Begitu pintu lift tertutup, Mahendra langsung menarik pinggangku tanpa banyak bicara, membuat tubuhku menabrak dadanya. “Mas—” aku nyaris protes. Tapi dia langsung menciumku. Kuat dan dalam. Tidak ada basa-basi, tidak ada jeda. Ciuman itu terasa seperti pelampiasan semua rasa cemburu dan kekesalan yang ditahan sejak tadi. Satu tangannya menahan tengkukku, sementara yang lain melingkar di pinggangku erat. Aku kaget, tapi tak bisa menolak. Nafasku tersengal, dan semuanya terasa blur di kepalaku. Begitu ciumannya terlepas, jarak di antara wajah kami nyaris tak berubah. Napas Mahendra pun masih terengah. “Ini baru tahap satu ritual membersihkan jidat kamu,” katanya dengan nada rendah. Aku memukul pelan dadanya. “Mas Mahen! Kebiasaan mecum tidak tahu tempat. Lihat tuh ada CCTV!” Mahendra

