Part 2

1014 Words
Aira termenung di tempat tidur Nabila, dia bingung harus bagaimana memberi kabar kedua orangtuanya tentang kejadian yang menimpanya ini. Terlebih lagi, ini bukan hal sepele, melainkan melibatkan pernikahan, dimana hal itu adalah kejadian paling sakral, dan hanya akan terjadi satu kali seumur hidupnya. Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuatnya semakin pusing. Masalahnya adalah, ia akan menikah dengan lelaki yang lebih muda darinya alias berondong. Bagaimana mungkin? Membayangkannya saja dia tidak pernah, apalagi menjalankannya, akan seperti apa pernikahannya nanti. Aira kembali menghembuskan napas, sedih akan nasibnya. Beberapa kali ia memijat pelipisnya yang semakin pusing. Mengapa seperti ini? Ia sangat merutuki tindakan pemuda yang bernama Rayhan itu. Aira ingin menolak, sangat ingin menolak, tapi Om Haris, Papanya Nabila terus memaksa, bukan karena apa-apa, tapi untuk menghindari fitnah yang tidak diinginkan. Apalagi tadi Aira sempat berteriak kencang sekali, bisa dipastikan bukan hanya keluarga Nabila saja yang mendengar tetapi juga tetangga mereka. Lebih baik ia mengambil jalan tengahnya saja, yaitu menikahkan Aira dengan Rayhan. Sebenarnya Rayhan sempat menolak juga, dengan alasan ia lebih muda dari Aira di tambah lagi dia yang masih sekolah. “Ra, kamu baik-baik saja kan?” Nabila mendekati Aira yang membenamkan wajahnya dibantal, disentuhnya lengan sahabatnya itu untuk memastikan bahwa Aira tidak sedang menangis. “Tidak, setelah kejadian tadi, Bil.” “Maafin adik aku ya, Ra. Tapi disini memang seperti itu, dari pada terjadi fitnah atau kejadian yang tidak diinginkan, bukankah lebih baik kalau kita mengambil jalan tengah. Aku tahu pasti berat buat kamu. Ambil hikmahnya aja, siapa tahu dia  emang jodoh kamu.” Nabila tersenyum mencoba menghibur sahabatnya. “Ini bukan perkara mudah, Bil. Melainkan melibatkan pernikahan. Dia itu terlalu muda. Adik kamu masih sekolah. Masih SMA. Aku nggak mau. Atau paling nggak, gantiin posisi dia jadi kakak kamu deh kalau gitu.” “Heh! Ngawur kamu, mana bisa?” “Terus aku harus gimana? Masa pulang-pulang bawa kabar mau nikah.” “Ya nggak apa-apa. Kasih kejutan buat orangtua mu.” Nabila mencoba menguatkan sahabatnya yang masih saja bingung. “Kejutan kalau baik nggak masalah, ini aja kejadiannya begini.” Aira menggerutu kesal pada Nabila. “Kan melangsungkan pernikahan juga perbuatan baik, sunnah Rosul, lho Ra.” “Iya tahu. Tapi tetep aja, Bil, ini tuh permasalahannya beda.” “Beda gimana? Orang sama-sama melangsungkan pernikahan kok.” “Ih.... kamu tuh nggak ngerasain di posisi aku sih.” Aira semakin sebal saja dengan sahabtanya yang tidak peka dengan perasaannya. Nabila terkikik, antara kasihan dan gemas dengan Aira. Bukannya tidak peka dan tidak tahu apa yang dipikirkan sahabatnya, tapi ia juga harus memberikan pengertian pada wanita yang ada dihadapannya ini. “Ra—” Suara Nabila langsung terputus, begitu mendengar suara adiknya dengan sang Papa. “Mau dikasih makan apa nanti anak orang, Pa?!”  Rayhan masih mencari-cari alasan untuk membatalkan rencana Papanya. “Batu di jalanan masih banyak kok, Han.” Rayhan mendelik kesal ke Papanya. Dalam situasi seperti ini masih saja bisa bercanda. “He...he...he... Bercanda, Han. Udah, jalanin aja dulu. Rezeki itu pasti datang kok, Allah akan mempermudahkannya. Untuk masalah kerja nanti kamu bisa kerja di kantor Papa. Tapi kamu juga tidak bisa langsung naik jabatan harus pelan-pelan.” “Terserah, Papa deh. Aku capek.” Rayhan akhirnya menyerah, ia tidak bisa lagi mencari-cari alasan. Pikirannya lelah setelah try out tadi, ditambah dengan kejadian yang semakin membuatnya pusing. “Tanyain sekalian tuh sama temennya Kakak, mau nggak sama berondong?” Rayhan menekankan kata berondong ketika melewati kamar Kakaknya. Aira yang mendengar berdecak tidak suka. Sedangkan Nabila dan Papanya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala mendengar ucapan Rayhan. *** “Gimana, nak Aira?” Tanya Mamanya Nabila setelah Aira keluar kamar bersama dengan sang anak. “Nggak usah deh, Tante. Aira nggak apa-apa kok.” Aira masih bertahan dengan jawabannya tidak mau menikah dengan Rayhan. “Gimana ya? Sebenarnya ini nggak bisa di tolak, nak Aira. Maaf kalau kesannya memaksa, tapi ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti fitnah.” Kini giliran Haris yang berbicara. “Ya kalau nggak bisa kenapa harus tanya aku lagi sih, Om.” Aira menjawab dengan sedikit kesal. Sebenarnya dia tahu kalau ucapannya tidak sopan, tapi sekarang suasana hatinya lagi tidak enak. Sedangkan orangtua yang ada dihadapannya hanya tersenyum. Memaklumi. Jika tamunya ini memang sedang tidak enak hati. “Baik-baik, Om tidak akan bertanya lagi. Kalau begitu, besok Om dan Rayhan akan datang kerumahmu untuk melamar. Orangtuamu sudah pulang kan besok?” Gadis itu mengangguk. Pasrah dengan takdirnya. “Tapi paling siang, Om.” Aira menimpali lagi. “Oh iya Aira. Om boleh minta nomor orangtuamu, biar Om bisa memberi tahu kalau kamu besok dilamar. Atau menjelaskan sesuatu agar mereka tidak salah paham.” Aira yang mengerti segera mengambil ponsel dari saku roknya, setelah mengotak atik sebentar ia menyerahkannya pada Haris. “Ya sudah kalian istirahat saja. Sudah malam.” Haris menyerahkan kembali hp Aira setelah menyimpan nomor orangtuanya. *** “Nggak sekolah, Han?” Haris mendekati anaknya yang lagi sibuk mencuci sepedah motornya. “Eh, libur, Pa. Habis try out.” Jawab Rayhan masih menyabuni motornya. “Berarti try out kamu udah selesai kan?” Haris bertanya lagi kemudian duduk dikursi depan teras. “Iya, Pa. Kemarin yang terakhir.” “Try out lagi kapan?” “Belum tahu, mungkin seminggu lagi. Kenapa emang? Tumben banget Papa nanya.” “Namanya juga anak, Han. Masa, perhatian dibilang tumben.” Haris masih menatap anaknya yang sekarang sudah membilas motornya dengan air. Sedangkan Rayhan hanya terkekeh, kembali membilas sepeda motornya yang sempat tertunda karena pembicaraan dengan Papanya tadi. “Oh ya, Han. Nanti ikut Papa  ya.” “Kemana?” “Ke rumah Aira untuk melamar.” Seketika aktivitas yang sedang dilakukannya berhenti, begitu mendengar jawaban dari Sang Papa. “Pa?!” Rayhan merengek hendak protes. “Kamu sudah setuju, Han.” “Rayhan ada try out susulan, Pa.” “Jangan bohong. Kamu tadi sudah bilang.” Rayhan berdecak. Menyesali apa yang baru dikatakannya tadi. Kalau saja dia tahu alasan Papanya bertanya, pasti dia akan menjawab kalau try out nya belum selesai, walaupun Haris juga tidak akan percaya. Terdiam sebentar. Rayhan sedang memikirkan sesuatu. Alasan yang digunakannya untuk tidak pergi melamar teman Kakaknya. “Oh iya, Pa. Rayhan lupa, hari ini ada les. Jadi nggak bisa, maaf ya, Pa.” Rayhan bersorak, akhirnya menemukan ide. “Les nggak les pokoknya kamu ikut Papa! Lagian les ditinggal sehari juga nggak masalah.” “Tap—” “Nggak ada alasan lagi, Han. Sekarang kamu siap-siap Papa tunggu. Jangan lama-lama!” Haris bangkit dari kursinya dan masuk kedalam rumah. Sedangkan Rayhan menggerutu, walau begitu, akhirnya dia juga bersiap-siap, setelah selesai mencuci motor tentunya. Rayhan bukanlah anak yang bandel dan suka membantah, dia anak yang baik didepan orangtuanya. Walau di sekolah kenakalan remaja masih sempat dilakukannya, tapi masih dalam batas normal,   tidak sampai mendekati barang-barang haram, apalagi bermain wanita. Malah terkesan dingin dengan kaum hawa, kecuali dengan Mama dan Kakaknya. Dan itu wajar untuk anak seusianya, mugkin pengecualian untuk pernikahan diusianya yang masih muda. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD