Bab 9. Hadiah untuk Anakku

1280 Words
“Dia nggak menggunakan mobil dan sopir yang sudah aku sediakan?” tanya Tristan tak percaya, tangannya mencengkram ponsel kuat-kuat, nyaris meremukkannya. “Iya, Bos. Sama sekali.” “Dia juga tetap tinggal di butik kecilnya itu?” Suara Tristan meninggi, tersinggung dan terkejut menjadi satu. “Iya, Bos. Dan kalau saya tebak, kayaknya uang yang Bos kasih juga nggak bakal dipakai deh.” Suara di ujung telepon terdengar skeptis. Ini sudah lewat dua minggu sejak Tristan memberikan fasilitas cukup mewah untuk Bela dengan dalih untuk anak yang dikandung Bela. Tapi yang tidak pernah Tristan sangka-sangka adalah Bela sama sekali tidak menyentuh fasilitas yang sudah ia sediakan itu. Tristan bukan hanya kecewa dan tersinggung, tapi juga marah. Ini seperti bentuk penghinaan untuknya. Tapi ia belajar dari pengalamannya berbisnis selama bertahun-tahun, bahwa untuk mendapatkan apa yang diinginkan harus sabar dan pantang menyerah. “Jadi selama ini dia kalau pergi-pergi naik apa?” tanya Tristan setelah berhasil menenangkan diri. “Taksi, Bos. Sudah dua minggu saya amati, dia nggak punya kendaraan pribadi.” Sebuah ide nekat langsung terbetik di benak Tristan. “Dan akhir-akhir ini ….” Anak buah Tristan menambahkan sebelum Tristan sempat merespons. “Dia sering pergi ke pengadilan, sepertinya mengurusi perceraiannya dengan suaminya.” Ide di kepala Tristan langsung buyar begitu saja. Ada sebersit perasaan tak nyaman yang menoreh hatinya. Namun, cepat-cepat ia tepis dan memfokuskan pada apa yang ada di depan mata. “Beritahu aku kapan dia terlihat tidak ada jadwal, aku mau menemuinya,” ucap Tristan datar. “Baik, Bos.” Persis ketika panggilan telepon terputus, pintu ruang kerja Tristan diketuk dari luar. Dan seseorang masuk sebelum Tristan mempersilakan. Siapa lagi kalau bukan Dhea? Gadis itu melangkah riang masuk ke ruangan Tristan. Tapi kali ini, tidak ada tas bekal makan siang di tangannya. “Kamu udah siap?” tanya Dhea tiba-tiba. Tristan mengernyit. “Siap? Maksud kamu?” Dhea langsung cemberut. “Kamu lupa? Hari ini kita kan mau datang ke pameran seni kakakku? Kamu udah janji loh!” Rasanya, Tristan ingin menepuk jidatnya sekeras yang ia bisa. Sekarang ia ingat, ia menyetujui ajakan Dhea untuk datang ke pameran seni yang digelar oleh kakak laki-laki Dhea minggu lalu. Ia menyetujuinya bukan dengan sukarela, melainkan karena Dhea terus mendesaknya untuk datang. Dan saat itu, kepala Tristan sedang pening memikirkan banyak hal. Jadi supaya Dhea diam, ia mengiyakan begitu saja. “Harus sekarang?” tanya Tristan. “Nggak bisa setelah pulang kerja?” “Nggak bisa!” sergah Dhea, masih merengut kesal. “Aku kan udah bilang acaranya cuma sampe jam tiga sore. Kamu udah janji, Mas. Jangan bikin aku kece—” “Iya, iya, ayo berangkat.” Tristan mendesah lelah, menyesali keputusannya saat itu. Dhea berseru riang dan merangkulkan lengannya di lengan Tristan. Keduanya berjalan bersisian keluar dari kantor Tristan. Beruntung, pekerjaan Tristan tidak terikat jam kerja. Ia bisa pergi kapan saja ia mau. Tapi masalahnya, saat ini ia tidak mau pergi. Sayangnya, ia sudah berjanji. Namun, Tristan tidak terlalu menyesali keputusannya ketika ia hampir tiba di lokasi pameran seni, ia justru melewati sebuah showroom. “Dhea, acaranya masih sampe jam tiga kan?” tanya Tristan cepat, ia sudah memutar mobilnya. “Iya, kenapa? Eh, kamu mau ke mana, Mas?” Dhea mendadak panik karena mobil berubah arah. “Ikut aku sebentar.” Tristan sudah mengarahkan mobilnya untuk masuk ke halaman showroom. Tanpa banyak bicara, ia segera turun dari mobil. Meski masih kebingungan, mau tak mau Dhea ikut turun dari mobil dan berseru. “Mas, ini kita mau ke mana sih?” “Ke kebun binatang,” sahut Tristan asal. Maksudnya, sudah jelas-jelas ia masuk ke dalam showroom mobil, kenapa juga Dhea masih bertanya mau ke mana? “Kamu mau beli mobil?” tanya Dhea saat dirinya berhasil menyusul langkah lebar Tristan. Pria itu tak langsung menjawab, melainkan mengobrol dengan manajer showroom, meminta rekomendasi mobil yang cocok untuk perempuan dengan kapasitas bagasi yang cukup besar. Tristan pikir, Bela mungkin butuh spesifikasi mobil yang demikian mengingat Bela memiliki bisnis butik. Mungkin Bela butuh mengangkut bahan-bahan untuk membuat baju dan sejenisnya. “Mazda CX-60 ini cocok buat perempuan, Pak. Desainnya elegan, warna putihnya bersih dan cantik, plus bagasinya lebar.” Karyawan toko membeberkan kelebihan mobil seharga satu miliar itu. Tristan melihat detail desain mobil SUV premium itu. Dhea yang mengekor di belakangnya mengernyit bingung. Namun, saat ia mendengar karyawan toko mengatakan ‘mobil yang cocok untuk perempuan’, hatinya seketika merekah bahagia. “Jangan-jangan mau beliin buat aku?” gumam Dhea dalam hati. Maka dengan senang hati Dhea menemani Tristan memilah-milih mobil dengan kriteria yang cocok untuk perempuan itu. “Kalau yang harganya di bawah ini ada?” tanya Tristan tiba-tiba. Dhea langsung merengut tak suka. “Kenapa cari yang harganya di bawah ini? Ini udah cantik loh, Mas. Meski aku nggak butuh yang bagasi besar, tapi aku nggak apa-apa meski dikasih ini.” Tristan tak mengindahkan protesan dari Dhea. Ia melangkah menuju barisan mobil lain dengan harga di bawah 500 juta. “Honda HR-V ini di bawah 500 juta, Pak. Bagasi luas, desain modern, warnanya juga ada merah dan putih yang cocok untuk perempuan.” “Mas, aku lebih suka yang Mazda tadi.” Dhea masih berusaha protes. Tapi lagi-lagi, Tristan tak menggubrisnya dan terus sibuk memeriksa mobil itu. *** “Bagus deh kalau nggak datang ke sidang cerai, prosesnya jadi lebih cepat,” gumam Bela begitu ia masuk ke dalam taksi online yang ia pesan. Ia menyebutkan nama dan alamat butiknya ke sopir taksi, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang dan memejamkan mata. Beristirahat sejenak setelah dua minggu terakhir ini sibuk sekali. Pertama, ia sibuk mengurus perceraiannya dengan Davka. Meski proses awalnya rumit karena Davka menolak datang dengan alasan pekerjaan—ia terbang ke Vietnam saat ini. Tapi akhirnya proses sidang itu berjalan cukup lancar setelah Bela menunjukkan bukti perselingkuhan Davka. Lalu urusan kedua adalah pesanan gaun pengantin dari Alya yang mendadak datang bertubi-tubi. Meski kelelahan dan tabungannya habis ia pakai untuk modal, Bela tetap senang mengerjakannya. Ia menganggap datangnya banyak pesanan itu sebagai rezeki si jabang bayi. “Sudah sampai, Bu.” Kalimat sopir taksi itu membangunkan Bela yang sempat tertidur sejenak. Ia gelagapan dan gegas membayar. Namun begitu ia menoleh ke luar jendela, sosok yang sedang sangat ia hindari justru sedang menatap ke arahnya dengan senyum tipis. Tristan sudah berdiri di depan butik La Belle Attire dengan kedua tangan di saku celananya. Di dekatnya berdiri, tepatnya di tepi trotoar, sebuah mobil berwarna putih terparkir. Ya, mobil Honda HR-V yang tadi Tristan lihat bersama Dhea di showroom. Bela turun hati-hati dari mobil, waspada dengan kehadiran Tristan yang tiba-tiba. “Mau apa kamu ke sini?” tanyanya ketus. Tristan tertawa pelan, mengulurkan tangan untuk membantu Bela turun—yang tentu saja diabaikan oleh Bela. “Jadi kamu menolak sopir dan mobil yang aku sediakan dan memilih naik taksi ke mana-mana?” Tristan balas bertanya. Bela masih mengabaikan pria itu, berjalan lurus menuju pintu butik. “Masih keras kepala seperti biasa. Tapi aku nggak menyerah,” ucap Tristan sembari menarik tangan Bela tanpa izin. “Lepas!” hardik Bela galak. Namun, Tristan menggenggam tangannya semakin erat. Ia menengadahkan tangan Bela, meletakkan kunci mobil di sana. “Hadiah buat anakku, bukan buat kamu.” Bela membelalak. Barulah ia menyadari mobil putih yang terparkir di depan butiknya. “Hah?” Hanya itu suara yang keluar dari mulutnya. Tristan tersenyum puas. “Aku tahu kamu nggak akan menerima kalau hadiahnya terlalu mahal, jadi aku sengaja beliin yang kelas menengah. Ingat, ini hadiah buat anakku, bukan buat kamu. Jadi harus kamu pakai.” Sebelum Bela sempat merespons, Tristan sudah berbalik dan berlalu dari sana dengan langkah lebar. Menyisakan rasa hangat di pergelangan tangan Bela dan rasa berat dari kunci mobil di genggaman Bela.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD