MASALAH

2357 Words
Ini adalah hari keempat Bianca bekerja di perusahaan SANJAYA GROUP, baginya bekerja sebagai sekretaris Elino adalah hal yang menyenangkan. Bukan karena atasannya adalah seorang yang tampan, namun lebih karena CEO muda itu tidaklah rewel dan banyak memerintah. Elino adalah atasan yang pengertian.   Bagi Bianca sosok Elino sangatlah kharismatik, tak hanya memiliki wajatlh yang rupawan, namun Elino juga memiliki tingkat kecerdasan yang menggagumkan. Sudah empat hari ini Bianca bekerja dengan Elino dan dirinya begitu kagum dengan cara kerja pria berusia 25 tahun itu. Kerja Elino begitu cekatan, rapih, dan tepat sasaran. Ide-ide yang Elino miliki untuk bisnis nya selalu segar dan baru, dan Bianca tak heran jika pria itu dapat sukses diusia muda. Tekad dan semangat Elino patut diacungi jempol.       "Bianca tolong ambilkan beberapa dokumen penting yang harus aku tanda tangani." perintah pertama Elino dihari ini. Bianca yang sedang menyusun jadwal meeting sang bos pun mengganguk patuh. Dengan segera diambilkan nya apa yang Elino butuhkan.    "Thanks." Ujar Elino tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya. Satu lagi kebiasaan Elino yang Bianca mulai tahu, jika atasannya itu sudah mulai bekerja, tak ada waktu lagi bagi Elino untuk bercanda apalagi mengalihkan pandangan selain dari pada dokumen dan laptop dihadapannya. Satu jam, dua jam, ruangan Elino terdengar sepi, tak ada perintah apapun lagi, hanya bunyi keyboard yang beradu dengan jemari pengisi suara diruangan besar itulah yang Bianca dengar dari luar ruangan. Sungguh suasana tenang yang menunjang pekerjaan lebih fokus dan cepat terselesaikan. Sampai sesuatu pun hadir. Suara langkah kaki bersepatu heels terdengar mendekat dari arah lorong, Bianca mengerutkan keningnya. Sepengetahuan nya, Elino tak punya janji temu dengan siapapun hari ini, lalu siapa yang datang itu? Karena hanya orang-orang penting, petinggi-petinggi perusahaan dan kolega saja lah yang bisa menginjakan kaki dilantai dua belas ini.  Belum sampai Bianca selesai dengan pikirannya, pertanyaan dalam otak cantiknya itu terjawab sudah saat Nyonyah Caty melangkahkan kakinya dengan anggun di lorong perusahaan.  Bagai disambar petir di siang bolong, tubuh Bianca mendadak menegang.  Double shit! Kenapa nyonyah besar satu ini harus datang kemari? Bianca meruntuk dalam hati, bagaimanpun alarm dalam diri Bianca mulai berdering. Ini, bukan, situasi, yang, baik! Berbeda 180° dengan Bianca, nyonyah Caty malah tampak begitu senang karena dapat berjumpa dengan gadis yang tidak lain dan tidak bukan akan menjadi calon menantunya. Ia mempercepat langkahnya, dan menghampiri Bianca dengan wajah riang gembira. "Ya ampun, calon mantu mami ada disini, halo Bee, kamu lagi apa sayang, dikantor Elino pagi-pagi gini?" Tanya Nyonyah Caty ramah, gestur tubuh nya begitu luwes, seakan-akan dirinya sudah sangat lama menggenal sosok Bianca saja. Bianca hanya bisa tersenyum kikuk, bingung harus menjawab apa. Dirinya benar-benar takut salah bicara. "Sa-saya sedang..." "Bi ini ada bebe... rapa... loh mami? Mami kok ada disini?" Secara tiba-tiba bagai malaikat penyelamat, Elino muncul dari dalam ruangannya, dan berjengit kaget saat dilihatnya sang sekretaris tengah berinteraksi dengan maminya. Nyonyah Caty mendekati Elino dan mengecup sayang pipi sang putra. "Apa kabar dear? Mami kesini niatnya mau ajak kamu ketemu Bianca dan ajak dia makan siang. Eh, nggak taunya malah ketemu disini. Bianca kok pagi-pagi sudah disini si sayang? Ada apa emang, Elino pasti yang suruh kamu kesini pagi-pagi gini ya buat bawain dia sarapan?" Ujar Nyonyah Caty senang, kini perhatian nya kembali tertuju pada Bianca yang tadi sempat bisa bernafas lega. Dicecar pertanyaan lagi, Bianca kembali berdiri kaku. Beberapa kali Ia bertukar pandangan dengan Elino dan meminta bantuan bosnya itu untuk menjawab segala pertanyaan yang nyonyah Caty ajukan. Bianca tak mau ambil resiko salah bicara, ini situasi yang begitu sulit dan mereka harus berhati-hati saat menghadapi wanita cantik dihadapan mereka ini, salah bicara sedikit saja bisa rusak segala sandiwara. "Hm, iya, Bianca ada dikantor aku mih, dia, dia.. dia aku rekrut sebagai sekretaris aku sekarang, karena aku pingin dia selalu ada di dekat aku mih. Jadi, mungkin untuk kedepannya mami akan sering liat dia dikantor aku, hehe." Jawab Elino kikuk.  "Wah, bagus dong kalo gitu. Mami setuju, setuju banget kalo Bianca jadi sekretaris kamu. Tapi kok kenapa meja Bee diluar, No. Kenapa gak di dalam aja bareng sama kamu, kan kalian jadi lebih dekat nanti." Cuit nyonyah Caty mengomentari.  Elino mendengus, selalu saja maminya itu jadi tukang atur dalam segala hal. Dan Elino sangat benci itu. "Ya nanti bakal aku pindahin meja Bianca ke dalam." Jawab Elino mempersingkat obrolan, saat ini dirinya betul-betul sibuk, dan dia ingin maminya itu segera hengkang dari kantornya agar tak menggangu konsentrasinya lagi.  Oh God, please! Elino hanya ingin tenang saat bekerja saja, didalam setumpuk laporan menunggunya! "Jadi sekarang aku mau tanya, ada urusan apa mami dateng sepagi ini ke kantor aku?? Aku lagi sibuk mih." Elino berusaha mengusir sang mami yang rempong itu untuk segera pergi. Please jangan anggap Elino durhaka karena ini demi kebaikan bersama.       "Lino, sopan sekali kamu sama mami, bukanya menyambut dengan riang kok malah ngomong kaya gitu si? Emang kamu nggak suka ya mami jenguk." Nyonya Caty menasihati, sambil merajuk.  Elino mendesah, memang sebuah hal yang percuma jika ingin mengusir maminya itu, karena kalau bukan kemauan sendiri pasti sang mamih tak akan hengkang dari kantor Elino. "Oke, oke, i'm sorry, Mom. Bukan aku gak suka mami jenguk aku kesini, tapi aku dan Bianca sedang banyak kerjaan, jadi jangan ganggu kami dulu." Pinta Elino penuh kesabaran. Tapi seperti biasanya Nyonya Caty memilih cuek tak perduli sambil mengendikan bahunya, ia lalu kembali memfokuskan perhatiannya kepada Bianca.  "Bee sayang, calon menantu mami, apa kamu betul sedang sibuk hari ini?" Nyonya Caty merangkul Bianca dengan tiba-tiba, membuat Bianca menjadi gelagapan dan lagi-lagu melirik Elino minta bantuan, Elino sendiri hanya pasrah dan mengendikan bahu serba salah. Elino tahu arti tatapan Bianca, tapi mau bagaimana lagi, mamihnya itu adalah orang yang paling tidak bisa Elino lawan di dunia ini.  Bianca cemberut, merasa kesal dengan sikap Elino yang sebodo amat, padahal kan gara-gara mulut sembrono Elino itulah Bianca berada di situasi sesulit ini. "I-ya, Bu. Eh, i-iya mih maksudnya." Bianca menjawab terbata, dalam hatinya Bianca berdoa agar secepatnya nyonya Caty pergi dari kantor ini, atau dirinya tak akan dapat suasana tenang lagi seperti tadi. "Oh, kasian kamu, pasti Elino meminta yang macam-macam padamu ya, pasti dia manja sekali terhadapmu." Nyonya Caty menatap Bianca simpatik, dielusnya rambut panjang Bianca dengan sayang.  "N-nggak kok.. mih, Elino nggak begitu, dia baik sekali sama aku." Bianca berusaha tenang, walaupun sejujurnya kakinya sudah sangat lemas sekarang. Gue yang jadi calon mantu gadungan aja bisa gemeter gini, apalagi besok calon mantu yang asli ya. Pingsan kali ah punya mertua modelan si nyonyah besar ini, batin Bianca menjerit. "Betulkah itu? Wah, kamu begitu manis, Elino, liat kekasihmu begitu melindungimu."Puji nyonya Caty lagi, Bianca menunduk malu, sejujurnya bukan itu maksudnya, bukan untuk melindungi Elino, Bianca kan bicara fakta, kalau Elino memang bos yang murah hati dan tidak banyak perintah. "Ya mi, aku tau, makanya aku pilih dia. Oke, basi-basinya selesai, sekarang waktunya mami jawab pertanyaanku tadi, ada urusan apa mami datang kesini?" Elino to the point, dirinya benar-benar lelah menghadapi sang mami. "Hehhh, kamu ini selalu saja serius, baiklah, mami jelaskan tujuan mami kesini." Lagi-lagi devil smirk nyonyah Caty muncul, membuat Elino dan Bianca seketika berdebar. 'Kali ini apalagi ya Tuhanku.' keluh Bianca dan Elino di hati masing-masing. Nyonyah Caty dengan santai berjalan memasuki ruangan Elino seakan memperlama waktu eksekusinya, Ia lalu duduk diatas sofa besar yang ada didalam ruangan itu, dan duduk bagai ratu disana. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Elino dan Bianca mengekori setiap gerak nyonyah Caty dengan perasaan ingin tahu. Keduanya memandangi nyonyah Caty dengan pandangan bodoh yang lucu. Mau tak mau nyonyah Caty tertawa melihat ulah kedua orang dihadapannya itu.  "Kok malah ketawa si, Mi. Cepetan ngomong apa yang pingin mami bicarain." Protes Elino kesal. "Oke, oke, maaf." Nyonyah Caty berusaha mengontrol tawanya, "Mami tuh, cuma mau bilang, kalo mami udah siapkan semuanya untuk kalian, jadi setelah ini kalian berdua nggak perlu repot-repot lagi ngurusin apapun." Bianca dan Elino saling pandang, keduanya mengerenyit bingung, tak mengerti dengan apa yang baru saja nyonya Caty bicarakan. "Maksud mami?" tanya Elino bingung dan juga was-was, entah kenapa hatinya terasa tak tenang. Mami Caty menyerigai penuh misteri. "Kosongkan jadwal kalian besok, karena besok kalian harus menyiapkan acara pernikahan kalian dan mami mau bertemu dengan keluarga Bianca hari ini juga." nyonya Caty tersenyum lebar, wajahnya nampak begitu puas. *** "APA?!" seru Bianca dan Elino berbarengan, mata keduanya melotot lebar dan wajah shock keduanya tak mampu Ia sembunyikan. Elino hanya bisa melonggo shock, tak menyangka kalau sang mami akan melakukan tindakan sejauh itu tanpa meminta persetujuannya. Gila, yang benar saja, kemarin kan Ia hanya bersandiwara dengan Bianca, agar Ia bisa terbebas dari tuntutan sang mami yang ingin Ia segera menikah, kok ini endingnya malah jadi ruwet begini si?! Astaga... Disisi lain Bianca, yang mendengar harus menikah secepatnya dengan Elino benar-benar merasa frustasi. Kenapa dirinya jadi harus terlibat terlalu dalam begini dengan urusan si bos muda itu. Tujuan awalnya di kantor itu kan hanya magang selama tiga bulan setelah itu selesai. Tapi kenapa malah jadi rumit begini? "Bagaimana? Kalian senangkan mendengar kabar ini." Nyonya Caty tampak girang, seakan tak menyadari bahwa wajah kedua orang dihadapannya sudah pucat pasi. "Nggak sama sekali Mam, mami apa-apaan si ngerencanain semua itu nggak bilang aku dulu. Aku kan udah bilang ke mami jangan ikut campur urusan cintaku lagi. Lagian aku belum mau menikah mam, usiaku masih muda pula, dan Bianca juga masih kuliah. Lagipula belum tentu kita berdua akan menikah, itu masih jauh diluar kepala." seru Elino marah, nyonya Caty yang awalnya sumringah seketika cemberut berat, kesal dengan tanggapan Elino yang sama sekali tak mendukungnya. "Apa kamu bilang? Masih muda?? Hey 25 tahun itu usia yang pas untuk segera menikah, dan apa tadi kamu bilang, kamu dan Bianca belum tentu akan sampai menikah. Elino Sanjaya, satu yang perlu kamu inget baik-baik ya, mamih nggak mau mantu lain, selain Bianca!" tegas Nyonya Caty harga mati. Bianca yang sedari tadi menunduk diam seketika mendonggakan kepalanya lebih shock lagi.  'Ini kenapa jadi gue di bawa-bawa urusan nggak jelas begini si?' runtuk Bianca kesal. "Ya Tuhan, Mih, jangan paksa aku untuk ngelakuin apa yang nggak ingin aku lakuin dong. Ini kehidupan ku okay!" Elino bangkit dari kursi empuknya dan wajah tampannya terlihat merah menahan amarah. "Jadi kamu nggak mau nikah seperti permintaan mami? Baik. Elino Sanjaya, dengar baik-baik ucapan mami ya, kalau sampai kamu nggak mau ngelaksanain pernikahan itu, jangan harap mami masih mau ngakuin kamu sebagai anak mami lagi." Nyonya Caty mengancam, "Dan kamu Bee, semisal kamu nggak mau nikah juga sama Elino, mami akan benci kamu seumur hidup mami. Mami nggak akan mau kenal kamu lagi, dan mami nggak mau liat kamu ada dikantor ini lagi!"  "Jadi kalian berdua harap ingat ya, kantor ini, perusahaan ini adalah milih mami. Dan mami yang berhak menentukan apapun tentang perusahaan mami ini. Termasuk mengusir kalian berdua."  Dengan kekesalan yang mengunung beliau berjalan keluar ruangan lalu membanting pintu dengan keras, meninggalkan Elino dan Bianca yang shock. "Astaga, pak... gimana ini pak? Kenapa situasinya jadi rumit begini? Astaga, kenapa saya jadi kena imbasnya gini si pak? Niat saya kan cuma untuk magang, kenapa malah jadi... Ah, ya Tuhan..." Bianca panik sekali. Elino memejamkan matanya dan mengacak rambutnya frustasi. Ulah sang mami benar-benar bisa membuatnya gila tingkat akut. ***      "Saran saya, sebaiknya bapak jelaskan yang sebenarnya pada nyonya Caty, bahwa sebenarnya kita tidak punya hubungan apa-apa dan saya hanya karyawan magang disini, karena kalau kita tidak menjelaskan yang sebenarnya, saya takut masalah ini akan merembet kemana-mana, Pak." Bianca menatap Elino lekat, sorot matanya memancarkan ketegasan. Elino hanya diam, tatapanya menerawang ke langit-langit ruangan kantor, seakan dilangit-langit itu tersimpan jawaban untuk segala masalah yang tengah melandanya.     Bianca mengeram, kesabarannya seakan tengah diuji sekarang, dan tanpa sadar bibir mungil tipisnya membentak Elino yang sedari tadi hanya melamun bimbang.      "Tolong selesaikan masalah ini secepatnya, saya nggak mau nyonya Caty berharap lebih dari segala kebohongan yang bapak telah ciptakan." Pinta Bianca penuh harap, raut putus asa terpancar dari wajah cantiknya. Bianca tak menyangka kalau acara magangnya akan jadi serumit ini. Ini benar-benar diluar rencananya, bahkan sama sekali tak terencanakan.  "Aku bingung, Bi. Aku bingung harus ambil pilihan yang seperti apa, aku takut jika aku berterus terang maka semuanya akan makin kacau?" Elino memejamkan matanya, rambutnya yang tadinya tersisir rapi kini berubah berantakan karena kegusarannya.  "Lalu? apa pak Elino berniat berbohong terus pada nyonya Caty?" Bianca bertanya dengan tatapan sebal setengah mati. "Dan apa bapak nggak kasian dengan saya yang akhirnya malah jadi kena imbasnya?" Berondong Bianca menyudutkan Elino. "Kalau itu yang bisa menyelamatkan posisiku sebagai CEO disini, maka jawabannya iya." Tegas Elino, Bianca terperangah mendengar betapa egoisnya seorang Elino Sanjaya. Bianca sama sekali tak menyangka kalau pria tampan dihadapannya itu benar-benar menjijikan, karena mau menghalalkan segala cara untuk mempertahankan posisi dan kekuasaanya. "Saya nggak menyangka kalau bapak begitu egois, hanya demi status dan harta rela mengunakan cara licik seperti ini, sampai tidak perduli dengan nasib orang lain. Atau jangan-jangan selama ini bapak berbisnis pun dengan cara licik ya?" sindir Bianca, kemarahan menyelimuti hatinya. Andai saja bukan dirinya yang dibuat senjata perlindungan Elino mungkin Bianca tak akan ambil pusing dengan urusan pria menyebalkan itu. Elino menoleh, ditatapnya Bianca tajam, ucapan Bianca benar-benar mengores harga dirinya. "Jaga mulut kamu, saya tidak pernah berbisnis dengan cara kotor! Hanya sekarang posisinya berbeda!" Geram Elino, Bianca memalingkan wajah, gadis itu merasa benar-benar marah saat ini, tak disangkanya, Elino yang sempat Ia puji sebagai sosok yang berwibawa dan baik hati, ternyata adalah seorang yang egois dan pengecut. Ternyata anggapan Bianca tentang pria tampan itu benar-benar salah total. Keduanya terdiam lama, merasa malas untuk berdiskusi menyelesaikan masalah gawat darurat tersebut. Keduanya seakan larut dalam lamunan masing-masing, otak mereka seakan buntu untuk mencari solusi yang pas dari semua permasalahan yang ada. "Bianca." panggil Elino lirih, Bianca mendongakan kepalanya dan menatap Elino yang masih asyik memperhatikan langit-langit kantornya dengan tatapan kosong. "Ya gimana, Pak? Sudah Nemu solusinya?" Ujar Bianca berharap. Elino menghela nafasnya, kini tatapan pria itu beralih pada wajah Bianca.  "Bi, tadi kamu denger kan, kalau misal bukan kamu yang jadi mantu mami saya, mami saya nggak akan merestui saya dengan siapapun lagi." Tanya Elino lirih, Bianca mengganguk. "Dan itu artinya, kalaupun saya ngaku soal kita ke mami saya, mami saya nggak akan terima itu dengan mudahnya. Dia akan tetap ganggu kamu dan saya. Kata lainnya, walaupun saya jelaskan siapa kamu pun mami saya nggak akan perduli, dia akan tetap paksa kamu bagaimana pun caranya untuk bisa jadi menantunya." Jelas Elino lambat, lagi-lagi Bianca mengganguk. "Jadi saya punya ide yang lebih baik dari pada kita ngaku sama mami dan buat masalah jadi rumit."  "Oia, ide apa pak?" Tutur Bianca senang mendengar Elino berhasil menemukan solusi bagi keduanya. Elino terdiam lagi, dan secara tiba-tiba digengamnya tangan Bianca erat. Ini adalah solusi sekaligus keputusan terberat yang pernah Ia ambil selama hidupnya. "Bi... Aku mohon, menikahlah denganku."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD