Episode 3

1129 Words
Dua bulan berlalu setelah Elea pulang ke Jakarta, menyusul Aksa. Anggota keluarga lainnya sepakat menyusul dan kembali menetap di Jakarta. Jika tidak ada halangan esok lusa Daren akan memboyong semua keluarganya kembali ke Jakarta. "Barang-barangnya sudah dikemas, sayang?" Daren menghampiri kamar putrinya yang sudah napak kosong, karena sebagian barang kesayangannya sudah terlebih dahulu di packing dan di kirim ke Jakarta. Queen hanya tinggal memasukan beberapa pakaian kedalam koper kecil berwarna merah muda. "Selesai, Dad." Queen menutup koper yang sudah ditata sedemikian rupa. "Jakarta kota yang sangat indah, disana kamu tidak akan merasa kesepian." "Aku tau," Queen menyela dengan cepat. "Aku sudah pernah lihat kota itu di internet. Sepertinya lumayan," lanjutnya. Queen memang lebih pintar dari anak seusianya, sikap mandiri yang ditanamkan Daren sejak kehilangan Danisa membuat Queen tumbuh menjadi gadis penuh kejutan. Terkadang apa yang ditakutkan Daren, justru Queen menyukainya atau justru sebaliknya. "Anak pintar, kalau begitu Dad mau keluar sebentar ya,," "Oke," Daren mengecup puncak kepala Queen dan beranjak keluar kamar. Segala keperluan untuk kembali ke Jakarta sudah selesai, namun ada satu hal yang belum diselesaikan Daren, yaitu hatinya. Belum lama ia menetap di Spanyol, bahkan mungkin ia baru saja akan beradaptasi dengan kehidupan barunya, namun keadaan justru membuatnya harus kembali ke Jakarta. Mengendarai mobil dengan kecepatan rendah, Daren menyusuri sepanjang jalan San Sebastian, untuk terakhir kalinya Daren menikmati suasana malam di kota kecil nan indah ini. Ia tidak akan merasakan lagi keindahan kota kecil ini, karena sebentar lagi ia harus kembali bertarung melawan padatnya jalanan Ibu kota yang terkadang membuatnya semakin tertekan. Tidak ada tujuan, Daren akhirnya menepi di pinggir pantai. Udara malam dengan hembusan angin kencang, membuat ia harus berkali-kali menyalakan pemantik agar nikotin kesukaannya menyala. Deburan ombak silih berganti menerjang karang, dengan kokohnya batu karang itu tetap berdiri tegak meski perlahan dirinya mulai terkikis. Ingin sekali Daren bisa setegar karang, berdiri tegak menantang kehidupan, namun manusia tetap hanya sebatas memiliki angan, pada akhirnya alam yang akan menyeleksi antara bertahan atau menyerah. Pendengaran Daren mulai menanajam begitu ia menangkap suara asing di telinganya. Awalnya ia tidak terlalu peduli dengan suara tersebut, namun semakin lama justru semakin mengganggu karena suara itu semakin kencang terdengar. Rasa penasaran mulai menggelitik hati, membuat langkah kakinya perlahan melangkah, mencari sumber suara. Mata Daren menyipit, melihat seorang wanita tengah berjongkok, menangis bahkan sesekali ia berteriak tidak jelas. Daren tidak ingin terlibat konyol dengan wanita asing tersebut, ia hanya memperhatikannya dari jauh. Sungguh menyedihkan melihat penampilannya, rambut panjang terurai namun acak-acakan, bahkan wanita itu tidak mengenakan alas kaki. Tidak menyadari jika dirinya tengah diperhatikan, wanita itu justru kembali menangis bak anak kecil baru saja kehilangan mainan kesayangannya. Tanpa sadar Daren tersenyum, namun itu hanya satu detik setelah ia melihat sebotol minuman di tangan si wanita. Ternyata Daren hanya memperhatikan wanita mabuk, merasa tidak ada gunanya ia memutuskan untuk pergi atau paling tidak berjauhan dengan wanita mabuk. Baru saja ia hendak berbalik, tiba-tiba si wanita menoleh membuat keduanya saling bertatapan. Sorot mata wanita itu tidak asing, tapi Daren tidak begitu yakin karena ia baru bertemu satu kali. Namun ketika wanita itu berdiri dan menyibakan rambut yang menutupi sebagian wajahnya, membuat Daren yakin. Wanita itu adalah orang yang sama dengan yang ia temui tempo hari. "Hai,,,," sapa si wanita dengan langkah sempoyongan. Ia berjalan tertatih menghampiri Daren. "Kamu lelaki yang waktu itu kan? Wah,,, kebetulan sekali bukan, kita bertemu lagi. Itu tandanya kita berjodoh." Bau minuman keras begitu tercium setiap kali wanita itu berbicara. "Jika kita bertemu lebih dari dua kali secara tidak sengaja, berarti itu tandanya alam memang sengaja mempertemukan kita, hahaha,,," Daren hanya diam tanpa ekspresi, bahkan ia mundur setiap kali wanita itu melangkah maju. "Kamu orang Indonesia kan? Aku juga,,,, ayo bicara jangan seperti orang bodoh, diam saja seperti itu." Tidak ada cara lain selain menghindari wanita mabuk. Daren tidak berminat sama sekali mengenal atau pun berbicara dengannya. Tanpa sepatah katapun Daren berbalik, hendak meninggalkannya. "Jangan pergi, tolong!" Langkah Daren terhenti, namun ia masih membelakangi wanita itu. "Jangan pergi, aku takut!" "Seharusnya kamu merasa takut karena kehadiranku disini," akhirnya Daren bersuara. "Suaramu indah sekali. Aku Lilly, nama kamu siapa?" Tidak ada gunanya berkenalan dengan wanita mabuk, lagi pula Daren akan segera meninggalkan tempat ini. Bahkan jika perkenalan itu sangat penting, Daren tidak tertarik sama sekali. Daren tidak ingin terlibat lebih jauh, ia berjalan dengan pasti meninggalkan Lilly. "Hey,,,, kamu belum sebut namamu! Hey,,," Lilly berteriak, namun tidak membuat Daren menoleh, ia tetap berjalan dan semakin mempercepat langkah kakinya. "Awww,,,," jerit kesakitan Lilly meruntuhkan sikap teguh Daren, langkahnya terhenti dan menoleh. Lilly meringis kesakitan memegangi telapak kakinya. Awalnya Daren tidak ingin peduli sedikitpun, namun begitu ia melihat darah menetes dari telapak kaki Lilly, ia menyerah dan mendekatinya. Daren berjongkok, bertumpu di satu kakinya, untuk memriksa luka Lilly. "Kulit kerang itu melukaiku,," Lilly meringis, memperlihatkan luka gores cukup dalam dan mengeluarkan banyak darah. "Kenapa kamu tidak memakai alas kaki?!" Daren berdecak kesal, namun ia tetap tidak tega melihat seseorang terluka. Ia berjongkok, memeriksa luka di kaki Lilly. "Aku hanya menyelamatkan diriku, tapi aku melupakan hal kecil dan justru malah melukai diriku." Daren mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya dan membungkus luka Lilly agar tidak semakin banyak mengeluarkan darah. "Sapu tangan itu tidak akan mengobati lukamu, itu hanya bersifat sementara. Sebaiknya kamu pulang dan bersihkan lukamu, sebelum banyak pasir yang masuk kedalam." "Kenapa suaramu begitu sexy,,,," Lilly menatap Daren dengan kagum. Daren tidak menghiraukan ucapan Lilly, ia masih fokus menutup luka yang terus saja mengeluarkan darah segar. "Sepertinya kita jodoh," "Kamu mau kan jadi suamiku?" Kali ini Daren benar-benar dibuat kesal karena Lilly bukan hanya berkata konyol namun juga memegang wajah dengan kedua tangannya. "Tolong hentikan! Atau aku akan benar-benar meninggalkanmu dengan kondisi seperti itu!" Daren membentak Lili, dan menepis tangannya. "Tapi nyatanya kamu gak pergi. Kamu tidak akan meninggalkanku, benar kan?" Daren semakin kesal, tidak ada gunanya berbicara dengan wanita mabuk. Ia berdiri, mengibas butiran pasir yang menempel di celananya. Melihat Daren hendak meninggalkannya, Lilly pun ikut berdiri, mengabaikan sakit di kakinya. "Kamu beneran mau pergi?" "Menurutmu?" "Baiklah,, kamu memang sama seperti lelaki lainnya. Pergi sana! Tapi ingat, jika suatu hari kita bertemu lagi aku benar-benar tidak akan melupakanmu, dan akan memaksamu menikahiku!" "Dasar wanita mabuk," gumam Daren, kali ini ia tidak lagi menghiraukan Lilly dan memilih pergi meninggalkannya seorang diri. Sejujurnya sepanjang perjalanan pulang, Daren masih terus mencemaskan Lilly. Bagaimana wanita itu bisa pulang ke rumahnya dengan kondisi kaki terluka, bahkan mungkin bisa saja dia bertemu lelaki hidung belang dan memanfaatkannya. Daren segera menggeleng, menghilangkan bayangan-bayangan buruk itu. Lalu apa yang wanita itu ucapkan tadi? Dia harus menikahinya jika mereka bertemu kembali? Itu konyol. Darren tidak akan menikahinya, dan tidak akan mungkin bertemu lagi dengan wanita aneh itu. Angin semakin berhembus kencang, udara dingin semakin terasa menusuk tulang. Daren dan Lilly tidak pernah tahu, Tuhan tengah memperhatikan keduanya dan merencanakan sesuatu di luar akal sehat mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD