Beberapa waktu lalu, terjadi keributan di ruang rapat ketika mereka tengah menjelaskan gambaran singkat bagaimana peran sang aktor. Jillian, selaku aktor yang terpilih diharuskan menjalankan peran sebagai laki-laki yang manis dan lembut, sesuai dengan produk yang diiklankan. Namun, laki-laki itu menolak dan justru mengajukan ide yang berbanding terbalik dengan konsepnya.
"Bukankah lebih baik aku menunjukkan sisi maskulin? Daripada menjual wajah manis, aku yakin produk ini akan semakin laris jika kita memasukkan kesan seksi di dalamnya."
"Permisi, Jillian?" Penulis naskah menginterupsi. "Ini iklan minuman segar, bukan minuman beralkohol."
"Aku tahu." Wajahnya terlihat menyepelekan. "Aku hanya memberi pendapat, hanya itu."
Kesepakatan berakhir begitu saja. Kerja sama itu berakhir di saat mereka baru menandatangani surat kontrak. Dean benar-benar tidak tahu harus berbuat apa demi mengembalikan Jillian ke jalan yang benar.
Padahal sebelum merekrut lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu menjadi salah satu aktor di agensinya, Dean terlebih dulu memberi wejangan bahwa Jillian harus siap disetir, tidak bisa melakukan segala sesuatu yang dia inginkan sesuka hati.
Sebagai artis yang diinginkan banyak perusahaan iklan, atau yang diincar produksi drama dan film, Jillian boleh-boleh saja mengungkapkan pendapat. Namun, dia juga harus menerima semua keputusan staf produksi. Dengan begitu dia tidak akan menjadi aktor yang disisihkan atau hanya menjadi cadangan.
"Sore ini, bawa anak itu padaku."
"Baik!"
Irgi dan Naga lantas pergi setelah mendapat kelonggaran. Biasanya Dean akan berbicara panjang lebar hingga mereka tidak mempunyai celah untuk kabur. Namun, kali ini pria itu tidak seperti biasanya yang membuat mereka menjadi kurcaci. Bisa saja, tekanan darah Dean sedang rendah.
Setelah kedua orang itu pergi, Dean meninggalkan kantor untuk mengurus urusan pribadi lainnya. Dia masuk ke dalam lift khusus yang hanya diperuntukkan bagi Dewan Direksi, alias terbatas, hanya dipakai orang-orang berjabatan tinggi, lalu menekan tombol ke lantai bawah tanah, ke tempat parkir.
Selama ini tidak ada kesalahan di dalam lift tersebut termasuk karyawan lain yang jabatannya bukan seorang direktur. Namun, tiba-tiba lift berhenti dan pintunya terbuka. Seorang perempuan berkacamata masuk membawa beberapa kostum di pelukannya.
Dia perempuan!
Dean tercengang dibuatnya. Dia yang salah masuk lift, atau memang perempuan itu yang bersikap lancang?
"Maaf, permisi sebentar," kata perempuan itu sembari mencoba menatap Dean. "Bisa tolong tekan tombol nomor dua?"
"Permisi, kurasa kamu salah masuk." Dean tetap bergeming hingga pintu lift kembali tertutup.
Perempuan itu hanya menatapnya dengan tatapan sengit, merasa jika pria itu tidak punya rasa simpati sedikitpun. Dia kemudian bergerak mendekati papan tombol untuk menekan nomor dua menggunakan siku, lantai tujuannya.
Kurang ajar sekali dia, batin Dean. Pandangannya lantas beralih pada kartu identitas karyawan. Namanya Jenar Primaningtias, hanya pekerja magang. Namun, meski dia masih magang, gadis itu harus tahu sopan santun, tahu tempatnya sendiri. Bukan menggunakan fasilitas yang tidak diperuntukan oleh pegawai magang seperti dirinya.
Dean akan membiarkannya lewat untuk kali ini lantaran pegawai bernama Jenar itu masih magang yang mungkin saja baru masuk hari ini. Namun, tak lama kemudian dia mendengar sesuatu yang sangat mengganggu.
"Aku heran, kenapa di setiap perusahaan selalu ada manusia macam dia. Sombong, tidak berperikemanusaan. Apa hebatnya menunjukkan sisi senioritas kepada anak magang sepertiku?" Risa mendengkus setelahnya.
"Maaf?" Dean mengangkat sebelah alis, mencoba untuk berprasangka baik, tetapi lirikan gadis di sebelahnya itu tak bisa dibiarkan.
Jenar hanya melirik Dean dengan tajam, seperti ada kilat petir di matanya dan mengungkapkan betapa kesal perasaannya saat ini.
Berbeda dengan Jenar, Dean merasa tersinggung hanya dengan tatapan perempuan yang sudah membuat hatinya menggondok.
"Dasar kecoak."
Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu tersinggung. Matanya melotot ke arah seseorang yang tidak seharusnya. "Apa kamu bilang?!" Dia akhirnya terpancing dan menghadap pria asing kurang ajar yang kini menatapnya dengan sorot tidak suka. "Kamu belum pernah diseruduk kecoak, bukan?" Jenar mengambil ancang-ancang dan membuat Dean siaga.
Di saat yang sama, Dean merasa tidak asing dengan wajah berkacamata bulat tersebut. Meski dandanannya agak sedikit berubah, dia jelas pernah bertemu dengan perempuan itu. Aura yang dimilikinya sangat buruk, sehingga Dean bisa mengingat di mana dirinya melihat kecoa yang satu itu.
Dean lantas mengacungkan jari telunjuk tepat di depan mata Jenar yang kemudian menatap ujungnya. "Kamu?!"
Jenar meringis, merasa geram dengan pria sok berkuasa hanya karena memakai setelan jas mahal. Dia sudah tidak tahan lagi melihat sikap arogan milik pria sok berkuasa tersebut.
Lantas, kedua kakinya melangkah mundur, mengambil ancang-ancang seperti banteng yang siap menyeruduk sang matador. Namun, belum sempat Jenar beraksi, seekor kecoak tiba-tiba muncul dari tumpukan kostum yang dibawa olehnya, terbang dan hinggap di jari Dean yang sangat membenci semua jenis serangga, termasuk kecoak, juga wanita seperti serangga yang ada di depan matanya.
"AAA KECOAK ...!"
Dean benar-benar seperti orang gila sekarang. Dia menghentakkan kaki sambil mengibaskan kedua tangannya dengan kuat, berusaha menyingkirkan seekor binatang berantena yang merayap di lengan bajunya.
Sementara Jenar memilih berdiri di pojokan sambil memperhatikan tingkah lelaki dewasa yang membuatnya tidak bisa berkata-kata. Perempuan itu heran, mengapa ada seseorang yang begitu takut dengan binatang seukuran jempol hingga tidak tahu malu memperlihatkan sifatnya yang seperti anak kecil.
Bunyi denting terdengar bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Tanpa mengenyahkan rasa heran terhadap pria itu, Jenar keluar dengan cara melangkah ke belakang dan sebelum pintu itu kembali tertutup, dia menggelengkan kepala.
Sementara itu, Dean tetap heboh tanpa tahu kecoak tersebut sudah ikut turun di lantai yang sama dengan Jenar. Baru setelah lift berhenti di basement, dia berlari keluar sambil bergidik.
"Sialan! Di mana-mana hanya ada kecoak!"
Setibanya di basement, Dean hanya mengomel dan mengomel, mengucapkan kata-kata kasar yang tidak enak didengar dan bakal membuat orang mengumpat dalam hati. Dalam perjalanannya dari lift menuju mobil, dia merasa geli luar biasa hingga semua bulu-bulu di tangan dan kaki serta tengkuknya meremang.
Jika dia mementingkan ego, mungkin semenjak perusahaan ini berdiri dia tidak akan menerima karyawan wanita dan membuat agensinya seperti asrama putra. Namun, sejak pertama membuka lowongan kerja, para pelamar kerja kebanyakan wanita, tujuh banding tiga.
Lebih dari itu, spesifikasi yang dimiliki oleh pelamar-pelamar berjenis wanita itu jauh lebih baik daripada yang dimiliki laki-laki. Perhitungan bisnisnya tentu tidak bisa kalah hanya karena urusan pribadi.
Bau busuk yang ditinggalkan oleh serangga tadi masih menempel di lengan bajunya hingga rasanya sangat tidak tertahankan. Dean harus cepat-cepat pergi ke toko baju terdekat dan mengganti semua pakaian yang sudah tidak layak pakai itu.
Tanpa merasa sayang dan tak acuh dengan kondisi yang jauh lebih buruk darinya, Dean membuang jas seharga lima juta itu ke dalam tong sampah sebelum masuk ke mobil dan bergegas mengunjungi toko busana langganannya.
Pria itu masih gondok, debaran dalam dadanya masih begitu keras hingga rasanya ingin berteriak sekencang mungkin. Namun, pada akhirnya dia hanya bisa memukul stir mobil sebelum membawanya keluar menuju jalanan.
"Wanita itu merepotkan, juga mengganggu," kata Dean dengan pangkal hidung berkerut, "mereka ini sumber kesialan di seluruh dunia."
Sehabis bertemu dengan pria merepotkan di lift, Jenar bergegas ke ruang ganti, meletakkan semua busana yang nantinya digunakan oleh para publik figur sesuai dengan konsep atau sponsor yang telah memilih mereka. Tak lama setelah perempuan itu menggantung baju-baju, seorang staf berambut kecoklatan dan dikepang dua sisi datang dengan langkah tergesa-gesa. Dia membenarkan kacamata tebal yang sempat melorot lantaran tulang hidungnya yang rendah sebelum menepuk bahu Jenar hingga terkejut.
"Aduh! Mengagetkan saja!" Jenar kembali merapikan baju-baju di gantungan setelah berteriak kesal. "Kenapa?"
"Kamu masuk lift Presdir?!"
Mendengar sesuatu yang membingungkan, Jenar kemudian berbalik. "Apa itu lift Presdir?"
Perempuan berkacamata tebal itu, Sharon, menggeleng sambil berdecak. "Aku tahu kalau kamu masih magang, tapi setidaknya kamu harus tahu hal-hal penting seperti Lift Presdir." Dia ikut membenarkan posisi baju-baju di gantungan.
"Sebentar, apa itu lift Presdir? Ruangan? Atau apa?" Jenar menunjukkan wajah bodohnya.
"Di sini ada tiga lift." Sharon menunjukkan tiga jarinya. "Dua untuk para karyawan dan satu untuk untuk Presdir dan petinggi lainnya, tapi jarang sekali ada yang menggunakannya kecuali Presdir," jelas Sharon sambil memperhatikan kostum-kostum yang akan dibawa ke lokasi syuting.
"Jadi, bos kita punya lift khusus yang cuma bisa digunakan olehnya sendiri?" tanya Jenar ragu. Keningnya mengernyit, merasa ada yang tidak beres dengan perusahaan ini.
Oke, ini diskriminasi, batin gadis itu. Namun, sedetik kemudian wajah Jenar menjadi keras ketika mengingat seorang pria yang satu lift dengannya tadi. Dia menjadi gusar dan tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Bahkan, rongga dadanya seolah menciut, membuat jantungnya tidak bisa berfungsi dengan normal.
"Jadi ... hanya bos yang bisa masuk ke sana, 'kan?" Jenar bertanya lagi, seolah mempertegas sesuatu.
"Iya. Lebih baik jangan ulangi lagi. Beruntung kamu tidak bertemu dengannya." Sharon serius dengan ucapannya. Dia merasa bersyukur bahwa Jenar sendirian di lift tersebut.
Jenar menelan ludah. Dia merasa telah melakukan sesuatu yang fatal saat bertemu dengan seseorang yang tidak seharusnya dia temui. Namun, di antara rasa cemas yang dirasakannya, gadis dengan mata minus dua koma itu berharap jika pria arogan tadi adalah pegawai yang setingkat dengannya atau karyawan tetap yang tidak punya pilihan lain selain masuk ke lift khusus tersebut.
"Omong-omong ... seperti apa sosok Presdir kita?"
Sharon terperangah. Dia tahu jika Jenar masih magang, tapi jika sampai detik ini perempuan itu tidak mengetahui bagaimana sosok Presiden Direktur perusahaan, rasanya sangat keterlaluan. "Dia masih muda," katanya.
"Tampan, tegas dan tentu saja berkharisma." Sharon berbicara dengan pikiran berfokus pada sosok CEO muda yang ketampanannya melebihi aktor-aktor terkenal di industri ini. "Dia juga galak, tapi tidak masalah, asalkan tampan," lanjutnya.
Tiba-tiba saja wajah Sharon menjadi lesu dan kesal. "Oh iya, dia tidak pernah mau berurusan dengan wanita, semua wanita. Katanya, kaum seperti kita ini cuma dianggap kecoak."
Embusan napas berat keluar dari mulut Jenar. Kedua tangannya menjadi lemas dan detak jantung pun semakin melemah seolah-olah ia tidak akan bertahan lebih lama lagi.
"Sepertinya aku sudah bertemu dengannya ...."