Bab 10. Takut Kehilangan

1255 Words
“Prewed-nya di rumah klien, jadi nanti Kakak bawa koleksi gaun sama jasnya ke rumah klien aja, ya?” Suara Alya terdengar di ujung telepon. “Kita ketemu di sana. Soalnya kliennya baru pulang dari luar negeri terus masih ngerasa jetlag gitu, jadi dia minta lokasi prewed-nya diubah jadi di rumahnya.” Bela diam, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja saat ia sedang berpikir. Ini pertama kalinya ia harus membawa koleksi gaunnya ke luar butik. “Kak? Kak Bela?” Suara Alya kembali terdengar. “Ah, iya. Maaf.” Bela sedikit tergagap. “Jadi gimana? Bisa, ya? Masih ada waktu dua jam lagi kok.” Bela melirik kunci mobil yang diberikan Tristan beberapa hari lalu. Haruskah ia menggunakan mobil pemberian Tristan? “Oke, oke. Bisa, kok. Kirim aja alamatnya, ya?” ucap Bela kemudian. “Oke, Kak.” Panggilan telepon itu akhirnya terputus, menyisakan Bela yang menghela nafas berat. “Gimana jadinya, Kak?” Astrid yang sejak tadi membantu membungkus gaun-gaun yang hendak dibawa, bertanya. “Harus ke rumah klien,” jawab Bela sambil mendesah lelah. Tapi bukannya mendukung kegalauan Bela, Astrid justru berbinar senang. “Nah, ini kesempatan yang pas buat pake mobil baru!” serung riang. Bela mengernyit. “Kenapa kamu pengen banget sih pake mobil baru itu?” “Ya habisnya udah berapa hari coba mobil itu cuma ngetem di garasi? Eman, Kak. Jangan diangguin doang. Kasihan yang ngasih juga, udah beli mahal-mahal tapi malah nggak dipake,” ucap Astrid persuasif. “Masih ada taksi online, Astrid. Kita naik taksi online aja.” Bela tetap keras kepala. Satu sifat yang sulit sekali dihilangkan dari dirinya. Astrid hanya bisa menghela nafas dan menyerah. Ia tahu betul Bela susah dibujuk. “Ya udah deh.” Lalu Bela bergabung bersama Astrid untuk membungkus gaun dan jas yang akan digunakan untuk pemotretan prewedding klien mereka. Semua gaun dan jas harus dibungkus dengan hati-hati, hingga tanpa sadar mereka sudah menghabiskan waktu hampir dua jam untuk menyiapkan barang-barang yang mau dibawa. “Gimana, Kak? Udah ada kabar dari driver-nya?” tanya Astrid gelisah. Mereka sudah berdiri di depan butik sejak lima belas menit lalu dan belum ada tanda-tanda taksi online yang mereka pesan akan segera datang. Bela mendesah pelan, memeriksa ponselnya lagi, lalu menggeleng. “Belum ada.” Namun, baru saja kalimat itu keluar dari bibir Bela, ponselnya sudah berdering—panggilan masuk dari driver taksi online yang ia pesan. “Halo, Pak? Sudah sampai mana? Saya udah nunggu dari ta—” “Maaf, Bu. Maaf sekali. Ban mobil saya tiba-tiba bocor, ini lagi dibawa ke bengkel tapi kayaknya nggak bisa cepet.” Suara seorang pria memotong kalimat Bela, terdengar panik dan merasa bersalah. “Apa?” Bela ternganga tak percaya. Harus banget ada kejadian seperti ini? “Maaf, Bu. Saya batalkan aja, ya? Ibu pesen lagi aja. Sekali lagi maaf, ini benar-benar di luar kendali saya.” Bela memijit pangkah hidungnya, mendadak pening. “Ya sudah, Pak. Iya, cancel aja.” “Terima kasih pengertiannya, Bu. Sekali lagi maaf.” Setelah berkali-kali meminta maaf, akhirnya sambungan telepon itu terputus dan pemberitahuan pembatalan taksi online yang ia pesan masuk ke ponselnya. “Kalau harus pesen baru, nggak nutut, Kak. Kita pake mobil yang ada aja, gimana?” Astrid menyela dengan cepat, mereka sudah kehabisan waktu. Bela melirik pintu garasi. “Gitu, ya?” gumamnya ragu. “Ayo, Kak. Jangan banyak mikir, kalau kita telat bisa-bisa kesan klien ke kita jadi jelek. Apalagi ini kerjasama pertama kita sama The Golden Vow, kita harus kasih kesan baik dengan datang tidak telat, iya kan?” Astri memberi alasan logis. The Golden Vow adalah wedding organizer yang dikelola oleh Alya dan mulai bekerjasama dengan La Belle Attire sejak bulan ini. Benar kata Astrid, mereka tak boleh memberi kesan buruk di kali pertama mereka bekerjasama. “Ya udah, kita