Dean benar-benar murka. Jika saja dia seperti pria lain, bisa menyentuh wanita dengan sesuka hati, tidak akan segan-segan baginya untuk meremas-remas perempuan yang baru saja menciumnya menjadi bulatan seukuran bola golf. Namun, pria itu hanya bisa berteriak kesal sembari meremas tangannya sendiri dan membayangkan jika itu adalah wanita lancang di hadapannya yang terus meminta maaf.
"Enyah kamu dari hadapanku!" geram Dean dengan kedua mata terpejam, tak sanggup melihat Jenar yang membuatnya jijik.
"Saya benar-benar minta maaf! Saya akan bertanggung jawab--"
"Bertanggung jawab, katamu?!" timpal Dean cepat. Sekarang matanya melotot lebar, tetapi tetap percuma lantaran gadis di hadapannya terus menunduk. "Dengan apa kamu akan bertanggung jawab setelah menempelkan bibir kotormu itu?!"
Jenar meringis, merasa bersalah atas apa yang telah dia lakukan kepada pria asing itu. Meski ucapan Dean terdengar menyakitkan, dia pikir wajar karena apa yang telah dilakukannya memang sama sekali tidak sopan.
"Saya benar-benar minta maaf, Pak ...."
Dean dan semua wanita adalah kombinasi yang tidak tepat.
Pria itu bukannya mendadak percaya pada ucapan dukun wanita tadi, bahkan sebelum pantangan itu dikatakan pun, Dean Kartajaya sudah lebih dulu tahu tentang dirinya yang mempunyai situasi gila yang tidak boleh dilanggar, kecuali jika dirinya tidak keberatan ketiban sial.
Dia tidak tahu harus menyalahkan siapa. Tuhan yang memberinya nyawa, atau sang ibu yang melahirkannya.
Ratna Andini mungkin menjadi satu-satunya sasaran yang tepat untuk disalahkan sebab datang ke dukun, alih-alih ke bidan tiga puluh lima tahun silam. Namun, lelaki itu tentu bukan anak durhaka yang memojokkan ibunya sendiri.
Dikarenakan keadaan ekonomi yang serba kurang untuk melahirkan di rumah sakit atau bidan terdekat, dia nekat datang ke dukun beranak ketika perutnya mengalami kontraksi. Tiga jam setelah berada di rumah dukun, seorang bayi laki-laki lahir dengan sempurna.
Alangkah terkejutnya dukun beranak tersebut ketika melihat tanda lahir di perut si bayi yang terlihat seperti lekukan petir mengelilingi lingkaran labirin --yang diartikannya sebagai simbol perempuan; pikirannya yang rumit dan berputar-putar seperti labirin.
"Anak ini tidak bisa bersama dengan seorang wanita," katanya dukun beranak tersebut.
Ratna terbelalak meski dirinya tidak paham betul apa maksud dukun wanita yang membantunya lahiran. "Maksud Nyonya apa, ya?"
Tatapan dukun wanita itu beralih dari Dean bayi kepada Ratna. "Anakmu, kamu tidak boleh biarkan anak ini menyentuh atau disentuh wanita!"
"Lalu siapa yang akan merawat anakku kalau bukan aku sendiri, Nyonya?!" jerit wanita berambut ikal itu frustrasi. Dia benar-benar tidak menyangka jika bayinya akan bernasib sial seperti itu.
"Biarkan Ayahnya yang merawat anakmu sampai dia bisa mengurus dirinya sendiri.”
Aku saja tidak tahu ke mana laki-laki itu pergi, batin Ratna dengan helaan napas panjang.
"Jadi maksudnya ... dia tidak akan menikah kalau sudah besar?” Ratna terbengong, menatap jauh ke dalam pikirannya.
Terlihat dukun wanita itu mengembuskan napas panjang setelah membiarkan Ratna menggendong bayinya. "Setiap manusia itu diciptakan berpasang-pasangan, jadi saya yakin anakmu bisa menikah dengan seseorang yang tepat dan membuatnya beruntung seumur hidup."
Di antara jutaan milyaran wanita di muka bumi ini, siapa dan di mana Dean akan menemukan perempuan yang tidak akan memberinya kesialan?
Awalnya Ratna tidak percaya dan tidak acuh dengan ucapan dukun wanita tersebut. Dia hanya menganggapnya angin lalu, atau sebuah omong kosong yang tidak perlu dipikirkan. Namun, sikap tidak peduli itu luntur ketika ucapan dukun tersebut terbukti.
Pernah suatu ketika seorang anak perempuan mencium pipi gembul Dean yang berusia enam bulan karena merasa gemas. Tak butuh waktu lama, bayi itu terjatuh dari gendongan Ratna saat dirinya hendak mengoper sang anak ke ayunan gantung.
Bunyi gedebuk terdengar amat keras, sementara Dean bayi tidak mengeluarkan reaksi apapun. Menangis saja tidak.
Di usianya yang menginjak sembilan tahun, Dean bahkan mengalami nasib sial yang tidak akan dia lupakan seumur hidupnya. Seorang gadis kecil mendekat ketika dirinya berada di atas jembatan parit. Gadis itu membawa setangkai bunga mawar merah jambu, memberikan bunga tersebut sebelum mengecup pipinya tanpa permisi.
Mengingat apa yang dikatakan sang ibu supaya dirinya tidak bersentuhan dengan perempuan manapun, Dean segera mendorong gadis itu hingga terjatuh dan menangis. Namun, saat dia berniat pergi dan berbalik badan, kakinya tergelincir dan membuat tubuhnya terjerembab ke dalam selokan bau.
Anak-anak di sana, termasuk Irgi dan Naga yang hingga sekarang menjadi orang terpercaya, menertawakan Dean yang telah bersikap kasar kepada seorang gadis dan dibalas karma secara tunai.
"Rasakan! Rasakan karma yang Tuhan beri! Hahaha!"
Dean mendesah mengingat kejadian itu. Dia pergi dengan perasaan jengkel, meninggalkan perempuan yang memakai sweater rajut warna biru dongker sebelum dirinya kembali terkena sial.
Pria itu bahkan tidak tahu kapan kesialan itu datang. Apakah beberapa saat lagi, atau justru besok.
Ketika Dean hampir tiba ke ruangan di mana Pak Prayogi berada, tiba-tiba seorang wanita muncul dari balik pintu dengan keadaan mabuk.
Dia berhambur memeluk Dean dengan erat, mengalungkan tangannya ke leher pria itu dengan napas berbau alkohol. "Oh? Pak Dean Kartajaya ternyata! Beruntung sekali saya bisa bertemu dengan CEO HL Entertainment di tempat seperti ini."
Dean mendorong tubuh perempuan itu menggunakan lengan hingga Shion, si superstar limbung menabrak tembok. "Enyah kamu dari hadapanku!" sentaknya sembari membetulkan pakaian, lalu melangkah pergi. Akan tetapi, wanita itu dengan gesit menahan tangannya.
Pria itu kembali melotot melihat tangan Shion menyentuh tangannya. Apakah mungkin kali ini dia akan menerima nasib buruk berkali-kali lipat dalam waktu bersamaan?
"Dasar kecoak sialan ...!"
Hari ini benar-benar tidak ada yang berjalan lancar sesuai keinginannya. Dua perempuan menghancurkan suasana hatinya yang sedang bersemangat untuk segera menerima investasi besar-besaran dari Pak Prayogi.
Mengenai kesialan yang akan segera datang, pria itu berharap tidak berhubungan dengan pertemuannya kali ini.
Setelah menemukan ruangan yang Naga pesan, Dean lantas masuk dengan rasa percaya diri kuat, memberikan kesan bahwa dirinya adalah pilihan terbaik untuk Pak Prayogi melakukan investasi. Akan tetapi, begitu telinganya mendengar suara yang familiar, senyum di wajahnya hilang.
Selain Dean Kartajaya, ada Ardhan, CEO World Entertainment di sana. Apa maksud semua ini, batin Dean. Jujur saja, dia merasa ada yang tidak beres sekarang ini.
Tanpa mengurangi sikap sopan santunnya, Dean duduk di kursi yang berbeda dengan Pak Prayogi dan juga Ardhan, memperhatikan keduanya yang baru saja meneguk segelas anggur mahal berusia lima puluh tahun.
"Anda sedikit telat, Pak Dean."
"Maafkan saya. Ada seekor kecoak yang menghalangi jalan," balasnya sembari mengusap pakaian mahal itu. "Omong-omong, saya terkejut ada Pak Ardhan juga di sini."
"Saya juga sempat terkejut begitu tahu Pak Dean akan segera tiba,” sahut Ardhan dengan senyuman yang memperlihatkan jika ucapannya barusan hanya pura-pura.
Ternyata bukan soal investasi, batin Dean. Dia mendadak merasa jengkel dengan pertemuan tidak penting seperti ini. Entah apa yang menjadi alasan Pak Prayogi mengadakan pertemuan dengannya dan juga CEO World Entertainment, yang jelas ini bukan sesuatu yang dia harapkan.
Sembari menggosok hidungnya, Ardhan menyilangkan kaki dan menyandarkan punggung, bersikap angkuh layaknya dia yang paling tinggi di ruangan tersebut. “Saya yakin Pak Dean sudah dengar kalau perusahaan kami akan segera menembus pasar global.”
Dean tersenyum. Rupanya karena rencana inilah mengapa pertemuan tidak penting ini diadakan. “Saya baru dengar, tapi selamat,” katanya dengan senyum dipaksakan, lalu menghela napas sambil menyelipkan jari-jarinya satu sama lain di atas lutut. “Jadi, apa mungkin jika Lucas yang bakal mencoba naik? Si pembuat onar di bar minggu lalu?”
Ardhan tersentak. Ini adalah rahasia perusahaan dan kekacauan itu dibersihkan dengan cara paling cepat dan aman, tanpa orang ketahui.
Bahkan orang-orang yang ada di tempat kejadian pun sudah ditemui satu persatu, diberi sogokan besar dan menandatangani surat perjanjian bahwa mereka akan menutup mulut, mata dan telinga soal keributan yang diciptakan Lucas.
Lantas, bagaimana CEO HL Entertainment itu bisa tahu?
Dean tersenyum tipis, lalu berubah menjadi tawa kecil sebelum akhirnya dia terbahak-bahak. “Kami juga mempunyai banyak uang untuk menyuap seseorang.”
Tanpa membuang sikap arogansinya, Dean beranjak sambil merapikan jas. Pak Prayogi terlihat kurang suka melihatnya, apalagi setelah mendengar ucapan lelaki muda yang rupanya tidak bisa dianggap remeh itu.
"Maafkan saya, saya kurang terbiasa bertemu di tempat seperti ini. Kalau begitu saya permisi." Dean lantas melangkah pergi.
"Dasar tidak tahu sopan santun. Dia benar-benar bisa datang dan pergi tergantung apakah dirinya bisa untung atau tidak!"
Dean tidak peduli dengan ungkapan Pak Prayogi yang menunjukkan rasa jengkel terhadapnya. Dia tidak peduli. Seberapa besar pun yang akan tawarkan oleh Pak Prayogi atau apa yang akan pria itu lakukan dengan menyuruhnya datang ke tempat seperti itu, dia tidak akan peduli lagi.
Sampai mati dirinya tidak akan berhubungan dengan Pak Prayogi meski kabar mengatakan jika pria itu adalah Raja Investasi. Dean tidak akan sudi, apalagi jika harus berhubungan dengan Ardhan di dalamnya.
"Ah, sial. Mereka membuat hidupku sial gara-gara pertemuan tidak jelas seperti ini."
Keesokan harinya, Irgi dan Naga dipanggil untuk segera datang ke kantor CEO. Mereka mempunyai perasaan buruk tentang ini. Namun, jika mereka kabur akan lebih buruk dampaknya. Lantas, tidak ingin memperkeruh keadaan, keduanya bergegas menemui atasan yang kini duduk di kursinya membelakangi mereka.
"Permisi, Pak ...."
Dean memutar kursi yang didudukinya, beranjak mendekati keduanya dengan tangan kiri berada di dalam saku celana, sementara tangan kanannya memegang sebuah tablet. Dia kemudian menunjukkan berita terkini yang dirilis dua menit lalu.
"Lucas dikonfirmasi mendapat tawaran untuk bergabung dalam seri kedua The Police Man," kata pria itu.
Irgi dan Naga terbelalak. Mereka belum mengetahui apapun soal berita tersebut. Keduanya lantas menunduk setelah menelan ludah. Tamat riwayatku, batin keduanya.
"Apa yang dilakukan wartawan andalan kalian itu?"
Meski terdengar dangat tenang, mau pun Irgi atau Naga tentu tahu jika saat ini Dean sedang sangat berang.
Pria bersetelan jas hitam itu kembali, bersandar pada meja sambil melipat kedua tangan tanpa meletakkan tab tersebut. Dia menatap kedua pekerjanya secara bergantian, sengaja membuat mereka ciut nyalinya.
Dean kemudian mengorek kuping yang terasa gatal, salah satu ciri kha ketika pria itu sedang merasa tidak baik. "Kalian repot-repot mencari investor, tetapi mengabaikan posisi kalian yang tidak ada kemajuannya?"
"Kami tidak–" Irgi dan Naga sama-sama tidak bisa menjawab. Mereka selalu hilang kewarasan setiap kali Dean menamparnya dengan informasi yang bahkan mereka sendiri belum ketahui.
Lagipula, apa yang terjadi dengan Pak Johan sampai-sampai tidak menerbitkan artikel tentang Lucas?! Keduanya merasa jengkel sendiri pada wartawan yang selama ini berpihak padanya.
"Bagaimana kelanjutan proyek iklan yang dibintangi Jillian?"
"Itu ...." Naga menyenggol lengan Irgi, seseorang yang seharusnya menjelaskan.
Lelaki yang punya rambut cepak itu mengambil napas, bersiap menerima kekesalan dari bosnya sebab dia lah yang bertanggung jawab dengan semua hal yang berkaitan dengan aktor bernama Jillian.
"Pihak Yale-yale membatalkan tawaran lantaran imej Jillian tidak sesuai dengan konsep mereka," kata Irgi pasrah.
Lantas saja hal itu menciptakan bara api di mata Dean berkobar. "Jadi, kalian diam saja dan ingin mereka menyesuaikan produk dengan imej Jillian, begitu? Kalian waras?!"
Sekarang Dean sedang sangat jengkel dengan semua orang, apalagi dua lelaki di depannya yang tidak bisa mengurus satu orang. Mereka sudah sepuluh tahun berada di industri hiburan, tetapi mengapa terlihat seperti amatiran yang baru terjun ke dalamnya?
Dalam dunia bisnis, orang-orang harus pandai mencari peluang, lalu mengetahui target pembeli, juga bisa berhubungan baik dengan orang lain. Tidak hanya itu, dalam dunia bisnis milik Dean Kartajawa, dia dan orang-orang di bawahnya harus pintar menempatkan posisi di setiap keuntungan, yaitu menjadikan klien sebagai raja.
“Tidak ada perusahaan yang menuntut klien untuk menurut karena mereka adalah raja. Sebaliknya, kalian harus memaksa Jillian untuk berhenti bersikap narsis! Dia hanya daun kering yang terhempas ke tanah!”
Dean bolak-balik sambil memijat kening, mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan oleh aktor pembuat masalah di agensinya. "Kurang ajar sekali anak itu!"
"Sebenarnya Jillian berulah lagi." Irgi berkata sambil menelan ludah. Dia sendiri tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan untuk mengendalikan Jillian yang selalu bertingkah seenak jidatnya.
Dean mendesah dan kedua matanya tertutup, merasa jengkel dengan anak didiknya yang satu itu. "Apa lagi yang anak itu lakukan?"