Episode 5

1246 Words
Karena kesibukannya yang semakin padat, membuat Daren terpaksa menyewa sebuah apartemen kecil di Tangerang, dekat proyek terbarunya dan Reno. Dua hari sekali, atau bahkan bisa satu minggu sekali Daren baru bisa mengunjungi Queen di kediaman Revan. Awalnya Queen sempat tidak setuju dengan keputusan Daren, namun setelah beberapa kali dibujuk Queen akhirnya mau mengerti dengan syarat, setiap malam sebelum ia tidur, Daren harus menelponnya terlebih dahulu. "Sepertinya minggu ini akan menjadi minggu tersibuk untuk kita," Reno menghampiri Daren, yang tengah memeriksa beberapa dokumen di meja kerjanya. "Bukankah satu bulan ini sudah menjadi hari-hari sibuk untuk kita?" Sindir Daren, namun fokusnya tetap pada dokumen dihadapannya. Reno terkekeh pelan, "Kesibukan lebih membuatmu seperti manusia normal. Lebih bersemangat, dan wajahmu justru terlihat lebih segar." "Maksudnya terlihat segar dengan kantung mata yang semakin menghitam?" Reno kembali tertawa, kali ini lebih keras. "Setidaknya masih tetap tampan, tidak sepertiku semakin hari semakin tua. Padahal aku belum memiliki keturunan." Kali ini Daren menoleh. Reno dan dirinya terikat tali persaudaraan karena hubungan darah antara Revan dan Reno. Namun karena mereka berdua sama-sama menggeluti dunia bisnis, Reno lebih akrab dengannya seperti hubungan teman, bukan hubungan saudara atau seorang atasan dan bawahan. Usaha yang mereka rintis bersama secara garis besar menag milik Reno, tapi tentu saja usaha Reno tidak akan berkembang pesat tanpa bantuannya. Sehingga Reno tidak pernah menganggap Daren sebagai pegawai, namun sebagai partner. Seringnya mereka bertemu dan berdiskusi banyak hal, membuat Reno tidak segan menceritakan masalah rumah tangganya, salah satunya hingga usianya mendekati kepala enam, Reno dan istrinya belum juga dikaruniai keturunan. "Aku sering menyarankan Gadisa untuk mencari anak adopsi, tapi dia tetap bersikeras ingin memiliki anak sendiri. Pada akhirnya sampai setua ini, aku masih saja tidak dikaruniai seorang anak." "Kalian bertengkar?" Selidik Daren, kali ini ia menaruh dokumen diatas meja, dan ia serius menatap Reno. "Sedikit," Reno mengangkat telunjuk dan jempolnya, membentuk setengah lingkaran, yang awalnya besar diubah menjadi kecil. "Kira-kira sebesar ini," Tingkah Reno yang terkadang tidak sesuai dengan usianya membuat Daren tersenyum samar. Reno lebih menyenangkan diajak bicara, bahkan meski umur mereka berdua terpaut cukup jauh, Reno tidak ingin berbicara terlalu formal, ia lebih suka suka berbicara layaknya teman. "Hari ini kita akan kedatangan tamu, lebih tepatnya partner kerja yang sempat aku ceritakan padamu, dulu. Mereka akan datang dan makan siang bersama, jadi sebaiknya kamu siap-siap. Aku mau istirahat, semalam kurang tidur. Gara-gara Gadisa menangis," Reno menepuk pundak Daren, ia pergi menuju sebuah ruangan yang terletak di belakang meja kerja Daren. Ruangan yang disulap menjadi sebuah kamar, yang sering Daren pergunakan jika ia benar-benar tidak bisa pulang. Beberapa dokumen selesai diperiksa, selanjutnya Daren hanya tinggal menghadiri acara makan siang yang direncanakan Reno dan rekan bisnis yang tidak diketahuinya. Masih tersisa waktu dua jam, Daren memanfaatkan waktu untuk menghubungi gadis kecilnya, kali ini ia akan melakukan panggilan video. Rasa rindunya kian bertumpuk, karena beberapa hari ini Daren hanya bisa mendengar suaranya, tanpa melihat wajah Queen. Panggilan terhubung, gambar Kanaya muncul paling pertama. Karena ini masih jam sekolah, tentu saja Daren menghubungi Queen lewat ponsel Kanaya, "Ibu, Queen ada?" "Ada. Tapi dia nangis," gambar berubah, menampilkan wajah sang anak yang tengah terisak dengan air mata yang masih membanjiri wajahnya. "Hey, sayang. Kenapa?" Queen menoleh. Setelah melihat wajah Daren, tangis Queen justru kembali pecah. "Hey,,, ko malah nangis lagi?" Tangis Queen terdengar begitu nyaring, membuat Daren khawatir. "Kenapa? Cerita sama Daddy." "Queen jatoh,,," gadis kecil itu menunjuk luka di sikunya. Tampak garis merah dengan sedikit berdarah di kulit putih Queen. "Kok bisa jatuh?" "Tadi lari, terus jatoh." "Lain kali gak boleh lari ya. Nanti jatuh lagi, sakit kan?" Queen mengangguk, sambil menyeka air mata di pipinya. "Daddy kapan pulang?" Pertanyaan sama, setiap kali mereka berkomunikasi yang semakin membuat Daren merasa bersalah. "Secepatnya. Secepatnya Dad, pasti pulang." Daren tidak pernah menjanjikan kapan dirinya pulang. Pernah suatu hari Daren berjanji akan pulang, ternyata tiba-tiba ada pekerjaan mendadak dan tidak bisa di diwakilkan. Akhirnya Queen marah dan tidak mau bicara berhari-hari. "Secepatnya kapan Mis?" Tanya Queen, pada orang di sampingnya. "Secepatnya itu segera. Dan segera itu akan terjadi tidak lama lagi." Suara lembut dan merdu menjawab pertanyaan Queen. Tanpa sengaja layar ponsel yang di pegang Queen bergeser, tampak sosok perempuan berdiri di samping Queen dan Kanaya. Dia adalah Lisa, wali kelas Queen. "Berarti, Dad akan segera datang. Begitu kan Mis?" "Betul sayang." Lisa mengusap lembut puncak kepala Queen dengan sayang. Daren menyaksikan keakraban mereka berdua, sepertinya Queen sangat menyukai wali kelasnya itu. "Kalau begitu Dad harus kembali bekerja, nanti Dad telpon lagi." Queen mengangguk, "Tolong berikan ponselnya pada Oma." "Oma pergi ke toilet," "Kalau begitu, tolong berikan ponselnya pada Mis Lisa." Gambar berubah. Kini menampilkan wajah Lisa dengan sangat jelas. "Mis, saya titip Queen." "Tentu, Mr Daren. Maaf karena keteledoran saya, Queen terjatuh." Raut wajah Lisa nampak menyesal. "Tidak apa-apa. Namanya anak-anak, pasti seperti itu. Kalau begitu saya pamit, terima kasih sudah menenangkan Queen." "Sama-sama, Mr Daren." Panggilan terputus, layar ponsel Daren kembali berubah hitam. Sejenak pikirannya berkelana jauh. Seandainya saja ada wanita yang bersikap lemah lembut seperti Lisa dan menyayangi Queen seperti putrinya sendiri, tentu saja Daren akan merasa bahagia. Tapi pertanyaannya, masih adakah wanita tulus mencintainya dan juga putrinya? Rasanya sekalipun ada, itu pasti sangat jarang dan langka. Daren tersenyum sendiri membayangkannya, terlebih wanita di zaman sekarang ini pasti hanya ingin mendapatkan perhatian Daren, tanpa memperdulikan seorang gadis kecil yang harus di sayanginya juga. "Jam berapa?" Tiba-tiba Reno muncul dari balik pintu, mengucek kedua matanya yang berwarna merah. "Jam dua belas." "Ya Tuhan, kenapa kamu tidak membangunkanku. Aku tidak mungkin bertemu mereka dengan muka bantal seperti ini," Reno bergegas menuju toilet, ia pasti akan membasuh mukanya yang terlihat jelas habis bangun tidur. Mereka berdua langsung menuju lokasi yang sudah dijanjikan, di sebuah Restoran Jepang yang cukup terkenal, di salah satu Mall terkenal di Tangerang. "Mereka sudah sampai sejak sepuluh menit lalu," Reno berjalan cepat, meninggalkan Daren yang berjalan santai di belakangnya. "Cepat sedikit!" "Baru terlambat sepuluh menit, banyak dari mereka yang terlambat datang sampai satu jam. Dan mereka tetap bersikap santai," Daren tidak menghiraukan ajakan Reno, ia tetap berjalan santai seperti biasanya. "Kamu lelet sekali! Seperti perempuan saja." Mereka pun sampai, mata Reno menjelajah mencari orang yang dimaksud. "Nah itu mereka." Tunjuk Reno pada sebuah meja yang terletak di pojok ruangan. Mereka terdiri dari dua laki-laki paruh baya, dan seorang perempuan, namun tidak terlihat wajahnya karena dia duduk membelakangi. "Hello Mr John, maaf kami terlambat datang." Reno menyapa salah satu dari mereka bernama Mr John. "Tidak apa-apa. Lagipula kita baru saja sampai. Silahkan duduk." Mr John mempersilahkan Daren dan Reno duduk. "Mr Reno, perkenalkan ini Daniel, dan ini asisten pribadiku, Rose." Daren tidak terlalu memperhatikan wajah orang-orang yang diperkenalkan John, ia lebih tertarik melihat sebuah meja berisi sebuah keluarga yang terlihat begitu bahagia, tengah menikmati hidangan makan siang mereka. "Oh iya,, dan ini perkenalkan juga, dia orang kepercayaanku sekaligus yang bertanggung jawab untuk proyek kita, Daren." Daren kembali fokus, begitu Reno menyebut nama dan menepuk pundaknya. Daren menjabat Mr John, dan Daniel. Namun Daren tertegun untuk beberapa detik ketika tangannya terulur pada seorang wanita. "Hallo apa kabar Mr Daren. Senang bertemu lagi." Daren menjabat tangan Rose, wanita itu tersenyum penuh arti padanya. Sejenak Daren mencoba mengingat sosok familiar di hadapannya, dan ingatannya kembali teringat akan pertemuannya dengan seorang wanita aneh di pinggir pantai di Spanyol. Ya, Daren tidak mungkin salah. Mereka wanita yang sama. Dia adalah Lilly, si wanita aneh yang mengajaknya menikah jika suatu hari mereka bertemu lagi. Tapi yang ada di hadapannya kini Rose, bukan Lilly. Daren berharap mereka adalah orang berbeda, jika ternyata mereka orang yang sama, tamatlah riwayatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD