"Nona Gabriella, anda tidak bisa..."
Gabriella menatap galak dua bodyguardnya yang sedari tadi berusaha menghalangi. Gabriella nampak geram. Ia menghentakkan kakinya keras-keras sambil menyeruput s**u cokelatnya.
"Nona, Tuan Damian sedang ada..." Tatapan tajam Gabriella berhasil membungkan kedua pria itu sehingga mereka hanya bisa mengatupkan kembali mulutnya. Siapa mereka bisa melawan kehendak sang nona muda. Meski itu berarti mereka harus siap terkena masalah.
"Bukankah kalian seharusnya senang aku berada di sini? Menemui majikan kalian sepulang sekolah? Bukankah aku..." Gabriella melirik sekitarnya. Hanya ada beberapa pegawai di perusahaan milik Damian yang lalu lalang tanpa-atau pura-pura- tidak mempedulikan mereka. "Tunangan yang baik?" tanyanya dengan nada sarkasme.
Dua pria yang memang tugasnya menjadi bodyguard dan supir untuk nona muda di hadapan mereka ini menatap Gabriella dengan tatapan heran. Nona muda mereka ini mengakui Tuannya sebagai tunangan? Oh, mereka harus pergi ke dokter untuk memastikan pendengaran mereka masih berfungsi dengan benar.
Gabriella tersenyum penuh arti. "Kalian lebih baik duduk di lobby dan nikmati waktu kalian beristirahat. Apa kalian tidak jenuh setiap waktu harus mengekori seorang gadis remaja pemberontak labil yang kerjanya hanya membuat onar?"
Tepat! Dua pria berbadan tegap itu saling menatap mencoba mempertimbangkan bagaimana jika mereka menerima tawaran Gabriella untuk bersantai selama beberapa menit. Lagipula masalah apa yang dapat disebabkan gadis remaja berusia delapan belas tahun ini? Tidak mungkin sampai menghancurkan gedung, kan?
"Astaga! Aku di sini, di daerah kekuasaannya, kecil kesempatanku untuk kabur meskipun aku sangat-sangat ingin. Kalian tenang saja karena saat ini aku tidak ingin membuang tenaga untuk kabur."
Dua pria itu akhirnya mengangkat bahu menyerah. "Kalau begitu biar kami mengantar nona dahulu ke ruangan Tuan Damian."
"Tidak-tidak, aku bisa ke sana sendiri, kalian tidak perlu repot-repot." Gabriella menolak, terlihat sedikit panik.
Sikap defensif Gabriella membuat kedua pria itu memandangnya curiga. "Nona, kami tidak butuh istirahat kalau begitu," ucap salah satunya.
Gabriella mendengus. "Kalian menyebalkan! Aku tidak melanggar salah satupun dari aturan sialannya, kan?" tanya Gabriella kesal.
"Tidak, nona."
"Nah! Lalu apa lagi? Aku hanya akan pergi ke atas, bertemu Damian dan selesai! Kalian membuat semua ini jadi rumit!"
Dua pria itu mengangguk. "Ya, nona. Dan kami juga hanya akan mengantar anda, kau bisa menganggap kami tidak ada seperti biasa."
Gabriella meniup poninya dengan amarah yang menggelegak di kepala. Dia tahu dia tidak akan bisa mengelak lagi. "Terserah!" Akhirnya Gabriella menyerah. Gabriella mengutuk ketaatan kedua bodyguardnya ini pada setiap perintah Damian.
Dua pria itu mengikuti Gabriella masuk ke lift, menekan angka tertinggi di mana lantai direksi berada. Kedua pria itu dapat merasakan kemarahan Gabriella di belakang mereka. Mungkin, jika tatapan Gabriella berubah menjadi laser, punggung mereka sudah hangus atau berlubang karenanya.
Bunyi lift berdenting ketika layar digital di atas pintu silver itu menunjukkan angka dalam warna merah. Dua pria itu bergeser ke sisi lift untuk memberikan Gabriella jalan. Gabriella melangkah dengan menghentakan sepatunya keras-keras secara disengaja untuk menunjukkan kejengkelannya. Dua pria itu hanya bisa pasrah.
Begitu beberapa langkah dari lift, mereka disuguhkan sebuah pintu kaca otomatis yang akan bergeser begitu seseorang mendekatinya. Di kaca tertera lambang daun dan kacamata berwarna kuning hijau dan tulisan berwarna emas besar-besar bertuliskan The Alexander Inc.
Sebelum Gabriella sempat melangkahkan kakinya masuk melewati pintu kaca tersebut, Gabriella dihadang seorang gadis mungil dengan blazer hitam dan rok mini membungkus tubuh mungilnya. Rambut coklatnya dimodel dengan gaya curly. "Permisi nona, ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah.
Gabriella menilik gadis itu dari ujung kaki hingga kepala. Lalu Gabriella menatap kepada dua bodyguardnya sambil mengedikkan bahu.
Joss yang langsung mengerti arti tatapan Gabriella segera melompat maju mendekati nona mungil itu. "Apakah kau pegawai baru, nona?" tanya Joss ramah pada gadis mungil di hadapannya.
Gadis itu mengernyit sejenak sebelum mengangguk. "Ya tuan, ada yang bisa dibantu?" Jawabannya membuat Joss mengangguk paham mengapa gadis ini bisa tidak mengenal Gabriella.
"Aku mau bertemu Tuan Damian Alexander," Gabriella menyela Joss dengan nada sedikit jengkel. Menggambarkan khas nona muda yang tak sabaran akan sesuatu.
Gadis itu mengalihkan pandangannya pada Gabriella. Gantian menatap ke atas hingga ke bawah seragam yang masih melekat di tubuh jenjang Gabriella. Dengan rambut terkuncir kuda yang sudah mengendur, bahkan anak-anak rambut yang menempel di sekitar wajah membuat penampilan Gabriella sedikit lusuh. Pegawai baru itu mengernyit dan sedang memutar otak tentang apa yang anak SMA ini lakukan di sebuah lantai direksi perusahaan besar, sebesar The Alexander Inc.
"Apakah adik sudah buat janji?" tanya gadis itu, terlihat berusaha sopan. "Maaf sebelumnya karena lantai ini tidak diperuntukkan untuk umum. Adik harus membuat janji terlebih dahulu dan menggunakan ID access khusus," ucap gadis itu dengan nada profesional yang terdengar terlalu dipaksakan.
Gabriella menganga. Tunggu dulu. Gabriella yakin ia melihat tatapan mencela sekilas dari mata si pegawai baru itu. Akhirnya Gabriella berdecak, habis sudah sabarnya. "Paman Joss, aku sedang malas berbasa-basi karena itu hanya membuang waktuku." Gabriella kini menatap langsung gadis di depannya, dagunya terangkat sedikit berusaha menunjukkan siapa dirinya. "Di mana Kak Sarah?" tanya Gabriella to the point.
Gadis itu mengernyit. "Ah itu..."
"Hannah kenapa ada ribut-ribut? Astaga!" Sarah muncul dari sisi kiri, tampak terkejut dengan kehadiran 'nona muda'. "Nona Gabriella? Apa ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan penuh sopan santun.
Gabriella tersenyum penuh kemenangan pada ekspresi terkejut pegawai baru bernama Hannah. "Hai kak," sapa Gabriella ramah.
Sarah tersenyum ramah juga. Meskipun Gabriella sudah memanggilnya dengan sapaan non-formal tapi Sarah harus tetap harus memanggil gadis berseragam SMA itu dengan sebutan 'nona' sebagai bentuk kesopanannya.
"Aku hanya ingin bertemu 'Kak' Damian, bisa?"
Sarah terkesiap. Ia menatap pada jam klasik yang tertempel dengan angkuhnya di dekat meja. "Ah, maaf nona beliau sedang ada pertemuan tertutup saat ini."
Hannah yang masih dilanda shock tampak mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Gabriella dapat melihat gadis itu menggigiti bibir bawahnya melalui ekor mata. Pasti gadis itu sangat terkejut dengan kenyataan kalau gadis berseragam yang tampak agak kucal itu adalah 'adik' dari bos besar. Tidak ada orang luar termasuk seluruh pegawai The Alexander Inc yang tahu bahwa status Gabriella bukan lagi hanya adik angkat dari Damian Alexander melainkan juga tunangannya.
"Di mana?" tanya Gabriella dengan nada tidak kecewa sama sekali. Justru ini seperti hadiah jackpot untuknya!
Joss sudah bersiap di belakang, pasti niat Gabriella tidak baik. Mereka sudah terlalu mengenal peringai nona mudanya. Tiada hari tanpa Gabriella tidak membuat onar.
"Di ruangannya, nona."
Gabriella menyeringai. Joss hanya bisa menghela nafas berharap Gabriella tidak akan melakukan hal yang akan mengancam pekerjaannya. Brandon bahkan sudah merapalkan doa berkali-kali di dalam hati.
"Terima kasih, Kak Sarah!" Gabriella menepuk sekilas bahu Sarah.
Sarah kemudian tersadar begitu Gabriella berlalu mendekati pintu kaca otomatis. "Tunggu! Nona, tapi anda tidak bisa bertemu dengan Tuan Damian saat ini!"
Gabriella merengut tidak senang. Sejak menjadi salah satu 'Alexander' semua permintaannya selalu dipenuhi, hal itu membuat Gabriella mulai lupa bagaimana rasanya menerima penolakan.
"Membosankan." Gabriella lalu menatap Hannah yang masih berdiam diri di belakang Sarah dengan ekspresi malu dan takut. Mungkin malu karena secara tidak langsung telah meremehkan status Gabriella. Gabriella teringat akan suatu benda di tasnya. Benda yang ia dapatkan dari toko online beberapa hari lalu. Oh akhirnya benda itu ada gunanya.
Gabriella meletakkan s**u kotaknya di atas meja Sarah lalu mulai merogoh ranselnya. Begitu mendapatkan benda yang diinginkan, Gabriella segera menariknya keluar.
Sebungkus permen karet. Oh, ini menyenangkan.
"Baiklah aku akan menunggu. Tapi aku mau Hannah menemaniku, ya?"
Sarah, Joss dan Brandon refleks menoleh ke arah Hannah.
"Hah?" Hannah pun sama terkejutnya dengan ketiga orang yang tengah memandangnya saat ini.
"Ayo Hannah kita duduk di sana!" Gabriella menarik lengan mungil Hannah ke sofa di pojok ruangan.
Joss dan Brandon yang siap mengikuti keduanya pun ditahan Sarah. "Aku rasa nona Gabriella tidak akan mungkin macam-macam di sini. Kalian bisa mengawasinya dari sana," Sarah menunjuk ke arah sofa di sisi sebaliknya dari tempat Gabriella duduk.
Dua pria itu saling tatap lalu mengikuti saran Sarah. Meski sebetulnya mereka tetap khawatir mengingat tingkah ajaib sang nona muda.
"Nah Hannah, kenapa tadi kau terlihat terkejut ketika Kak Sarah memanggilku 'nona'?" tanya Gabriella tanpa basa-basi pada Hannah begitu mereka sudah duduk.
"Ah itu..."
Gabriella tersenyum. "Tidak menduga kalau aku adalah adik dari Damian Alexander, ya?"
Hannah merasa nada bicara Gabriella begitu tenang hingga membuatnya sedikit khawatir.
"Kenapa diam saja? Aku butuh jawaban, Hannah..." Gabriella berhenti sejenak. "Atau boleh aku panggil Kak Hannah?"
Hannah terkesiap. "Ya, err...Nona Gabriella, maaf karena aku tidak bisa mengenalimu. Itu karena aku baru bekerja di sini seminggu yang lalu dan sebelumnya aku tidak tahu bagaimana wajah dari adik Tuan Damian."
Gabriella tersenyum lagi. "Lalu karena tidak kenal kau boleh meremehkan orang lain dengan tatapan, ya?" tanya Gabriella tepat sasaran. Tetapi sebelum Hannah sempat mengelak, Gabriella lebih dulu melanjutkan. "Omong-omong, kau mau permen Hannah?" tanya Gabriella dengan manis.
Hannah mengerutkan dahinya. Memangnya dia punya pilihan? Dia sudah meninggalkan kesan buruk pada Gabriella, maka Hannah tidak boleh membuatnya menjadi lebih buruk lagi dengan menolaknya. "Ah iya, terima kasih nona."
Gabriella tersenyum lebar lalu mengangsurkan permennya. Salah satu permen menyembul keluar dan Hannah menariknya hingga keluar seluruhnya. Namun bukan hanya permen yang keluar begitu Hannah menarik keluar permen berbungkus hijau itu tapi sebuah hewan kecil-seukuran kecoa- atau memang kecoa melompat mengenai punggung tangannya yang refleks membuat Hannah menjerit kencang. Kulitnya yang putih semakin memutih-pucat karena terkejut dan takut secara bersamaan.
Gabriella refleks berdiri begitu Hannah menjerit. Joss, Brandon dan Sarah menghambur dan menanyakan keadaan Hannah yang masih menjerit sambil mengusap kasar punggung tangannya. Kesempatan ini pun diambil Gabriella untuk berlari melewati pintu kaca otomatis menuju ruangan Damian.
"Dasar payah!" Gabriella berlari menyusuri koridor dan melewati beberapa pintu ruangan yang tidak pernah ia ketahui apa isinya sambil bersorak kegirangan dalam hati.
Lantai yang setiap harinya sunyi itu mendadak jadi tempat kejar-kejaran tiga orang dewasa dan seorang murid SMA. Astaga!
Gabriella mendengar seruan dari arah belakangnya. Hal itu justru memicu Gabriella untuk mengencangkan larinya. Tiga orang yang tengah mengejarnya di belakang tidak mungkin dapat menggapainya. Gabriella nampak begitu percaya diri, karena ruangan Damian hanya tinggal berjarak tiga, dua , satu langkah lagi!
"Nonaaa!!!"
"I think we already have the higher chance to—"
Brak!
Gabriella masuk dengan terengah dan rambut acak-acakan yang menunjukkan jelas bahwa ia habis berlarian. Kemudian disusul kedua bodyguardnya dalam posisi jatuh dengan lutut menyentuh lantai.
"No-na..." Joss dan Brandon terdiam begitu melihat Damian berdiri memperhatikan mereka. Di samping Damian ada tiga orang pria berpakaian formal lain yang juga tengah menatapnya. Keduanya hanya bisa pasrah jika Damian memecatnya saat ini juga.
"Nona Gabriella! Nona Gabriella anda—" Sarah yang berteriak sambil berlari dengan susah payah akibat highheels sebelas sentinya pun bungkam begitu melihat Damian dengan tatapan mengerikannya. Mengerti kalau semuanya sudah kacau, Sarah segera menarik dua pria yang masih berlutut di tengah pintu itu dan membawa mereka bersamanya.
Gabriella? Gadis itu tengah tertawa penuh kebahagiaan di sudut ruangan tanpa merasa berdosa. Nyatanya, kejadian memalukan bagi Damian ini malah menjadi humor tersendiri bagi Gabriella. Gadis itu bahkan tidak peduli pada tiga orang pria yang tengah menatapnya dengan kernyitan dahi, heran.
"Halo, 'kak'! Halo bapak-bapak! Salam kenal!" Gabriella membungkuk setelah menyeka air mata di sudut matanya akibat terlalu banyak tertawa. Gabriella melirik Damian dengan sudut matanya. Pria itu menatapnya dalam diam, jelas sekali marah. Tetapi sekilas Gabriella menangkap senyum di bibir Damian. Apa Gabriella salah lihat?
"Halo nona manis. Kau kah adik dari pria berdedikasi ini?" tanya salah seorang pria berbadan gempal di sisi kiri Damian.
Gabriella tersenyum riang-meskipun tidak begitu tulus. "Wah rupanya aku cukup terkenal ya?"
"Panggil saja aku Paman Benjamin. Tentu saja terkenal, kakakmu ini sangat bersemangat ketika menceritakan tentang dirimu. Bahkan aku tidak percaya kalau ia sedang menceritakan tentang adiknya, ia lebih mirip seperti remaja yang jatuh cinta dibanding seorang kakak yang begitu menyayangi adiknya."
Senyuman Gabriella menyusut. Namun gadis itu berusaha kembali tersenyum, bahkan tertawa. Gabriella merasa dirinya sangat jago dalam berakting, apa sebaiknya dia mulai berpikir untuk jadi bintang film? "Maaf atas kejadian yang sedikit tidak menyenangkan tadi, dua bodyguardku itu memang suka bertanding atletik denganku," ucap Gabriella memohon maaf.
Damian hanya diam membiarkan Gabriella menarik perhatian tiga rekan kerjanya. Damian bahkan seolah menikmati melihat keceriaan Gabriella yang nampak senang bersenda gurau dengan tiga koleganya itu.
Satu-satunya pria berambut pirang di ruangan itu menatap rolex di pergelangan tangannya. "Tuan Damian, aku rasa pertemuan kita hari ini bisa dilanjut besok atau lusa. Atau kau mau berbicara melewati skype? Aku ada janji dengan anak pertamaku."
Dua pria lainnya mengangguk setuju. "Ya benar itu. Kita bisa membahas masalah memusingkan ini lain waktu. Adikmu juga sepertinya ada perlu denganmu."
Gabriella memberikan senyumannya seolah membenarkan.
"Ah baiklah kalau begitu. Dan maaf atas kejadian kurang mengenakan yang adikku perbuat," ucapnya dengan nada tidak enak.
Tiga pria berjas mahal itu tertawa sambil menepuk bahu Damian dan lengannya. "Tidak, tidak sama sekali! Sesekali pria kolot seperti kami butuh hiburan. Mengurusi bisnis setiap hari cukup memusingkan."
"Kau sih enak, Damian, memiliki adik perempuan manis seperti Gabriella yang siap menghiburmu kapan pun."
Damian tersenyum mendengar penuturan rekan bisnisnya. Ya, menghibur dengan membuat masalah.
Setelah berpamitan dan merapikan barang bawaan, ketiga pria itu pergi meninggalkan ruangan Damian. Gabriella melambai pada tiga pria yang mungkin hampir seusia ayahnya jika beliau masih hidup. Mungkin.
Begitu Damian menutup rapat pintu ruangannya, senyuman Gabriella surut. Ekspresi gadis itu kembali seperti biasa saat berhadapan dengan Damian, tidak bersahabat.
"Hai, ada sesuatu kah yang membawamu kemari, hm?" Dan seperti biasa, Damian bertanya dengan lembut.
Gabriella berdecih. "Jangan sok baik." Gabriella menatap Damian tepat di manik matanya. "Cabut hukuman Anthony, b******k!" pinta Gabriella dengan sangat tidak sopan.
Damian merasakan perasaan terluka menyayat hatinya. Damian mungkin terbiasa dengan ketidak sopanan Gabriella padanya, tetapi permintaan Gabriella untuk mencabut hukuman pada laki-laki yang memang tengah ia beri pelajaran saat ini berhasil mengusik perasaannya. Oh, betapa menyedihkan. "Wah, aku pikir kau mengunjungiku dalam acara menjadi calon istri yang baik. Kenapa kau menginginkan Anthony dilepaskan? Memang aku mengurungnya?"
Pertanyaan Damian dalam nada halus itu membuat Gabriella ingin menguliti Damian saat ini juga. Sialan! "Dasar pria menyebalkan! Ini sudah hari terakhir ujian jadi kau haru cabut hukumannya! Kenapa kau malah menambah masa hukumannya?" Gabriella meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Aku tahu kepala sekolah pasti memberikannya hukuman atas perintah darimu!"
Damian menatap Gabriella, berusaha menyelami apa yang ada dalam kepala Gabriella selain kebencian untuknya. Adakah sedikit kesempatan baginya untuk menerima simpati atau bahkan rasa cinta dari Gabriella? "Bocah ingusan itu tidak baik Gabriella, kau dapat melihat dari penampilan dan apa yang telah ia lakukan pad—"
"Tidak! Anthony adalah satu-satunya orang yang mau berusaha untukku. Jika ada pria b******k di sini itu adalah kau! Lepaskan pacarku!"
Damian merasakan dirinya baru saja kejatuhan bom nuklir. Di mata gadis itu ia tak lebih dari seorang pria b******k. "Gabriella, aku tidak pernah mengizinkanmu untuk memacarinya."
"Apa peduliku?" tanya Gabriella menantang. "Aku tidak butuh izin darimu, aku akan melakukan apapun yang aku mau. Lagipula ini tidak adil, aku dan Anthony bahkan tidak melanggar peraturan sekolah!"
Memang, tapi anak ingusan itu menyentuhmu dan aku benci itu. Damian akhirnya menghela napas. "Kau ingin aku mencabut hukumannya kan? Baiklah akan aku lakukan tapi aku juga memberimu penawaran."
Gabriella membuka matanya dan menatap Damian dengan bingung. "Hah?"
"Aku akan melepaskan Anthony," Damian lalu melangkah mendekati Gabriella. "Tapi sebagai gantinya kau harus memutuskan hubungan dengannya dan belajar menerima kenyataan bahwa kini kau adalah calon istriku."