pake mobil itu aja. Aku masih bisa nyetir kok,” pungkas Bela kemudian. *** “Bos, mobilnya dipake!” Suara pria di ujung telepon berseru senang. Tristan menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengaduk kopi. “Kamu nggak salah lihat?” “Enggak, Bos. Saya serius. Ini saya lagi mengekor Nona Bela.” “Mau ke mana dia?” Tristan bertanya sambil menyandarkan pinggulnya ke meja, satu tangannya memegang ponsel, tangan lainnya mengangkat cangkir berisi kopi hitam. Ia menyeruputnya pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Belum tahu. Tapi tadi saya lihat mereka masukin banyak banget barang-barang ke mobil, mungkin mau ada pemotretan.” Tristan meletakkan cangkir kopinya, mengangguk-angguk. “Ikuti terus dan beritahu aku dia pergi ke mana.” “Siap, Bos.” Pria di ujung telepon menyahut ringan. Namun tiba-tiba, ia memekik ringan. “Oh?” Kedua alis Tristan langsung bertaut. “Ada apa?” “Ini ….” Hening. Tristan tak sabar. “Cepat katakan ada apa!” “Bos, kalau saya nggak salah ingat, ini … jalan ke rumah Nona Dhea.” Tristan membeku di tempat. “Bela ke rumah Dhea?” “Iya. Itu … mobilnya udah masuk ke halaman rumahnya. Saya nggak bisa masuk, Bos. Jadi saya nunggu di luar. Ini saya harus gimana?” Tristan diam, berpikir sejenak. “Kamu masuk aja, bilang ada titipan dariku untuk Dhea. Terus laporkan semua yang terjadi di dalam padaku.” “Tapi, Bos, titipan apa?” “Apa saja. Terserah, kamu ngarang aja,” sergah Tristan cepat. “Begitu?” Hening sejenak. Lalu suara anak buah Tristan kembali terdengar. “Siap, Bos. Bos stand by ya, mungkin saya kirim pesan aja daripada telepon.” “Oke.” Panggilan telepon terputus. Tristan duduk di kursinya, kembali bekerja. Namun, jiwa dan raganya berkelana ke tempat lain. Ke rumah Dhea, tempat Bela sedang berada di sana sekarang. Apa yang Bela lakukan di sana? Pertanyaan itu terus terngiang di benak Tristan, membuatnya sama sekali tidak bisa fokus bekerja. “Argh, sial!” Tristan nyaris menggebrak meja. “Lama banget sih? Masa cuma disuruh cari tahu Bela ngapain di sana sampe selama ini?” gumamnya kesal. Ia sudah berhenti bekerja, mengambil ponsel dan memeriksa pesan masuk. Tidak ada. Anak buahnya belum memberi laporan apapun. Dan saat ia memeriksa jam di layar ponselnya, rupanya waktu baru berlalu lima menit. Tapi lima menit sudah terasa seperti lima jam bagi Tristan sekarang. Apa yang terjadi dengannya? Tristan bukan tipe orang yang tidak sabaran begini. Beruntung, panggilan yang ditunggu-tunggu Tristan akhirnya masuk. “Halo? Gimana?” tanyanya secepat kilat, bahkan sebelum otaknya berpikir. “Bos, gawat!” Suara di ujung telepon terdengar panik. “Nona Bela pingsan. Ini saya lagi bawa ke rumah sakit.” “Kenapa bisa pingsan?” tanyanya kemudian, mencoba untuk tidak terdengar panik. Padahal jantungnya sudah kembali berdetak, bertalu-talu di rongga dadanya. “Belum tahu, Bos. Tapi ini mukanya pucet banget, terus … kayaknya perdarahan.” Jantung Tristan mencelos, seolah berhenti berdetak. Sebuah perasaan yang sudah lama terkubur itu tiba-tiba menyeruak tak terkendali, membanjiri dadanya. Perasaan takut kehilangan seperti yang pernah ia rasakan dulu saat Bela meminta putus darinya kini kembali membanjiri setiap sistem tubuh Tristan. Saat itu, Tristan yang baru berusia dua puluhan masih terlalu naif untuk mengakui betapa ia tak ingin kehilangan Bela. Betapa ia ingin berlutut dan meminta maaf karena telah mengkhianati sang kekasih. Pil pahit itu ia telan selama bertahun-tahun kemudian. Tapi ia menolak untuk menampakkan betapa ia amat terpukul setelah putus dari Bela saat itu. Dan hari ini, Tristan menyadari, bahwa ia takkan pernah sanggup untuk menelan pil pahit itu lebih lama lagi. “Enggak, enggak, Bel.” Ia bergumam panik, menyambar kunci mobil dan berlari ke luar ruangan. “Sudah cukup satu kali aku kehilangan kamu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD