13. Pelipur Lara

1072 Words
Brian membuka matanya perlahan, merasa nyeri di kepalanya yang berat. Sambil memegang pelipisnya, dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Bayangan samar-samar klub malam dengan lampu berkedip-kedip dan musik yang memekakkan telinga melintas di benaknya. Dia ingat dirinya bersama Regi dan Dafa, dua sahabat yang selalu ada untuk menghiburnya. Brian menghela napas panjang, menyadari bahwa amarah terhadap Kaila, istrinya, telah membawanya ke tempat itu. Kaila, wanita yang ia anggap mandul dan tidak berguna karena tak mampu memberinya seorang anak. “Sialan,” gumamnya dengan nada penuh kebencian. Kalau saja Kaila tak terus-terusan berbicara soal mengadopsi anak, mungkin dia tak akan ke klub malam dan membuat kekacauan. Pintu kamar terbuka, menampilkan Regi yang melongok dengan wajah sedikit lelah. “Lo udah bangun? Mandi dulu sana, terus kita sarapan. Gue sama Dafa udah bikin makanan,” katanya tanpa basa-basi. Brian mengangguk pelan, lalu bangkit dari kasur. Dengan langkah malas, dia menuju kamar mandi di apartemen Dafa, di mana mereka memutuskan untuk menginap semalam setelah memaksa Brian ikut ke sini. Wajah Brian yang kusut memantul di cermin. Matanya merah dan sembab, efek dari malam penuh alkohol dan emosi yang tidak terkendali. Dia menggeram kecil, membasuh wajahnya dengan air dingin. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian milik Dafa, Brian keluar dari kamar. Di ruang makan, Dafa dan Regi sudah duduk sambil menikmati sarapan mereka. Dafa melambai dengan sendok di tangan, menyuruh Brian untuk bergabung. “Duduk sini, makan dulu. Lo pasti butuh energi setelah semalam,” ujar Dafa. Brian mengangguk tanpa banyak bicara, mengambil kursi dan mulai memakan sarapan yang sudah disiapkan. Sepanjang makan, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Namun, suasana diam itu akhirnya dipecahkan oleh Dafa. “Brian, lo nggak bisa terus-terusan kayak gini. Gue ngerti lo lagi marah sama Kaila, tapi lo harus pikirin apa langkah lo ke depan,” katanya hati-hati. Brian menghentikan suapannya, menatap piringnya tanpa ekspresi. “Langkah gue ke depan? Ceraikan Kaila, itu langkah yang paling masuk akal,” katanya dingin. Regi mengerutkan kening. “Lo serius? Lo udah nikah sama dia selama tujuh tahun, Brian. Gue ngerti kalau soal anak itu masalah besar, tapi perceraian itu nggak segampang yang lo pikir.” “Lo nggak ngerti, Regi. Lo nggak ada di posisi gue,” balas Brian, nadanya penuh frustrasi. “Justru karena gue nggak ada di posisi lo, gue bisa lihat ini dengan lebih jernih,” Regi menjawab, menahan diri agar tidak terpancing emosi. “Lo pernah tanya nggak, gimana perasaan Kaila soal ini semua? Dia juga manusia, Brian. Dia pasti ngerasa gagal sebagai istri karena nggak bisa kasih lo anak.” Brian menggeram, meletakkan garpunya dengan keras di meja. “Gue nggak butuh dia buat ngerasa bersalah atau nangis-nangis minta maaf. Gue butuh anak, Regi. Anak kandung gue. Bukan anak adopsi, bukan kompromi!” Dafa menghela napas berat. “Brian, lo nggak bisa terus-terusan nuntut orang lain buat ngisi kekosongan di hidup lo. Lo perlu refleksi diri, bro. Ini bukan cuma soal Kaila. Ini juga soal lo.” Brian diam, matanya memandang kosong ke arah piringnya. Kata-kata Dafa seperti menghantam dinding keras di dalam dirinya. Tapi dia tidak ingin mengakuinya. Baginya, masalah ini jelas-jelas kesalahan Kaila, bukan dirinya. Setelah beberapa saat hening, Brian bangkit dari kursinya. “Gue harus pergi,” katanya singkat, meninggalkan Dafa dan Regi tanpa penjelasan lebih lanjut. Brian keluar dari apartemen dengan langkah cepat, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Dia berjalan tanpa arah, melewati jalan-jalan kota yang ramai. Setiap orang tampak sibuk dengan kehidupannya masing-masing, seolah tidak ada yang peduli pada kekacauan yang sedang terjadi dalam hidupnya. Tiba-tiba, telepon di sakunya berdering. Layar menunjukkan nama Kaila. Brian berhenti sejenak, menatap layar itu dengan ragu. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk mengangkatnya. “Halo,” katanya dingin. “Brian, kamu di mana? Aku sudah masak makan malam. Aku pikir kita bisa bicara soal adopsi lagi malam ini,” suara Kaila terdengar lembut, seperti biasa. Brian menggertakkan giginya, mencoba menahan amarah yang kembali membakar dadanya. “Aku nggak pulang malam ini,” jawabnya pendek. Kaila terdiam di ujung sana. “Brian, kita nggak bisa terus begini. Aku tahu kamu marah, tapi kita harus bicara. Kita nggak bisa menyelesaikan apa pun kalau kamu terus menghindar.” “Aku nggak menghindar, Kaila. Aku cuma muak!” ujar Brian sebelum menutup telepon tanpa menunggu jawaban Kaila. *** Brian duduk di bangku taman yang sepi, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Angin malam bertiup pelan, membawa aroma rerumputan basah. Dia menunduk, berpikir keras tentang kekacauan dalam hidupnya, ketika suara lembut menginterupsi lamunannya. "Kak Brian, kenapa nggak pulang?" Brian mendongak, melihat Keisha berdiri di depannya dengan senyum manis yang membuat dadanya berdebar. Keisha, adik iparnya yang selama ini diam-diam menjadi sumber pelipur lara di tengah rumah tangganya yang retak. Dengan tubuh mungilnya dan mata yang selalu berbinar penuh semangat, Keisha terasa seperti antitesis dari Kaila yang selalu terlihat muram di matanya. "Oh, Keisha," Brian tersenyum, mencoba menutupi perasaan yang berkecamuk di hatinya. Dia menepuk bangku di sampingnya, mengisyaratkan Keisha untuk duduk. "Aku cuma butuh udara segar. Kadang rumah terasa terlalu... berat." Keisha duduk tanpa ragu, melipat tangannya di pangkuan. "Kakak sering seperti ini belakangan. Aku tahu Kaila juga khawatir, Kak. Dia nggak pernah cerita ke aku, tapi aku bisa lihat dia sedih." Brian menelan ludahnya, merasa sedikit bersalah tapi lebih terganggu oleh kenyataan bahwa Kaila masih memikirkan dirinya. "Aku nggak mau bahas Kaila sekarang, Keisha. Aku cuma pengen nikmatin malam ini." Keisha memiringkan kepalanya, menatap Brian dengan mata yang seolah bisa menembus semua topeng yang dia pakai. "Kakak yakin nggak apa-apa? Aku di sini kalau Kakak mau cerita," katanya lembut. Brian merasakan dorongan kuat untuk menarik Keisha ke pelukannya, tapi dia tahu itu akan menghancurkan semua. Dia hanya tersenyum kecil, berusaha mempertahankan kendali. "Aku baik-baik saja, Keisha. Jangan khawatir." Keisha tersenyum lagi, lalu perlahan menyandarkan kepalanya di bahu Brian. "Kalau begitu, biarkan aku di sini sebentar. Mungkin Kakak butuh teman malam ini." Brian terkejut sejenak, tapi kemudian membiarkan dirinya menikmati momen itu. Kehangatan tubuh Keisha di sisinya, aroma lembut parfumnya, semua itu membuat hatinya terasa lebih ringan. "Keisha, kamu selalu tahu bagaimana membuat orang lain merasa lebih baik," gumamnya lirih. Keisha tertawa kecil. "Karena aku peduli sama Kakak. Kakak itu keluarga, bagaimanapun juga." Kata-kata itu menohok Brian. Keluarga. Status itu seharusnya menjadi pengingat bahwa apa pun yang dia rasakan terhadap Keisha adalah sesuatu yang salah. Tapi, di saat yang sama, dia merasa bahwa Keisha adalah satu-satunya harapan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan—anak, dan mungkin kebahagiaan. .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD