Part 3

1001 Words
Sesuai janji, setelah mengantar Aira pulang. Rayhan dan Papanya mendatangi kediaman orangtua Aira. Disana mereka langsung disambut kedua orangtua Aira, yang telah mengetahui insiden yang menimpa putrinya tersebut. Rasa canggung bercampur tegang segera menyelimuti Rayhan dan Haris, setelah di persilakan duduk oleh tuan rumah. Pasalnya mereka melamar bukan dasar perjodohan ataupun saling cinta, melainkan insiden yang menimpa Aira bersama putra nya tersebut. “Jadi kedatangan Bapak kemari?” Wahyu, Ayahnya Aira segera bertanya untuk memecahkan keheningan yang terus menyeruak. “Emm, begini, Pak. Bapak mungkin sudah tahu tentang kejadian yang menimpa putri Bapak kemarin. Saya yakin, Aira pasti sudah cerita semuanya. Sebelumnya kami minta maaf karena Putra saya telah melakukan kesalahan terhadap putri anda. Jadi, kedatangan kami kemari untuk melamar putri anda, Alzena Humaira untuk dijadikan istri anak saya, Muhammad Rayhan Aditya. Jadi bagaimana, Pak?” Haris menjelaskan panjang lebar mengenai alasan yang membawanya ke rumah Wahyu, Ayahnya Aira. “Bagaimana ya? Kalau mendengar penuturan dari anak saya, memang agak mengecewakan. Di tambah lagi perbedaan usia mereka. Tapi mau bagaimana lagi, untuk menjaga nama baik, dan keputusan dari anak saya sendiri setelah berdiskusi tadi, maka—” Hening sejenak. Raut panik segera hadir diwajah Haris, sedangkan Rayhan. Jangan ditanya, ia nampak biasa saja, malah berharap lamarannya bakal di tolak. Wahyu menghembuskan nafas sejenak. “Bismillahirrohmanirrohim, lamaran anak anda saya terima.” Wahyu tersenyum kearah dua orang yang tadi sempat dag-dig-dug menunggu jawabannya. Haris yang mendengar penuturan dari calon besannya tersenyum lega, sedangkan Rayhan mendengus tipis. Kecewa. Tak terlihat memang. Tapi mampu membuat bahunya bergoyang karena disenggol Haris. Setelah acara lamar-melamar selesai, mereka pun membahas tanggal terbaik untuk pernikahan anak mereka. Setelah sekian lama berunding, akhirnya kedua orang paruh baya tersebut menemukan tanggal yang cocok. Dan itu satu minggu lagi. Rayhan langsung terima? Tentu saja tidak. Ia sampai harus memasang wajah melas didepan Papanya tetapi tidak dihiraukan. “Semakin cepat-semakin baik, Han. kamu bentar lagi UN, pasti lagi sibuk-sibuknya. Mumpung sekarang lagi break.” Rayhan hendak protes tapi tidak jadi, karena Haris mengisyaratkan dengan lirikan mata ke calon mertuanya itu. Seolah bilang ‘Nggak enak Han’ Setelah disepakati bersama, Rayhan dan Papanya pun pamit pulang. “Ayah, salah nggak sih?” Aira segera bertanya pada Ayahnya setelah Rayhan dan Papa nya pulang. “Apanya yang salah, Ra?” “Dia masih sekolah, Yah.”                                           “Kamu juga masih sekolah, sama aja kan.” “Maksud aku dia masih SMA, Yah. Lebih muda dari aku lho.” Wahyu menghela nafas sejenak, mencoba tersenyum. Walau sudah berkali-kali meyakinkan putrinya bahwa perbedaan usia bukanlah masalah, tetap saja masih menggunakan alasan yang sama. “Udah jodoh kamu, Nak. Usia Rosulullah juga lebih muda dari Khodijah, nyatanya mereka bahagia. Diterima sajalah. Insyaallah kedepannya pasti bisa lebih baik. Kamu nggak mau ngecewain Ayah kan? Udah diterima lho lamarannya. Seminggu lagi juga udah nikah.” “Apa Yah, seminggu lagi?!” Aira yang tadinya hampir lemas, langsung terbelalak, nada suaranya sedikit naik karena kaget. Dan Wahyu hanya mengangguk menjawab putrinya itu. “Alzena Humaira, jangan membantah, Nak.” Wahyu bersuara tegas sebelum anaknya hendak angkat bicara. Dan itu kode keras bagi Aira, kalau namanya sudah dipanggil lengkap berarti sang Ayah tidak mau dibantah. *** Satu minggu akhirnya berlalu, hari yang ditunggu pun tiba. Persiapan juga sudah selesai dari kemarin. Acaranya memang tidak meriah, hanya anggota keluargalah yang diundang. Tidak ada resepsi, mengingat mereka yang masih sekolah. Rencananya walimatul ‘urs akan diadakan setelah Aira atau Rayhan lulus dari sarjana. Didepan kaca Rayhan terus mendesah, ia bingung, gugup, dan campur aduk dengan perasaan lainnya. “Udah hafal kan?” Haris mendekati anaknya yang masih mematut diri didepan cermin sambil komat-kamit. “Semalaman, Pa, aku menghafalnya. Tapi makin deket kok makin deg-degan ya. Padahal Rayhan tidak begitu menginginkan pernikahan ini lho.” “Hus! Jaga omongan kamu, Han, nggak boleh kayak begitu.” Haris menegur putranya yang kadang kurang bisa mengontrol bicara. “He...he...he... Maaf, Pa. Nggak lagi bener.” “Ya sudah tidak apa-apa. Lagi pula deg-deg gan itu udah biasa. Papa dulu juga begitu. Bismillah aja Han. Insyaallah lancar. Ayo berangkat keburu siang lho.” Rayhan mengangguk kemudian ikut keluar bersama Papanya. “Ciee. Adik aku tampan banget ya. Mana ngedahuluin Kakaknya lagi.” Nabila menggoda adiknya yang baru saja keluar rumah dengan pakaian rapi yang dibalut jas dan peci. “Salah Kakak sendiri ngapain bawa temen cewek, lain kali kalo bawa temen itu cowok, biar nggak kejadian lagi.” “Yee, emang kamu mau nikah berapa kali? Sok bilang lagi. Lagian ya, kalau Kakakmu ini bawa temen cowok, itu berarti udah halal, kalau belum halal ngapain bawa temen cowok kerumah.” “Ck, banyak alasan, padahal mah nggak punya pasangan, biasa itu alasan para jomblo.” Sahut Rayhan tak mau kalah. Sebenarnya Nabila mau membalas lagi, tapi tidak jadi karena instruksi sang Mama yang segera melerai kedua anaknya yang tengah adu mulut. Sedangkan di tempat lain, Aira juga dilanda bingung dan gugup. Pasalnya hari ini ia akan menikah, dan calon suaminya itu masih SMA. Dia masih tidak menyangka kalau hal ini benar-benar terjadi padanya. “Udah, Nak. Nggak usah dipikirin, itu calon suami kamu sudah datang. Kamu disini sama Bunda ya, nanti kalau ijab qabulnya udah selesai Bunda anterin kamu kebawah.” Aisyah mengusap kepala anaknya dengan sayang, mencoba menyalurkan kasih sayang  agar putrinya bisa tenang. Satu garis lengkungan terukir di bibir Aira, meskipun demikian, dirinya tidak bisa menghilangkan rasa cemas bercampur gugup karena sebentar lagi statusnya yang akan berubah menjadi seorang istri. Dibawah sana, ditempat akad, Rayhan dengan satu tarikan nafas mengucapkan ijab qabul dengan mantap, baru kemudian disusul dengan kata ‘sah’ pada setiap orang yang hadir. Setelah membaca hamdalah dan do’a, Aira dituntun Aisyah untuk menemui Rayhan yang kini sudah menjadi suaminya. Saling berhadapan, baik Rayhan maupun Aira dilanda perasaan gugup. Keduanya saling meremas tangan masing-masing. Rayhan masih berani menatap Aira, sedangkan Aira, ia hanya menunduk, dan beberapa detik kemudian Aira baru berani mengulurkan tangannya untuk menyalimi Rayhan, begitupun sebaliknya. Setelahnya ia mengarahkan tangan Rayhan kebibirnya untuk diciumnya. Sebagai wujud bakti seorang istri pada suaminya. “Do’a kan Istrimu, Han.” Haris mengintrukssi anaknya yang masih saja diam. Tidak lama setelah itu, Rayhan pun mengangguk kemudian segera meletakkan telapak tangannya diatas ubun-ubun Aira untuk mendo’akanya. Sambil tangan satunya ia tengadahkan keatas seperti orang berdo’a, setelah diamini keduanya Rayhan pun meniup ubun-ubun sang istri. “Cium kening, Han, masa cuma do’a doang.” Mendengar itu, Rayhan dan Aira kompak memelototi Nabila, kemudian menatap orang tua masing-masing yang dijawabi dengan anggukan. Akhirnya, mau tidak mau Rayhan pun mencium kening Aira beberapa detik. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu sukses membuat dada keduanya bergemuruh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD