Episode 4

1123 Words
Tidak banyak yang berubah, Jakarta masih menjadi kota padat dengan kemacetan kian membuat kepala sakit. Terutama untuk Queen, gadis kecil itu terus merengek tanpa henti karena perjalanan dari Bandara menuju tempat tinggal mereka terasa begitu lama dan panas. "Kenapa rumah Oma jauh sekali?" Keluhnya untuk kesekian kali. "Sebentar lagi kita sampai." Balas Kanaya tenang. "Padahal sudah satu jam lamanya, tapi masih belum sampai juga." Queen menggerutu kesal. Sementara itu Daren tidak terlalu memperhatikan ocehan putrinya, ia justru tengah mempersiapkan diri karena semenjak kakinya kembali menginjak kembali tanah Jakarta, hatinya sudah berdebar tidak menentu. Untuk sementara Daren dan Queen akan tinggal di kediaman Revan, meski rumah yang pernah ditempatinya kosong, namun Kanaya tidak mengizinkan Daren membawa Queen ke rumah lama mereka, setidaknya untuk saat ini. "Nah,, akhirnya kita sampai juga." Revan terlebih dahulu keluar dari mobil. Selama Revan dan keluarganya tinggal di Spanyol, rumah Revan tidak benar-benar kosong. Ada beberapa pekerja yang masih tinggal, untuk merawat rumah sehingga rumah mereka tidak nampak seperti rumah kosong. "Ayo turun sayang,," Revan membuka pintu penumpang, mempersilahkan Queen dan Kanaya turun. "Gimana rumah Opa, bagus kan? Luas, ada taman bermain, kolam renang, dan juga Opa sudah menyiapkan kamar khusus untuk Queen." Revan berceloteh, menjelaskan detail rumahnya meski Queen tidak terlalu memperhatikannya. "Lusa kita cari sekolah untuk Queen, dia harus cepat beradaptasi dengan lingkungan baru." Ucap Kanaya, setelah ia mengantar Queen ke kamar barunya. "Iya,, kalau begitu aku mau keluar sebentar," "Kemana?" Tanya Kanaya heran, karena baru saja mereka sampai, Daren justru hendak pergi. "Ada seseorang yang sangat ingin aku temui, aku sudah sangat merindukannya, Bu." Sorot kesedihan yang masih terpancar di mata Daren, mampu menjelaskan siapa orang yang dimaksud. "Temui dia, sampaikan salamKu untuknya." Daren mengangguk, dan langsung pergi menuju tempat yang sangat dibenci sekaligus di rindukannya. Hamparan tanah luas yang ditumbuhi rumput hijau, begitu indah dipandang mata, namun tempat itu bukan taman, meski memiliki keindahan sama seperti taman. Banyak bunga tumbuh subur, pohon rindang berjejer rapi, danau buatan semakin mempercantik tempat itu. Lama Daren tidak mengunjungi tempat peristirahatan istrinya, tidak banyak yang berubah, hanya beberapa tempat yang dulunya kosong kini sudah berpenghuni. Daren membawa satu buket bunga mawar putih di tangannya, ia berjalan perlahan menyusuri jalan bebatuan setapak, menuju tempat peristirahatan terakhir Danisa. Beberapa saat Daren hanya memandang gundukan tanah yang sudah ditumbuhi rumput hijau dengan batu nisan berwarna hitam, bertuliskan nama istrinya. "Hai,,," sapa Daren dengan suara tercekat. Rasanya terlalu sulit hanya untuk sekedar menyapa. "Aku datang, bagaimana kabarmu disana? Aku harap baik," lanjut Daren. Kini ia berjongkok, menaruh bunga di atas pusaran Danisa, mengelus pelan batu nisan seolah itu adalah Danisa. "Hari ini aku, dan Queen pindah ke Jakarta, biar lebih deket sama kamu kalau kangen," Daren mencoba tersenyum, meski terkesan dipaksakan. "Sampai hari ini Queen tidak tau jika Ibunya sudah terlelap tidur ditempat ini. Danisa,,, bagaimana aku harus menjelaskannya, aku takut." Daren memang kesulitan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Queen, setiap kali ia hendak memberitahunya, seolah ada batu besar yang mengganjal di tenggorokannya. Sehingga sampai hari ini Daren masih menyembunyikannya. "Kamu tidak perlu khawatir, Queen tumbuh dengan baik. Dia pintar dan cantik, persis seperti dirimu. Suatu hari aku pasti akan membawanya kesini, dia juga pasti merindukanmu." Angin berhembus cukup kencang berhembus, menerpa wajahnya. Beruntung ia mengenakan kacamata hitam, setidaknya bisa menutupi matanya yang berair. Tidak ada hal apapun yang bisa mengurangi rasa rindunya untuk Danisa, meski ia berlama-lama di tempat itu tetap saja rindu terberat yaitu ketika kita hanya bisa menahannya karena orang tersebut sudah berbeda alam. Dua hari berlalu, Daren dan keluarga lainnya mulai beraktifitas seperti bisa. Daren dengan kesibukannya sendiri, begitu juga dengan Revan. Sementara itu Kanaya bertugas mengurus Queen, karena sejak kemarin ia sudah mulai masuk sekolah taman kanak-kanak. "Dad kapan antar Queen sekolah?" Tanya Queen disela-sela mereka sarapan pagi bersama. "Hari ini bisa, kebetulan Dad berangkat kerja siang." "Yeayyy!" Queen bersorak girang. Ia langsung berhambur memeluk Daren. "Ambil tas, kita berangkat. Oke?" Queen mengangguk, setelah menghabiskan satu gela s**u coklat hingga tandas, gadis itu berlari menuju kamar, mengambil tas sekolah. "Bagaimana pekerjaanmu, Nak?" Tanya Revan. "Lancar, Dad. Kebetulan hari ini tidak ada jadwal penting, jadi aku bisa menemani Queen sekolah. Ibu bisa istirahat dirumah, atau mengunjungi Elea." "Tadinya Ibu mau ajak Queen menemui Elea, tapi kamu pasti ingin berdua bersama Queen." "Mungkin aku hanya bisa menemaninya sampai sekolahnya selesai, setelah itu Ibu bisa datang menjemput Queen dan pergi bersama ke rumah Elea." "Baiklah kalau begitu." Daren dan Queen berangkat bersama, gadis kecil itu tampak riang dan bersemangat. Bahkan selama perjalanan tidak henti-hentinya Queen berceloteh mengenai teman baru, sekolah baru dan Guru baru. Daren merasa lega, karena Queen bisa beradaptasi dengan cepat dan baik. Sejauh ini Queen tidak pernah mengeluh atau mempermasalahkan lingkungannya yang baru. Sekolah Queen terletak cukup jauh dari tempat tinggal mereka, butuh waktu hampir satu jam untuk bisa sampai terlebih karena beberapa kali mereka terjebak macet. Queen harus berangkat lebih awal daripada teman-temannya, untuk menghindari kemacetan Jakarta yang lebih parah di jam kantor. "Sekolahnya bagus ya,,, Queen suka?" Mereka berdua turun dari mobil. "Bagus,, temannya banyak dan gurunya cantik, baik lagi." Daren menuntun putrinya masuk melewati pintu gerbang sekolah. Sekolah yang menjadi tempat Queen belajar, merupakan salah satu sekolah unggulan, tidak salah Revan dan Kanaya memilih tempat ini untuk menitipkan Queen. Bangunan yang terdiri dari dua lantai dengan ornamen penuh gambar kartun lucu, membuat anak kecil betah berlama-lama, terlebih mereka menyediakan taman bermain lengkap dengan berbagai jenis permainan. Tidak percuma Daren mengeluarkan banyak uang. "Itu temanku, Putri, dan yang itu Diana." Queen menunjuk dua gadis yang sudah menunggu kedatangannya di ambang pintu masuk. "Dan yang itu, dia Guru kesukaanku. Namanya Mis Lisa." Queen menunjuk seorang perempuan berbadan tinggi, semampai, mengenakan setelan berwarna merah muda. "Dia cantik, dan baik." Queen menarik tangan Daren, "Mis,,,,!" Queen berteriak memanggil Lisa yang tengah asyik berbincang dengan salah satu orang tua murid. Lisa menoleh, ia tersenyum ramah menyapa Queen. "Hai Queen, selamat pagi!" "Pagi, Mis. Kenalin ini Dad Queen," Queen tanpa ragu mengenalkan Daren pada Guru nya. "Selamat pagi, Mr,,," "Darren!" "Oh, Mr Daren. Saya Lisa waki kelas Queen. Senang bertemu dengan Anda." Lisa menjulurkan tangannya, meski ragu dan sedikit malu, Daren menerima uluran tangan Lisa. "Iya," jawab Daren canggung. "Aku gak bohong kan Dad, Mis Lisa cantik?" "Ha? Ah,, iya. Mis Lisa cantik." Daren menggaruk kepalanya, meski tidak gatal. Queen dan Lisa akhirnya masuk ke dalam kelas, gadis kecil itu memang ada saja tingkah konyolnya. Queen tidak berbohong, Lisa cantik dan memiliki senyum yang begitu manis. Khas wanita Asia. Namun jika harus berterus terang mengatakan wanita itu cantik tepat di hadapannya, tentu saja Daren merasa malu. Sesekali Daren melirik dimana putrinya berada, bahkan Queen pun ternyata sama, sesekali ia mencuri pandang memastikan Daren masih berada di sekolahnya atau tidak. Namun tanpa sengaja mata Daren dan Lisa bertemu, mereka bertatap muka sesaat, sebelum akhirnya Daren memutus kontak karena ponselnya berdering.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD