Bianca tak mampu menyembunyikan keterpanaanya, matanya menatap Elino dengan tatapan tak percaya. Tak disangkanya bahwa solusi yang hendak Elino utarakan adalah solusi dimana pria itu ingin membawa Bianca untuk ikut masuk kedalam permasalahan hidup pria itu lebih dalam lagi.
"Bapak sudah gila ya? Saya pikir bapak akan kasih tau solusi yang lebih bijaksana dari solusi yang tadi sempat saya berikan. Tapi ini malah... Astaga." Bianca memijat ujung pangkal hidungnya, rasa pening seketika menyerbunya setelah mendengar solusi yang Elino tawarkan tadi.
"Saya mohon bantu lah saya, Bi. Cuma kamu harapan saya. Please, menikahlah dengan saya." Pinta Elino memelas, pria itu benar-benar kehabisan akal untuk mencari solusi, dan hanya ada solusi itu didalam otaknya.
"Pak Elino! Apakah bapak sudah gila?! Bukanya bapak sendiri yang sudah janji tidak akan menyeret saya dalam urusan bapak lagi?! Tapi ini kenapa malah jadi begini, Pak? Tujuan saya kesini hanya untuk magang selama tiga bulan, bukan untuk ikut campur urusan pribadi orang lain pak." murka Bianca, wajahnya merah padam karena marah. Tak disangkanya sang bos yang cerdas, tak dapat menyelesaikan urusan hidupnya sendiri.
"Saya tau, tapi ternyata saya butuh bantuan kamu lagi, dan ini diluar kendali saya. Bi, tolong kamu pahami posisi saya dong."rajuk Elino stress. Bianca menghela nafas keputus asaanya.
"Bapak minta saya mengerti posisi bapak, tapi bapak nggak perduli posisi saya. Saya nggak bisa pak, ini berat buat saya, pertama saya dan bapak baru kenal, kedua saya kesini cuma niat magang, ketiga apa yang harus saya jelaskan pada keluarga, dosen, serta rekan-rekan saya kalau sampai mereka tau saya nikah mendadak seperti ini! Saya bisa disangka yang nggak-nggak pak! Bisa hancur nama baik dan masa depan saya!"
Cerocos Bianca panjang lebar, tanpa sadar gadis cantik itu meneteskan air mata, emosi sudah menguasai Bianca sekarang. Elino menatap Bianca merasa bersalah, tak seharusnya dirinya merepotkan orang yang baru dikenalnya sampai sejauh ini. Tapi...
"Bianca, maafkan saya. Tapi saya benar-benar butuh kamu. Saya sebetulnya nggak mau melibatkan kamu terlalu jauh, tapi nggak tau kenapa mami saya sangat suka sama kamu. Jadi, tolong dipertimbangkan lagi ya. Please tolong saya.." Sesal Elino, dirinya merasa begitu serba salah.
***
Bianca terus terisak, sedari tadi dirinya tak mampu membendung keputus asaannya. Tak disangkanya acara magangnya harus berbuntut s**l begini. Andai saja Bianca tidak magang di kantor milik keluarga Elino itu, mungkin hidupnya akan tetap damai dan tentram. Tapi sekarang, bagai ular menghampiri kayu pukulan Bianca harus berurusan dengan atasannya sendiri.
Oke mungkin bagi beberapa, bahkan semua wanita dimuka bumi ini, akan merasa beruntung saat Ia bisa menjadi pendamping hidup dari seorang bernama ENGELINO SANJAYA. Karena tak hanya tampan, Elino punya segudang hal yang sangat membangakan.
Cerdas, mapan, sukses, dan kaya raya. Paket hemat dan juga komplit bukan. Jadi siapa sih yang akan sudi menolak pesona Elino yang super W.O.W.
So pasti nggak ada lah, kecuali gadis itu punya gangguan jiwa dan butuh diperiksakan!
"Bi? Udah dong nangisnya. Saya bingung dan serba salah kalau liat kamu nangis terus begitu." Pinta Elino frustasi. Ini sudah hampir setengah jam dan Bianca masih terus terisak begini.
Bianca berusaha meredam isakannya, dan menatap Elino penuh pengharapan, mungkin takdirnya sedang buruk sekarang, karena harus berurusan dengan hidup orang lain seperti ini. Elino menatap Bianca prihatin, rasa sesal benar-benar menyergapnya.
"Bi?" panggil Elino hati-hati, takut kalau Bianca kembali histeris seperti tadi. Bagaimanapun, tak ada niatan sama sekali dalam hatinya untuk membawa Bianca dalam urusannya dan membuat Bianca menangis seperti saat ini.
Dengan sesegukan Bianca mencoba berbicara, "Pak, saya itu nggak ada perasaan apa-apa sama bapak lo, dan kita juga baru kenal beberapa hari, belum ada sebulan." Ujar Bianca tiba-tiba.
Elino tersenyum, "Iya, saya tau."
"Terus kalau bapak tau, kenapa bapak bisa-bisanya ajak saya nikah sembarangan gini si! Apa jangan-jangan bapak biasa ya ajak anak orang nikah sembarangan." Seru Bianca emosi.
"Astaga, Bi. Ya nggak lah, saya nggak pernah ngajak orang nikah sembarangan. Tadi saya mau jelasin pernikahan yang saya maksud itu bagaimana, tapi kamu sudah keburu nangis duluan. Jadi saya kan bingung mau ngomong dan jelasin ke kamunya itu bagaimana." Jelas Elino.
"Emang, tadi pas bapak ngajak saya nikah, itu ada keterangan lanjutannya ya pak?" Tanya Bianca polos, membuat Elino tertawa.
"Iya, jadi gini, sebenarnya tadi itu pas saya ajak kamu nikah, itu bukan dalam artian pernikahan yang sesungguhnya, tapi pernikahan.. kontrak. Pernikahan diatas perjanjian. Jadi kita menikah dalam batasan waktu." Jelas Elino sabar.
"Menikah bohongan maksud bapak?"
Elino mengganguk.
"Ya kurang lebih nya seperti itu. Saya mau ajak kamu menikah kontrak selama dua tahun. Dan setelah dua tahun, kita akan bercerai. Dan kamu nggak usah khawatir, tentu semua ini nggak cuma-cuma. Saya akan kasih kompensasi yang besar untuk kamu, sebagai tanda terimakasih karena kamu mau bantu saya. Lima ratus juta untuk dua tahun masa pernikahan kita. Bagaimana?"
Bianca mendengarkan penuturan Elino dengan seksama, ada sedikit rasa tertarik dihatinya saat dirinya mendengar jumlah kompensasi yang dijanjikan Elino.
Hay, please, dia hanya manusia biasa yang hidupnya juga butuh uang kan.
"Li-lima ratus juta?" Ucap Bianca gelagapan.
"Ya lima ratus juta, atau segitu masih kurang? Hm, bagaimana kalau saya kasih kamu cek, supaya kamu bisa tulis berapa uang yang kamu mau dari saya."
Elino kembali bernegosiasi, tujuannya kali ini hanya satu, membuat Bianca setuju untuk bekerjasama dengan nya.
Bianca mengetukan kuku jarinya keatas meja kerja Elino, dan berfikir.
Ini tawaran yang mengiurkan, tapi juga beresiko. Jika nanti mereka bercerai, jelas status janda akan dirinya sandang, dan jelas Ia akan jadi bahan gosip mulut-mulut usil. Tapi jika ditolak... Lima ratus juta juga bukan uang yang sedikit, Ia bisa gunakan uang itu untuk lanjut kuliah S2 di luar negeri dan menghilang sementara. Toh iya yakin, lama kelamaan gosip akan mereda, nggak mungkin kan seumur hidup orang akan ingat kasus perceraiannya?
Hm, Bianca sangat dilema saat ini.
"Gimana kalo saya nego satu milyar, Pak? Mengingat akan banyak kerugian yang saya tanggung setelah kita bercerai. Salah satunya adalah status janda, jelas itu merupakan momok untuk saya, maka itu saya berharap setelah bercerai dari bapak, saya bisa gunakan uang yang bapak kasih untuk pergi keluar negeri dan melanjutkan sekolah. Ya, istilahnya menghilang dulu lah pak, supaya nggak sakit hati digosipin orang. Gimana?"
Elino mengganguk mendengar penjelasan Bianca, rupanya gadis muda itu pintar bernegosiasi juga.
"Oke, nggak masalah, saya akan bayar kamu satu milyar sebagai kompensasi karena kamu sudah mau bantu saya. Deal?" Elino menggulurkan tangannya, dan Bianca menjabat tangan itu dengan mantap.
Ini keputusan yang Ia pilih.
"Deal."
Elino tersenyum senang, uang memang bisa membantunya dalam segala hal.
***
Bianca menatap selembar kertas diatas meja dengan perasaan campur aduk, kertas itu berisi surat perjanjian tentang pernikahan kontraknya yang harus segera Bianca tanda tangani.
Didalam surat itu jelas tertera bahwa pernikahan sandiwara Bianca dan Elino akan berlangsung selama kurun waktu 2tahun, dan setelah masa kontrak itu berakhir Bianca akan mendapatkan kompensasi sebesar satu milyar dari Elino sebagai uang ganti rugi.
Bianca membaca surat kontrak itu dengan seksama, cukup menarik dan menguntungkan bagi dirinya.
"Bagaimana Bianca, kamu setuju?" tanya Elino dengan santai sambil berleha-leha dikursi pribadinya yang nyaman.
"Cuma ini perjanjiannya? Kenapa saya merasa anda masih menyimpan peraturan yang lain ya, Pak?"Bianca menyipitkan matanya berusaha mencari tau. Elino tersenyum, terkesima dengan daya observasi Bianca yang memang patut Ia acungi jempol. Bianca memang gadis yang jenius.
"Kamu benar dan kamu sangat cerdas. Ada beberapa perjanjian lain yang belum saya beri tahu ke kamu, karena saya rasa kamu tau sendiri apa itu tanpa saya menjelaskan sama kamu." jelas Elino.
"Dilarang jatuh cinta?" terka Bianca, Elino lagi-lagi tersenyum senang, patner cerdas itu sangat mengasikan baginya.
"Yah, kurang lebihnya seperti itu. Kebetulan aku punya kekasih, tapi dia masih berada di Kanada. Kami sudah berpacaran lebih dari 2 tahun. Dan aku berencana ingin menikahinya setelah kontrak kita berakhir." ungkap Elino, Bianca terbelalak, tak disangkanya si bos tampan nya itu bukan seorang singel seperti apa yang orang lain bicarakan.
"Apa? Jadi bapak punya pacar? Lalu kalau bapak mempunyai kekasih, kenapa bapak harus bersandiwara seperti ini?" Cecar Bianca ingin tahu.
"Mami saya tak menyukainya, dan dia menentang hubungan kami, karena menurut mami dia bukan gadis yang baik buat saya. Dan dengan teganya beliau memisahkan saya dengan dia dengan cara kembali ke Indonesia. Maka dari itu saya selalu menutupi hubungan saya dari mami dan mengakui kamu sebagai kekasih saya." raut kesedihan terpancar jelas dari kedua bola mata Elino. Bianca terdiam, ada rasa tak suka saat Ia tau Ia adalah sebuah tameng bagi Elino dan kekasihnya.
"Hm, baiklah, apapun itu, itu privasi bapak, yang saya ingin tau sekarang adalah ucapan ibu bapak yang bilang secepatnya kita akan menikah. Pertanyaan saya kapan kah waktu yang ibu Caty itu maksud?" tegas Bianca, muka cantiknya berubah galak dan sangar, Ia sudah tak mau lagi banyak berbasa-basi dengan Elino.
"Mami adalah orang yang cekatan, saat dia bilang secepatnya, itu bisa jadi dalam arti antara besok dan lusa kita akan menikah." terang Elino lugas.
"Apa? Secepat itukah?" seru Bianca benar-benar takjub, rupanya calon mertua jadi-jadiannya itu lebih mengerikan dari apa yang dirinya bayangkan sebelumnya.
"Itulah mami, dia tak pernah buang waktu sama sekali, jadi mulai nanti malam aku akan datang kerumahmu untuk menemui orangtua mu dan melamar kamu." putus Elino, Bianca menghela nafas kepasrahaannya. Kini iya hanya bisa berharap papa dan mamanya tidak jantungan mendengar berita yang sangat tiba-tiba ini.
Dentingan Bel rumah yang ditekan berkali-kali benar-benar mengusik kedamaian keluarga kecil Bianca, yang kala itu tengah bersantai ria bersama diruang keluarga mereka.
"Boby, tolongin bukain pintu dong, mama ketanggung sedang masak makan malam nih. Pasti itu kakakmu yang pulang, kebiasaan kalo pulang suka pencet-pencet bel sembarangan deh." seru mama Bianca dari arah dapur, memerintahakan anak keduanya untuk segera membukakan pintu rumah. Boby mengeliat bangun dari posisi PeWenya dan berjalan ogah-ogahan menuju pintu rumah.
"Bianca?" tanya Boby bingung begitu bocah berusia 15tahun itu membuka pintu, yang terlihat tak hanya wajah sang kaka, namun juga dua wajah yang tampak asing baginya.
Bianca hanya cemberut, sama sekali tak mengindahkan sapaan dari sang adik semata wayangnya itu.
"Mami dirumah kan, Bob." Tanya Bianca mengeluyur masuk begitu saja.
"Ada tuh didalam lagi masak. Tunggu gue panggilin deh." Boby segera berlari masuk dan menemui mamahnya.
Bianca membuka pintu rumahnya nya lebih lebar, "Mari masuk tante, pak eh maksud aku, Lino, duduk dulu ya. Sebentar Bianca panggilkan mama papa dulu." Bianca mempersilahkan nyonya Caty dan Elino masuk kedalam rumahnya, Tante Caty sumringah dan mengganguk paham. Dengan percaya diri, beliau segera duduk diatas sofa mungil rumah Bianca.
"Oia mau minum apa tante? Teh, kopi, atau es sirup?" Tawar Bianca.
"Terserah kamu aja anak manis. Apa aja mami nggak masalah kok, asal bukan kopi sianida aja." Canda Tante Caty, Bianca terpana mendengar kejayusan calon ibu mertuanya, begitu pula Elino.
"Hehe, oke deh, Tan. Kalo gitu aku permisi dulu ya." Bianca tertawa garing, lalu segera berlalu memasuki rumahnya guna mencari anggota keluarganya.
***
"Sebentar ya tante, mamah sedang ganti baju. Maklum baru selesai masak, dan nggak tahu juga kalau mau ada tamu dadakan." jelas Bianca sembari menghidangkan 2 cangkir cappucino dan beberapa camilan bagi Elino dan juga Tante Caty.
"Tak masalah, sayang." ucap tante Caty pengertian, Bianca tersenyum manis.
"Mari diminum dulu Tante, Lino. Seadannya ya. Aku taruh nampan dulu. Paling bentar lagi mamah papah keluar kok."
Tante Caty mengganguk, lalu mulai menyesap capuccino buatan Bianca.
"Maaf lama menunggu." Sapa mama Bianca muncul sesaat setelah Bianca kembali masuk untuk meletakan nampannya. Ditatapnya tamu yang datang itu lekat-lekat, seakan tak mempercayai bahwa tamu dirumahnya itu adalah nyata.
"Catrine."
"Marsha."
Pekik kedua ibu-ibu itu penuh keterkejutan. Senyuman lebar tak mampu disembunyikan dari raut wajah keduanya, membuat Elino dan Bianca yang baru saja bergabung terbengong bengong dengan pemandangan yang ada, dimana kini kedua ibu-ibu rempong itu tengah berpelukan bagai teletubies.
"Ya ampun, aku nggak nyangka bakal ketemu kamu lagi tau, Sha. Setelah lima belas tahun hilang kabar kita akhirnya ketemu lagi. Padahal aku udah berusaha cari tahu nomer kamu, tapi nihil. Eh gak taunya sekarang malah ketemu langsung." ucap tante Caty riang.
"Aku juga, Cat. Aku nggak sangka kamu bakal dateng kerumahku, semenjak kamu pindah ke Kanada kan kita bener-bener lost contact." sambung mama Bianca tak kalah riang." Ngomong-ngomong kapan kamu balik ke Indonesia?" mama Bianca ingin tahu, kedua ibu-ibu itu duduk berdampingan sembari bergandengan tangan penuh kerinduan di sofa besar rumah Bianca, mengacuhkan Bianca dan Elino yang saling pandangan dengan heran.
"Aku udah agak lama balik ke Indonesia, sekitar tiga tahun yang lalu. Tau nggak, aku tuh sempet nyariin kamu dirumah kamu yang dulu loh. Kangen berat, pingin gosip bareng lagi." Tante Caty bersemangat.
"Masa si? Kamu telat, aku tuh udah pindah lama dari rumah itu. Mas Mada pingin rumah yang lebih besar lagi, jadi yang itu jual." jelas mama Bian.
"Yah, sayang banget padahal itu rumah banyak kenangannya loh. Antara keluarga kita berdua." Rajuk Tante Caty seakan tak rela.
"Iya tapi maunya mas Mada gitu,Cat. Pingin punya rumah yang lebih lapang lah istilahnya." Mama Bian pun tampak bersedih pula. Keduanya diam larut dalam perasaan masing-masing. Seakan tak menyadari keberadaan putra putri mereka.
"Mami, mami kenal sama mamahnya Bianca?" suara Elino memecahkan keheningan yang ada. Tante Caty menoleh kearah Elino.
"Ya ampun,No, masa kamu lupa si sama Tante Marsha?" tegur Tante Caty pada Elino. Elino mengerenyitkan keningnya bingung, dirinya benar-benar lupa. Kini Ia berusaha keras mengumpulkan memori masa lalunya.
"Tunggu sebentar," secara tiba-tiba Tante Caty berseru mengejutkan semua orang, lalu terdiam seakan berpikir. Semua yang ada di ruangan tersebut bertanya-tanya ada apa gerangan dengan wanita nyentrik tersebut.
"Haaaa???" seru tante Caty makin tak karuan, benar-benar aneh dan terkesan lebay. Apa mungkin tabiat seluruh tante-tante memang seperi itu ya.
"Ada apa sih, Cat? Kamu dari tadi teriak-teriak gak jelas."tegur mama Bianca kesal sendiri melihat tingkah aneh sahabat karib yang dirindukannya.
"Jadi Bianca calon menantuku itu adalah Caca, anak kamu yang dulu sering dicium pipinya sama Elino ya?" tanya Tante Caty kembali sumringah. Bianca dan Elino yang mendengar penuturan Tante Caty seketika saling tatap, sepertinya memori keduanya kembali mengulang masa lalu untuk saling menginggat.
Mama Bian terkesiap dan melempar pandangannya ke arah Elino.
"Jadi ini Ino yang suka banget bilang ke Caca buat nikah sama dia kalau sudah besar ya?" Mama Bian menghampiri Elino dan memeluk sayang pemuda tampan itu. Elino yang masih bingung hanya terbengong-bengong saja diperlakukan tak terduga oleh mama Bianca.
Bianca saling bertukar pandang dengan Elino. Tatapan keduanya seakan mencari memori lama yang sedang hilang entah kemana, sampai perlahan ingatannya mulai muncul kembali.
"Caca?"
"Ino?"
Mata mereka membulat maksimal tak menyangka akan bertemu lagi dengan teman masa kecilnya, disituasi yang tak terduga pula.
Dunia benar-benar sempit dan penuh kejutan!!