Wanita Lagi

1444 Words
Setelah mendengar sesuatu dari mulut Sharon kemarin yang bagai bencana, sepanjang hari ini Jenar terlihat tidak fokus. Pikirannya melayang-layang, merasa takut akan sesuatu yang belum jelas, tetapi terlihat sangat pasti. Gadis itu mengambil pakaian tanpa memeriksa modelnya, pun akhirnya Jenar hanya bisa mendesah seraya memangku tumpukan baju dan duduk di dalam van yang sebentar lagi menuju ke lokasi syuting. "Bagaimana kalau setelah ini aku dipecat?" Jenar terus menerus merasa cemas dengan pikiran kalut, hingga tiba-tiba saja van hitam tersebut berguncang, tanda ada seseorang yang masuk. Dia lantas kembali pada kewarasan dan melihat siapa yang datang. "Kamu manajer baruku?" tanya lelaki yang baru saja duduk. Rambutnya masih acak-acakan, terdapat beberapa jepit warna pink di atasnya. "Kenapa tidak jawab?" Jenar gelagapan setelah memperhatikan sosok publik figur yang meski bekerja dalam satu perusahaan, baru kali ini mereka berhadapan seperti sekarang. "Tidak, bukan," jawanya seraya menggeleng, "saya cuma ditugaskan untuk hari ini saja karena Mbak Anggraini harus pergi ke tempat lain." Jillian terdengar mendengkus, lalu melepas jepit rambutnya asal-asalan. "Memang sepertinya aku harus meminta manajer baru. Dia ini sudah seperti anjing lepas!" Jenar hanya tersentak mendengarnya. Seperti yang orang-orang bilang, aktor bernama Jillian itu memang mempunyai mulut seperti pisau. Beruntung dia tidak bekerja sebagai manajer lelaki itu. "Setelah ini kamu harus jadi manajerku," kata Jillian tiba-tiba dan lantas membuat Jenar melotot lebar. "Kamu senang, 'kan, bekerja denganku?" "Oh, sepertinya itu terlalu tiba-tiba ... saya juga hanya bekerja hari ini saja karena mungkin saya bakal berhenti bekerja ...." "Berhenti bekerja?!" Jillian menyergah. "Kenapa? Kamu lebih baik daripada Si Kukang Perempuan itu!" "Ku-kukang perempuan?" Jenar meringis mendengarnya. Pantas saja selama ini Anggraini merengek untuk berganti tugas. Ternyata tuannya seburuk ini. "Iya, pokoknya kamu ini cocok sekali jadi manajerku." "Tapi, saya tidak ada pengalaman jadi manajer! Juga, kemungkinan besok saya harus segera hengkang–" Jillian menyentuhkan telunjuknya di bibir Jenar dan menghentikan perempuan itu berbicara. "Kamu tenang saja. Tidak akan ada yang memecat atau menyuruhmu pergi kalau kamu ada di bawah kuasaku." Perempuan itu menelan ludah, bingung harus menganggap apa tawaran lelaki di depannya ini. Apakah sebuah berkah, atau musibah. Yang jelas nasib pekerjaannya sedang tidak baik-baik saja setelah insiden di dalam lift presdir. *** Di tempat lain, Dean kini berada di butik yang terkenal dengan busana dari desainer ternama. Selain mahal, hanya di situlah pria itu menemukan gaya sendiri yang cocok dengan imej kuatnya selama ini. Baju yang sebelumnya dia pakai sudah masuk ke dalam tempat sampah. Anti sekali jika seorang Dean Kartajaya menyimpan baju yang telah ternodai oleh kecoa, atau perempuan sekalipun. Yang ada itu hanya akan memberinya sial berkepanjangan. Pria itu keluar dari ruang ganti sambil membenarkan dasi, merapikan setelan hitam yang membuatnya tampak lebih kuat tak tertandingi. Setelah ini, demi menghindari kesialan lainnya, Dean harus memberi perintah untuk memecat pegawai magang bernama Jenar Primaningtias yang telah membawa seekor kecoak ke dalam perusahaannya. Akan tetapi ketika Dean tiba di ruangan depan yang penuh dengan jejeran setelan mahal sambil membawa tekad kuatnya, dia melihat sosok penting yang selama ini menjadi salah satu tujuan dalam hidupnya. Tepat di jajaran setelan jas mahal, seorang pria yang memiliki beberapa kemiripan dengan Dean itu, termasuk nama keluarganya, tengah memilih pakaian yang cocok. Tanpa membuang kesempatan, pria itu menghampiri si raja perfilman tersebut. “Ini akan terlihat cocok untuk Anda,” ujar Dean sembari menunjukkan jas berwarna biru dongker yang terlebih dulu diambil. Ini hanya untuk basa-basi sebelum memperkenalkan diri kepada sutradara terkenal yang tidak pernah gagal menggarap sebuah film atau layar lebar. Bagi Dean yang memang begitu serakah dalam berbisnis, rasanya jika belum bekerja sama dengan Dharman Kartajaya artinya belum ada kesuksesan yang dirinya capai. “Pak Dean Kartajaya?” Pria itu tersenyum. Meski senang bukan main dan tidak menyangka jika sutradara kawakan tersebut mengenali dirinya, Dean akan bersikap sopan dan menjaga martabat. “Suatu kehormatan bisa bertemu Anda di sini.” Dharman tertawa kecil, merasa jika pria muda di depannya ini terlalu menyanjung. “Suatu kehormatan juga bisa bertemu dengan Presdir HL Entertainment di sini.” “Jika berkenan, saya ingin menunjukkan beberapa pilihan cocok untuk Anda," tawar Dean mencoba mendekati pria yang sering dijejerkan dengan fotonya di situs online karena memiliki kemiripan yang hampir sempurna itu. “Tentu saja.” Dean kemudian membawa Dharman berkeliling, menunjukkan beberapa setelan jas yang menurutnya cocok untuk sutradara papan atas tersebut. Pria itu tidak peduli jika sekarang dirinya sedang menjilat atau tengah mengambil hati seseorang yang jelas, jika semua ini demi perkembangan perusahaannya, dia akan melakukan apapun, kecuali bekerja sama dengan World Entertainment. “Kabarnya sudah terbang ke mana-mana jika Anda akan segera menggarap film terbaru dari penulis yang sama,” ujar Dean berbasa-basi. Dia tidak boleh terlihat sedang mencoba mengemis. “Ya, sudah ada pembicaraan soal itu dan Bu Maharani sudah ada beberapa kandidat para pemainnya. Namun, kami tetap akan mencasting dan menemukan aktor yang cocok untuk membawa film ini lebih sukses," jelas Dharman seraya mempertegas bahwa dia akan mengutamakan kualitas para pemain daripada ketenaran aktornya. “Sepertinya saya harus mendaftarkan salah satu aktor kami untuk ikut casting juga.” Dean tertawa setelahnya. “Ya, tentu saja. Saya tunggu.” Mereka berdua banyak berbicara soal film dan lain-lain yang mengarah ke tujuan utama Dean sambil memilih banyak setelan hingga tanpa sadar jika seorang wanita datang. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai dengan durasi yang beraturan hingga sama sekali tidak terdengar mengganggu. Ketika dia tiba di belakang Dean dan Dharman, wanita bersepatu merah menyala itu berhenti. “Permisi.” Dua pria tersebut sontak berbalik. Dean menatapnya dengan sorot malas lantaran lagi-lagi dirinya harus berhadapan dengan wanita, apalagi wanita berpenampilan mencolok seperti itu. Namun, berbeda dengan Dean, Dharman juga terlihat begitu sumringah dan semangat. Aku tidak tahu jika Pak Dharman mempunyai hubungan gila dengan wanita yang jauh lebih muda darinya, batin Dean. Meski demikian dia tidak terkejut lagi sebab siapapun, entah itu laki-laki biasa atau terpandang, memiliki banyak wanita bukanlah hal langka. Apalagi Dharman adalah pria kaya raya. Walaupun sudah berusia hampir enam puluh tahun, tetapi kekayaan dan wajahnya yang terlihat lebih muda bisa menutupi fakta yang satu itu hingga membuat penulis cantik yang kerap disapa Felicia tersebut luluh. “Halo, Sayang ….” Dharman terlebih dulu memeluk Felicia, kemudian berniat memperkenalkannya kepada pria yang seumuran dengan anak perempuannya itu. “Perkenalkan, ini anakku.” Dean tercengang, sementara Felicia menyunggingkan senyum. “Maaf?” Jelas ada kekeliruan. Semua orang tahu jika Dharman Kartajaya hanya mempunyai dua anak dan mereka semua adalah laki-laki. Lantas, mengapa pria itu memperkenalkan Felicia sebagai anaknya perempuannya, atau apakah ini cara terbaru untuk menyembunyikan hubungan gelap dengan wanita yang jauh lebih muda. Felicia jelas tahu apa yang sedang Dean pikirkan hingga wajahnya tampak begitu keras dan terkejut. Namun, wajar saja jika petinggi perusahaan tersebut memiliki kekeliruan terhadap dirinya. Lantas tanpa memperjelas semuanya, dia mengulurkan tangan. “Saya Felicia Cantika Dewi, anak kedua Pak Dharman Kartajaya.” Ini sungguh kabar yang mengejutkan. Media saja belum ada yang mengungkit, tetapi Dean sudah lebih dulu tahu tentang anak lain yang selama ini tidak terekspos. Sekarang, dia bimbang, haruskah menerima uluran tangan Felicia dan mendapat kesialan lagi, atau mengabaikannya dan membuat Dharman kecewa yang berujung pada hilangnya kesempatan untuk mendapat kerja sama dengannya. Ah, sial, kenapa Tuhan memberiku posisi yang sulit? Orang bilang, mengambil hati seseorang sangatlah mudah, yaitu dengan menyukai hal-hal yang disukai orang tersebut, atau menyanjung sesuatu yang amat disayanginya. Dalam kasus ini, Dean jelas tahu dirinya harus bersikap bagaimana untuk mengambil kesempatan yang mungkin saja hanya datang satu kali. Lantas dengan mempertaruhkan keberuntungannya, pria dengan rambut curtain itu menjabat tangan Felicia yang sehalus kapas. Padahal wanita itu adalah penulis, tetapi kulitnya terlihat seperti dirinya tidak pernah melakukan apapun. “Senang berkenalan dengan Anda,” sapa Dean lengkap dengan senyumnya. “Terima kasih, senang berkenalan dengan Anda juga.” Setelah jabatan tangan itu berakhir, Dean membawa telapak tangannya ke belakang tubuh, mengusapnya dengan jas hitam yang baru saja dia beli beberapa saat lalu. Entah kesialan macam apa yang akan dirinya dapat setelah ini, tetapi dia bersumpah jika hal itu akan membawa keberuntungan juga. Setelah bertemu dengan Sutradara Dharman dan putri yang disembunyikan, Felicia, Dean lantas bergegas ke tempat yang sudah dijanjikannya kemarin bersama Irgi dan Naga. Mereka hendak membahas beberapa pekerjaan yang dikhususkan hanya untuk aktor kesayangan, Jillian. Sementara itu, Felicia tampak mencurigakan saat kedua matanya tak juga beralih dari Dean yang baru saja masuk ke mobil. Tatapannya menggambarkan ketertarikan, juga rasa yang sangat mudah ditebak oleh Dharman yang sejak tadi memperhatikannya. “Kamu tertarik padanya?” tanya Dharman dengan nada menyelidik. Felicia mengulas senyum, kemudian beralih dan memilih setelan di barisan sebelah kanan dirinya. “Memangnya kalau aku tertarik padanya, Ayah mau membantuku?” “Tentu saja! Ayah akan melakukan apapun demi putri kesayanganku!” “Termasuk jika Ayah harus bermain curang?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD