Nyawa Terancam

1360 Words
Informasi dari Sharon memang membuat Jenar bagaikan cangkang kosong yang melakukan banyak kesalahan. Dia merasa tidak akan menjadi pegawai tetap di perusahaan ini dan mungkin saja masa magangnya tidak akan melewati batas minggu yang masih empat hari lagi. Salahnya memang tidak mengenali seperti apa wajah perusahaan. Namun, Jenar memang tidak pernah mempunyai kesempatan untuk melihat seperti apa wajah Bos Besar. Seperti dua minggu yang lalu ketika perusahaan mengadakan acara makan malam selepas menerima keberhasilan album kedua milik dua diva yang dikenal dengan nama Find Us! Jenar yang hanya karyawan magang duduk di meja paling ujung, bahkan sesekali harus berdiri dan berjalan kesana-kemari untuk menuangkan minuman. Dengan kondisi matanya yang ngantuk dan lelah, gadis itu terpaksa menyimpan kacamata meski jarak pandangnya hanya satu meter. Tidak masalah asal masih bisa membedakan yang mana jalan dan yang mana manusia atau benda yang tidak boleh ditabrak. Siapa sangka jika tiba-tiba saja Presiden Direktur datang, membuat kesenangan orang-orang berubah menjadi rasa sungkan. Dalam jarak lebih dari sepuluh meter, Jenar tidak bisa melihat bagaimana rupawan wajah si bos. Sayang sekali. Andai waktu itu dia memakai kacamata, andai pula dia lebih bertanggung jawab dalam bekerja sehingga tidak memakai sembarang lift, sudah pasti kemarin tidak ada kejadian yang menempatkan posisinya di pinggir jurang seperti sekarang. Semua sudah berlalu. Jenar menaiki lift yang dikhususkan hanya untuk Bos Besar. Parahnya lagi, dia hendak menyeruduk bosnya dan memandang pria itu dengan rendah. Siapapun tahu jika dirinya tidak akan aman lagi. Namun, setidaknya dia masih mempunyai satu kartu meski tidak memungkinkan, yaitu menerima tawaran Jillian. Dengan perasaan tidak karuan, Jenar merebahkan kepalanya di atas meja, kemudian meringis sambil menghentakkan kaki asal-asalan. Kepalanya sudah hampir meledak membayangkan jika setelah ini pihak HRD memberinya surat pemecatan, atau yang lebih spesial, si bos datang sendiri ke mejanya dan menunjuk wajah sekaligus menamatkan riwayatnya di hadapan semua orang. Satu jam yang lalu dia baru saja kembali dari lokasi syuting, rasa lelah di tubuhnya tentu membuat Jenar semakin jengkel karena bayang-bayang dipecat oleh bos besar terlalu besar. Dia berandai-andai, apakah mendatangi Jillian bisa menyelamatkan posisinya? “Ah … bisa gila aku …!” rengeknya dengan suara gemetaran, “Bagaimana kalau habis ini aku dipecat? Padahal aku sudah bekerja keras demi bisa bergabung ke perusahaan ini ….” “Tidak akan dipecat,” sahut Sharon yang baru saja datang dan langsung duduk di sebelah Jenar, “Bos kita bukan tipe orang yang mau berurusan dengan orang tidak penting.” “Tidak penting, ya ….” Jenar merasa agak lega meski mendengar jika dirinya termasuk seseorang yang tidak penting. Bukan masalah besar asalkan karirnya aman. Sharon menepuk bahu Jenar. “Tenang, kamu akan aman-aman saja asal tidak memberinya kesan yang membuat Bos ingat dengan wajahmu.” “Seperti apa misalnya? Kecoak sungguhan?” Jenar bertanya dengan wajah memucat. “Ya, itu, kecoak sungguhan.” Sharon sedikit tidak yakin mengapa Jenar membawa serangga yang satu itu, yang jelas, dia harap tidak ada kecoak di antara si bos dan pegawai magang di depannya itu. “Tidak ada kecoak di antara kalian, ‘kan?” Raut wajah Jenar tiba-tiba mengeras. Dia mengangkat kepala dari atas meja, menatap Sharon yang berekspresi harap-harap cemas. “Memangnya kalau ada, kenapa …?” Satu tegukan ludah Sharon ambil. Dia lalu menarik diri dan beranjak seolah-olah tidak mau berurusan lagi dengan hidup Jenar, sebab dia merasa hidupnya akan ikut terseret ke dalam masalah besar tersebut. “Aku tidak tahu apa-apa. Semoga hidupmu baik-baik saja.” “Apa … apa maksudmu, Sharon …?” Kerongkongan Jenar mendadak kering dan tenggorokannya tiba-tiba saja tercekat. Ini lebih menakutkan daripada melihat ratusan kandidat yang bersaing masuk ke dalam perusahaan, juga lebih mengerikan daripada berdiri di atap perusahaan enam puluh lantai. Masih dengan telapak tangan dingin dan bergetar, tiba-tiba saja telepon di samping komputer berbunyi dan mengejutkan Jenar. Dengan perasaan campur aduk, dia menerima panggilan dari pihak yang tidak diharapkan. Kepala HRD, Andra. “A-apa? Saya …?” Setelah menutup telepon dan meletakkannya dengan tangan gemetar, Jenar beranjak dengan perasaan cemas. Pikirannya campur aduk, penuh dengan firasat buruk bahwa dirinya akan segera ditendang dari perusahaan dunia hiburan tersebut. Keringat dingin mulai menetes, bahkan udara di sekitarnya pun seolah menipis hingga rasanya sulit untuk menggunakannya. Jenar tak berhenti meremas kedua tangan, sementara kakinya begitu berat untuk melangkah. Apa tidak ada cara untuk bisa lepas dari situasi ini? Jenar bertanya-tanya dalam hati. Tanggungannya masih banyak, setoran per bulan pun jumlahnya tidak kecil. Jika tiba-tiba dirinya harus kembali menganggur dan hanya mengandalkan pemasukan dari ibunya, mungkin sekeluarga akan mati mengenaskan. “Oh, astaga.” Gadis itu bergidik sendiri. “Aku harus berusaha meminta ampun. Berlutut pun pasti akan kulakukan!” Setibanya di meja HRD, Jenar berulang kali menghela napas. Dia bahkan tidak sanggup menghadap Broto Suharjo, selaku pimpinan yang bertanggung jawab dalam mengelola karyawan di perusahaan tersebut. Pria botak itu lantas menyuruh Jenar duduk di kursi, sementara dirinya mengambil salah satu amplop yang terletak di atas meja. Dia kemudian menghampiri Jenar yang menggosok telapak tangannya pada lutut. “Ini keputusan untukmu,” ujar Broto sambil menyodorkan amplop putih di atas meja. Jenar segera menatap Broto dengan tatapan bergetar. Dia benar-benar tidak menyangka jika hari ini surat pemecatan datang kepadanya. “Jadi … saya benar-benar dipecat?” gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Keinginan untuk mengambil dan membaca isi amplop tersebut saja rasanya begitu berat hingga dirinya tidak sanggup. Sebab dia sudah tahu apa yang tertulis di dalam sana. “Kenapa juga kami memecat pegawai sekompeten dirimu?” Broto dibuat geleng-geleng kepala oleh pegawai magang yang menunjukkan kesungguhannya dalam bekerja itu. “Maksud Pak Broto apa?” Jenar terlihat sedikit antusias, merasa jika ada hal baik di dalam ucapan pria yang usianya sudah lebih dari empat puluh tahun. “Buka dan baca saja sendiri.” Lantas, Jenar membuka amplop pemberian Broto dengan gerakan cepat. Dia membaca kata demi kata, baris demi baris yang mengatakan bahwa dirinya resmi dinyatakan sebagai pegawai kontrak. Kedua mata perempuan itu terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dibacanya barusan. Namun, begitu melihat Broto yang tersenyum dan mengangguk-angguk, Jenar tertawa sampai menangis. “Selamat, Jenar Primaningtias. Sekarang telah resmi menjadi bagian dari perusahaan ini.” Broto mengulurkan tangan dan disambut oleh Jenar dengan semangat. Wanita itu tidak bisa berkata-kata dan hanya bisa memeluk selembar kertas penuh anugerah itu. Akhirnya, dia bisa selangkah lebih maju, menjadi karyawan kontrak selama dua tahun yang memiliki banyak tunjangan seperti upah yang layak, juga mendapat jatah cuti, lalu bonus akhir tahun. “Terima kasih, Pak Broto! Terima kasih!” seru gadis itu lalu pergi meninggalkan ruangan Kepala HRD. Rupanya Jenar terlalu berburuk sangka, padahal tidak seharusnya begitu. Apa yang terjadi tempo hari dengan bos besar bukanlah sesuatu yang disengaja, melainkan sesuatu yang tidak bisa dihindari, alias bukan sepenuhnya kesalahannya. “Benar, aku sudah bekerja keras. Kesalahan seperti itu harusnya bisa ditutupi dengan pengabdianku selama beberapa minggu ini.” Jenar tersenyum lebar. Dia merasa harus menghubungi sang ibu dan memberitahu kabar baik ini. “Ibu pasti bakal senang.” Dia merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Akan tetapi ketika Jenar sedang melakukannya dan hendak berbelok, secara tidak sengaja dia menabrak seseorang hingga membuat dua ponsel jatuh. Semuanya retak. Dia jelas tahu salah satunya adalah ponsel miliknya, tetapi satu lainnya yang dalam kondisi parah adalah ponsel milik Dean Kartajaya. Bos besar yang tidak luput dari nasib sial. Jenar perlahan-lahan membawa pandangannya ke atas setelah melihat sepasang sepatu pantofel hitam yang mengkilap. Dilihat dari alas kakinya saja sudah menggambarkan betapa penting jabatannya. Sekarang perasaan cemas kembali hadir di dalam d**a. Begitu bertemu pandang dengan pria yang ditabraknya, Jenar tersentak kaget dan refleks mengambil langkah mundur. Napasnya berhenti begitu saja melihat pelototan tajam dari pria tinggi di hadapannya. “Mati aku ….” Saat ini jantung Jenar berdetak sangat cepat, antara takut dan terkejut, apalagi melihat jenis ponsel lipat model terkini yang harganya lebih mahal dari sepeda motor. Dua puluh empat juta, kalau dicicil setiap bulan sebesar satu juta rupiah, maka dua tahun baru lunas jika tanpa uang muka. Gila. Gila. Gila! Hutangku makin menumpuk cuma gara-gara seonggok hape! “Kamu.” Suara Dean menyadarkan Jenar ke kenyataan. Kini perempuan itu menatap bos-nya dengan tatapan ciut, apalagi melihat ekspresi pria itu yang sedang menahan marah sambil berkacak pinggang. “Kamu ikut aku sebentar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD