8

763 Words
Gabriella mengerang ketika tidurnya terusik oleh cahaya silau yang menerpa wajahnya. Gabriella berkedip, berusaha menyesuaikan pupil matanya dengan cahaya yang terang. Pandangannya masih mengabur dan kelopak matanya menolak untuk dibuka. Dalam kantuk beratnya, Gabriella melihat seorang laki-laki begitu tampan dengan kemeja linen putih dan celana bahan hitam, berdiri tegak di sisi ranjangnya. Tersenyum lembut mendamaikan perasaan.   “Hmmm.” Gabriella bergumam begitu merasakan tangan halus itu mengelus lembut pipinya mengelilingi area pipi, hidung dan bibir Gabriella. Membelainya begitu lembut seakan berhati-hati jika wajah Gabriella adalah benda rapuh yang mudah hancur.   Gabriella mengerjapkan matanya. Perlahan ia sadar, wajah tampan itu milik Damian. Laki-laki yang paling dibencinya di dunia ini. Anak dari pembunuh anggota keluarganya. Namun Gabriella menolak untuk melepaskan belaian lembut Damian. Baginya ini hanyalah mimpi. Ia belum bangun. Tak apa, hanya di mimpi. Gabriella bahkan tersenyum kecil, ia menggeliat dan menarik guling di sisinya lalu mendekapnya erat, kembali jatuh ke alam mimpi.   “Nona...”   Damian berbalik ke arah pintu, menatap seorang pelayan berbadan mungil yang tengah menutup mulutnya terkejut melihat keberadaan Damian di dalam kamar Gabriella. Damian menaruh telunjuk di bibir, mengisyaratkan agar pelayan itu tidak membuat suara.   Damian menganggukan kepalanya, mengarahkan pelayan itu agar keluar. Damian kembali menatap Gabriella yang sudah tertidur pulas lagi. Dengan lembut Damian mengelus dahi Gabriella, mendaratkan kecupan ringan di hidung, bibir dan dahinya. Lalu laki-laki itu beranjak meninggalkannya.   “Biarkan Gabriella tertidur untuk beberapa jam lagi, lagipula ini hari Sabtu. Suruh Mrs. Anna siapkan sarapan begitu dia bangun, jangan sampai ia kelaparan,” titah Damian pada pelayan tadi yang masih menunggu di depan pintu kamar. Tugasnya adalah membangunkan Gabriella, membereskan kamar dan menyiapkan baju serta untuk mandinya.   Pelayan itu menatap Damian yang berlalu dengan kagum. Laki-laki setampan, sesukses itu begitu perhatian dan penyayang. Ada banyak wanita dewasa yang jauh lebih cantik, seksi bahkan kaya yang mungkin siap mengantre untuk dinikahi atau dikencani majikannya tersebut, tetapi Damian justru memilih Gabriella yang baru saja legal tahun ini untuk menjadi calon istrinya. Gadis dari panti asuhan yang senang memberontak dan membuat onar hanya untuk membuatnya marah. Tetapi meski begitu, Damian selalu bersabar pada Gabriella, menatapnya penuh cinta meskipun Gabriella sendiri bersikap membantah dan terkesan begitu membenci Damian.   ---   “Ayolah Brandon, aku sudah berdiam diri di rumah seharian ini dengan buku-buku dan soal-soal latihan sialan itu! Biarkan aku berjalan-jalan sebentar di taman!”   Laki-laki bernama Brandon itu melirik Joss di sebelahnya untuk meminta bantuan. Nona muda sudah kembali merajuk! “Tapi...”   Gabriella berdecak sebal. Mau tidak mau ia mengeluarkan penawaran terakhir. “Baiklah! Kalian boleh mengikutiku tapi dengan syarat harus berjarak 20 meter dariku! Aku bersumpah hanya ingin refreshing!” tegas Gabriella seakan mengerti ketakutan dua bodyguardnya itu akan kemungkinan dirinya mencoba kabur. “Aku tidak akan kabur!” Setidaknya untuk saat ini. Gabriella membatin.   Brandon akhirnya mengangguk pasrah. “20 meter, nona. Kami akan memantau anda.” Lelaki itu berujar tegas.   Gabriella mengangguk senang. “20 meter! Jika terlalu dekat, aku akan membuat masalah hingga kalian kena masalah lagi!”   Brandon dan Joss mendengus pasrah. Siapa mereka bisa membantah nona tercinta Tuan Damian Alexander ini?   “Let’s go!”   Keadaan taman tampak ramai. Cuaca yang cerah benar-benar dimanfaatkan dengan baik oleh orang-orang untuk melepas penat di sana. Gabriella menatap iri pada remaja-remaja yang sedang berkumpul dengan teman-teman ataupun yang sedang berkencan. Gadis itu tersenyum kecut. Berkencan adalah hal yang tidak mungkin akan ia alami karena dirinya sudah terikat oleh Damian Alexander. Takdirnya adalah menjadi istri laki-laki yang usianya 10 tahun di atasnya. Seorang laki-laki yang seharusnya menjadi kakaknya. Terlebih dengan fakta laki-laki itu adalah anak dari orang yang sudah membunuh keluarganya. Ironi itu tidak akan pernah hilang. Gabriella mematrinya di kepala, menjadikannya sebuah perisai atas dasar kebencian.   “Kau akan kelilipan jika melamun dengan cara seperti itu.”   Gabriella terkejut. Anthony entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya, dengan pakaian santai ala anak muda. T-shirt warna biru laut dan jeans belel. Meski begitu Anthony nampak begitu tampan. Gabriella berkedip-kedip menatapnya.   “Anthony?”   Anthony mengangkat bahunya. “Aku juga tidak menyangka bisa bertemu kamu di sini. Hampir setiap sore aku ke sini dan tidak pernah melihatmu.”   Gabriella nyengir. “Pertama kali. Aku jarang diizinkan keluar rumah sejak tinggal di daerah sini,” jelasnya sambil bergeser agar Anthony dapat duduk di sampingnya.   Anthony pun menempati tempat kosong di samping gadis itu. “Hmm. Orang kaya sepertimu tidak seharusnya menghabiskan Sabtu sore di taman. Kenapa tidak jalan-jalan dan membuang-buang sedikit uangmu saja?” ucap Anthony mencoba bercanda.   Gabriella merengut tidak senang. “Tentu saja aku tidak akan melakukan itu karena itu bukan uangku!” sungutnya kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD