14. Tawaran

1101 Words
Brian memasuki rumah dengan langkah berat, pintu depan menutup pelan di belakangnya. Aroma masakan hangat memenuhi udara, dan di ruang tengah, Kaila berdiri dengan senyuman manis yang selalu menyambutnya meski hatinya mungkin terluka. "Kamu pulang juga," ujar Kaila, mengambil langkah mendekatinya. Tangannya yang lembut meraih tangan Brian, menggenggamnya dengan erat. Ada harapan di matanya, seakan malam ini dia ingin mencoba memperbaiki semuanya. "Brian, aku yakin... aku yakin aku bisa hamil. Kita nggak perlu adopsi anak. Aku sudah bicara dengan dokter. Bagaimana kalau kita coba bayi tabung? Aku yakin kali ini kita bisa berhasil." Brian menatap Kaila dengan dingin, kemarahan yang terpendam sepanjang malam langsung menggelegak. Tanpa pikir panjang, dia menyentak tangan Kaila kasar, membuat wanita itu tersentak mundur. "Berhenti, Kaila!" bentaknya, suaranya rendah namun tajam. "Aku sudah bilang, aku nggak peduli lagi soal semua itu. Aku nggak akan meninggalkan kamu, meskipun kamu mandul. Tapi aku juga nggak akan bersikap baik pada wanita yang nggak bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri!" Perkataan Brian menusuk ulu hati Kaila. Senyum di wajahnya lenyap seketika, berganti dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dia berdiri terpaku, berusaha mencerna kata-kata yang begitu kejam dari suami yang ia cintai. "Brian..." Kaila berbisik, suaranya bergetar. "Aku... Aku hanya ingin kita tetap bersama. Aku hanya ingin kita punya keluarga, apa pun caranya..." Namun, Brian sudah berpaling, melangkah menuju ruang tamu tanpa memperhatikan Kaila yang mulai menangis. Di dapur, Keisha berdiri diam, menyaksikan semua yang terjadi dari balik dinding. Matanya melekat pada Brian, pria yang begitu menginginkan seorang anak. Namun, setiap kali dia melihat kakaknya, Kaila, terluka seperti ini, hatinya terasa hancur. Keisha menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Tatapannya penuh dengan dilema—di satu sisi, dia merasa kasihan pada Kaila, tapi di sisi lain, dia tak bisa mengabaikan rasa simpatinya terhadap Brian, pria yang tampak begitu ingin memiliki seorang anak. "Brian..." gumam Keisha lirih, hampir tak terdengar. Dia tahu, situasi ini tidak akan membaik jika dibiarkan. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Kaila adalah kakaknya, dan Brian adalah suaminya. Tapi Keisha tidak bisa mengabaikan perasaannya sendiri, yang semakin hari semakin rumit. Malam itu, Keisha hanya bisa memandangi punggung Brian dari kejauhan, dengan hati yang penuh rasa iba dan kebingungan. *** Pagi itu, Brian duduk di ruang tamu sambil membaca koran, meskipun pikirannya melayang jauh. Dia belum sepenuhnya bisa melupakan percakapan pahit semalam dengan Kaila. Langkah ringan istrinya terdengar mendekat, dan Kaila muncul dengan raut wajah yang terlihat lebih tenang daripada malam sebelumnya. "Brian," panggil Kaila dengan nada lembut. "Aku mau kasih tahu, minggu ini aku harus pergi ke Jogjakarta. Teman dekatku menikah, dan aku nggak mungkin nggak datang." Brian menurunkan koran yang dipegangnya, menatap Kaila dengan ekspresi datar. "Berapa lama kamu pergi?" tanyanya tanpa antusiasme. "Seminggu," jawab Kaila. Dia berjalan mendekat, duduk di samping suaminya. "Aku sudah siapkan semua kebutuhan rumah sebelum pergi. Kamu nggak perlu khawatir soal apa pun. Dan... Keisha ada di rumah, kan? Jadi kamu nggak akan sendirian." Brian melirik sekilas ke arah dapur, di mana Keisha sedang sibuk mencuci piring. Kaila sepertinya menyadari itu, lalu berdiri, melangkah ke arah adiknya. "Keisha," panggil Kaila, membuat Keisha menoleh. "Selama aku nggak di rumah, tolong jaga Kak Brian baik-baik, ya? Kalau dia butuh apa pun, pastikan kamu siap membantu." Keisha tersenyum lembut, mengangguk dengan patuh. "Tenang saja, Kak. Aku akan memenuhi kebutuhan Kak Brian sebaik mungkin." Kaila tersenyum lega mendengar jawaban itu. Dia berjalan kembali ke Brian, menatapnya dengan pandangan penuh harap. "Brian, aku tahu hubungan kita lagi nggak baik. Tapi aku percaya, kamu juga butuh waktu untuk tenang. Anggap ini kesempatan untuk kita berpikir lagi, ya?" Brian hanya mengangguk tanpa banyak bicara, merasa enggan melanjutkan percakapan. Kaila pun pergi ke kamar untuk menyelesaikan persiapannya. Setelah Kaila pergi, suasana rumah menjadi sunyi. Keisha keluar dari dapur, membersihkan tangannya dengan handuk, lalu mendekati Brian yang masih duduk di sofa. "Kak Brian," panggilnya pelan. "Ada yang bisa aku bantu? Mungkin sarapan?" Brian menatapnya, lalu mengangguk kecil. "Kalau kamu nggak keberatan, buatkan aku kopi saja. Sarapannya aku nanti saja." Keisha tersenyum manis. "Baik, Kak." Saat Keisha pergi ke dapur untuk membuat kopi, Brian memandang punggungnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kini, hanya mereka berdua di rumah selama seminggu. Brian tahu bahwa waktu ini bisa menjadi kesempatan untuk mendekatkan diri pada Keisha, tapi juga sadar betul bahwa setiap langkah yang salah bisa membawa kehancuran. Keisha kembali dengan secangkir kopi hangat, meletakkannya di meja depan Brian. "Ini, Kak. Kopi hitam kesukaanmu." Brian mengangguk, mengambil cangkir itu. "Terima kasih, Keisha. Kamu selalu perhatian." Keisha hanya tersenyum, lalu duduk di sofa sebelah Brian, membuat jarak yang cukup dekat namun tetap sopan. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa minggu ini akan menjadi ujian berat, bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk Brian. Brian menatap wajah Keisha yang terlihat cerah di sampingnya. Setiap detail dari wajah cantiknya seolah memikatnya lebih dalam. Ia berpikir, bagaimana jika Keisha benar-benar menjadi miliknya seutuhnya? Keisha yang lembut, perhatian, dan penuh semangat pasti bisa memberikan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Perlahan, Brian menggeser duduknya, semakin dekat dengan Keisha. Ia berpura-pura membuka pembicaraan santai. "Keisha, aku baru ingat sesuatu. Di kantor, sekarang lagi butuh sekretaris baru. Kamu tahu, kan, sekretarisku baru saja resign?" Keisha menoleh, tampak terkejut tapi penasaran. "Oh, iya? Kenapa resign, Kak?" tanyanya, matanya penuh perhatian. Brian tersenyum tipis, sudah mempersiapkan jawaban. "Alasan pribadi, katanya. Tapi sekarang aku jadi bingung cari penggantinya. Sebenarnya, aku kepikiran... bagaimana kalau kamu saja yang jadi sekretarisku? Kamu belum jadi buka butik juga, kan? Ini kesempatan bagus buat kamu sambil belajar manajemen kerja." Mata Keisha berbinar mendengar tawaran itu. Ia memang sempat menunda rencananya membuka butik karena belum punya cukup modal dan pengalaman. Tanpa sadar, tangannya menggenggam tangan Brian dengan antusias. "Benar, Kak? Aku boleh kerja sama Kak Brian? Aku mau banget! Aku pasti belajar keras supaya nggak mengecewakan Kakak!" Brian merasakan sentuhan lembut tangan Keisha, membuat dadanya berdegup lebih cepat. Ia tersenyum tipis, membiarkan dirinya menikmati momen itu. "Tentu saja boleh, Keisha. Aku yakin kamu bisa. Kamu itu pintar, dan aku butuh orang yang bisa aku percaya." Keisha tersenyum lebar, senang karena merasa dihargai dan diberikan kesempatan. Ia tak sadar bahwa Brian memperhatikannya dengan tatapan intens, penuh keinginan yang mulai sulit dia sembunyikan. Brian memalingkan wajah sejenak, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa tawaran ini lebih dari sekadar pekerjaan. Dengan Keisha di sisinya setiap hari di kantor, ia merasa semakin dekat untuk memiliki wajah cantik itu, tubuh itu, dan segala yang ada pada Keisha—sepenuhnya miliknya. Sementara itu, Keisha masih sibuk membayangkan betapa serunya bekerja bersama Brian. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa pria di depannya telah menyusun rencana lain yang jauh lebih dalam dari sekadar pekerjaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD