian? "Sangat menyenangkan seperti di neraka!" Lanjut Gabriella yang seketika mengubah ekspresinya menjadi kesal dan marah. Joss dan Brandon ikut melunturkan senyumannya dengan cepat. Betul saja, berharap Gabriella berdamai dengan Damian adalah mimpi di siang hari. "Lebih baik aku ikut ujian setiap hari dari pada harus berlibur berdua dengan laki-laki itu!" Gabriella menyandarkan tubuhnya ke kursi. Mengingat Damian membuatnya naik darah! Astaga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD