Chapter: 18

1181 Words
Malam ini, rumah Damien tampak tenang. Hanya terdengar sesekali detak jam dinding dan desiran angin yang menembus jendela. Seraphina menunggu saat yang tepat. Ia sudah menyiapkan semua perlengkapannya sejak sore, tas kecil berisi pakaian dan uang, sepatu datar, serta peta desa. "Ini satu-satunya kesempatan. Kalau aku menunggu terlalu lama, mungkin tidak akan ada lagi," pikirnya. "Aku harus bertemu Ibu. Aku tidak bisa menunggu lebih lama." Ketika suara langkah di lantai satu mulai mereda dan lampu-lampu di ruang tengah dipadamkan, Seraphina bergerak. Perlahan, ia membuka pintu kamar, memastikan lantai di koridor tak menimbulkan suara. Menekuk tubuhnya sedikit, ia mengintip ke bawah. Tidak ada seorang pun. "Oke… tenang, satu langkah demi satu langkah. Jangan sampai ketahuan," gumamnya dalam hati. Setiap napasnya diatur seakan menghindari bunyi sekecil apa pun. Ia melangkah ke ruang servis di lantai belakang, menuruni tangga kecil menuju garasi. Setiap napas diatur, setiap gerakan diperhitungkan. Tangga itu tua dan berdecit, tapi Seraphina sudah menekannya dengan hati-hati, memastikan tidak ada bunyi berlebih. "Hampir sampai, hanya tinggal pintu garasi. Aku bisa melakukannya," pikirnya, menahan rasa panik yang ingin meluap. Setelah beberapa menit, ia berhasil mencapai pintu garasi. Hatinya berdebar, tapi tekadnya kuat. Dengan cepat ia membuka pintu, menatap jalan kecil yang gelap menuju desa. Angin malam menyapa wajahnya. Ia menghirup udara segar, merasa lega sebentar. "Bebas. Akhirnya bisa pergi. Tapi harus cepat, dan hati-hati. Jangan sampai ketahuan." Seraphina melangkah keluar, lalu menutup pintu perlahan. Akhirnya ia bebas dari rumah Damien. Namun di balik rasa lega itu, detak jantungnya masih keras, dan pikirannya sudah melayang pada ibunya. ***** Pagi harinya, di rumah Damien, asisten rumah tangga membawa nampan sarapan ke kamar Seraphina. “Nona Seraphina, sarapannya sudah siap…” panggilnya pelan. Tidak ada jawaban. Ia mengulang, sedikit lebih keras, tapi tetap sepi. Asisten itu mengerutkan alis, mendekati pintu kamar, dan mendorongnya perlahan. Pintu sedikit terbuka dan kamar itu kosong. Ia memeriksa dengan cepat di walk-in closet, di kamar mandi, bahkan di bawah ranjang, tapi tidak ada tanda-tanda Seraphina. “Tidak mungkin… Nona Seraphina?” Suara asisten itu bergetar, perlahan berubah menjadi teriakan. Tak lama kemudian, Lauren datang dari koridor. Ia melangkah cepat. “Ada apa?” tanyanya panik. Asisten itu menunjuk ke kamar kosong dengan wajah pucat. “Nona Lauren… Nona Seraphina tidak ada! Kamarnya kosong!” Lauren menahan napas, rahangnya menegang. Ia segera mengatur napas, lalu mengangguk cepat. “Baik, jangan lapor dulu ke Tuan. Kita harus cari dulu, semua yang bekerja di rumah ikut mencari sampai ketemu. Segera!” Asisten itu masih tampak bingung, tapi ia mengangguk. Lauren berlari ke koridor, menatap setiap sudut dengan cepat. Tangannya segera mengeluarkan ponsel, mulai menghubungi staf yang lain. Beberapa menit kemudian, pekerja rumah lain mulai berdatangan. Tukang kebun, sopir, dan beberapa pegawai servis. Semua tampak panik, tapi mengikuti arahan Lauren dengan cepat. “Tolong cek semua pintu keluar! Garasi, tangga belakang, pintu servis. Jangan biarkan satu pun terlewat,” perintah Lauren tegas, membuat semua Staf langsung bergerak. “Tapi, Nona Lauren, semua pintu tertutup rapat kemarin malam. Bagaimana dia bisa keluar?” tanya salah satu pegawai. Lauren menatapnya tajam. “Dia pasti menemukan cara. Jangan tanyakan bagaimana. Fokus! Kita harus menemukannya sebelum Tuan tahu.” Salah seorang tukang kebun mengangkat tangan. “Tapi Nona, jalan keluar ke taman belakang dan gerbang desa cukup jauh. Kalau dia sudah sampai di sana…” Lauren mendesah, menutup mata sebentar, lalu menatap mereka satu per satu. “Kalau dia sudah keluar, kita harus mencarinya sekarang. Bagi tugas, jangan ada yang lengah.” Para staf mulai berpisah, memeriksa setiap ruangan, halaman, tangga, hingga koridor. Lauren tetap di tengah, mengarahkan dan memastikan semua langkah berjalan sistematis. Ia terus menelepon, mengabari perkembangan. Pintu kamar sudah diperiksa, walk-in closet kosong, dan kamar mandi pun kosong. Seraphina tak terlihat di mana pun. Dalam hatinya, Lauren semakin panik. "Tuan pasti akan marah kalau tahu dia berhasil kabur. Tapi sekarang, yang terpenting aku harus menemukannya sebelum terlambat." Setiap detik terasa sangat lama. Koridor yang biasanya tenang kini dipenuhi langkah tergesa-gesa, suara bisik panik para staf, dan ketegangan yang menusuk udara. Lauren sendiri terus berkeliling, memastikan tidak ada sudut rumah yang terlewat. **** Hujan tipis masih menetes di halaman rumah Damien ketika mobilnya meluncur perlahan menuju garasi. Ia memutuskan pulang secara tiba-tiba. Ingin mengambil beberapa berkas penting yang tertinggal di ruang kerjanya. Saat ia membuka pintu depan, yang menyambutnya bukanlah ketenangan yang biasa ia temui. Para pegawai rumah sudah berkerumun di lorong, wajah mereka pucat dan tegang. Beberapa menatap lantai, yang lain menggenggam ponsel dengan tangan gemetar, seakan menunggu hukuman. Dua penjaga rumah yang biasanya berdiri santai di pintu masuk langsung bersikap tegas. Salah satunya melangkah maju, menunduk hormat. “Selamat pagi, Tuan Damien,” sapanya. Damien menatapnya sebentar, matanya dingin namun tetap tenang. “Pagi,” jawabnya singkat. Suaranya rendah tapi mengandung kendali yang membuat semua yang ada di lorong menegang. Ia melangkah masuk, setiap langkah seolah menegaskan d******i ruangnya. Penjaga lain segera menyalip di sampingnya, memberi jarak yang cukup untuk Damien melewati kerumunan staf. “Semua tampak baik-baik saja, Tuan. Hanya sedikit ada kejadian kecil,” ucap penjaga itu, memilih kata dengan hati-hati. Damien mengerutkan alisnya, pandangannya menyapu seluruh lorong. “Kejadian kecil?” tanyanya datar. “Jelaskan padaku nanti. Sekarang, beritahu Lauren untuk ke ruang kerjaku.” Para penjaga dan staf segera bergerak, membentuk jalan bagi Damien. Lauren segera melangkah cepat, mengikuti Damien yang lebih dulu berjalan menuju ruang kerjanya. Tanpa sepatah kata pun, Damien membuka pintu, masuk, lalu menutupnya perlahan. Setelah itu, ia menoleh sekilas ke arah Lauren yang berdiri tak jauh di belakangnya. Kehingan menyelimuti ruangan. Damien berdiri tegak dengan tangan terlipat di d**a, sementara Lauren menunduk, menatap lantai, berusaha merangkai kata-kata yang tepat. “Beritahu aku, Lauren. Apa yang terjadi?” Damien akhirnya bersuara setelah beberapa detik, tapi tetap tenang dan penuh wibawa. Lauren menarik napas panjang, menegaskan dirinya sendiri, lalu akhirnya berkata, “Tuan… Nona Seraphina kabur tadi malam.” Damien mengerjap sebentar, tapi ekspresinya tetap santai. Ia mencondongkan tubuh, dengan satu tangan menopang dagu. “Seperti yang kukira,” gumamnya. “Semua orang di rumah ini, benar-benar tidak becus bekerja.” Lauren menatapnya, wajahnya tegang. “Tuan… maaf, aku… kami sudah melakukan semua yang bisa…” Damien mengangkat tangan. “Diam. Jangan coba-coba menjelaskan sebelum aku selesai. Aku sudah memprediksi hal ini, tapi bukan berarti aku harus senang melihatnya terjadi. Semua sistem di rumah ini lemah. Dan kalian membiarkan Nona Seraphina kabur begitu saja.” Lauren menggigit bibir. Ia menunduk, tapi ia tahu, Damien masih menatapnya dengan intens, membuatnya semakin merasakan tekanan yang menyesakkan. “Tidak ada toleransi untuk kelalaian seperti ini. Mengerti?” Lauren hanya mengangguk. Damien menurunkan tangannya, lalu menoleh ke jendela. "Biarkan dia di rumah ibunya selama beberapa minggu. Jangan hiraukan dia sekarang. Tapi kalian harus sembunyikan itu dari publik dan termasuk keluarga Vale. Kirim beberapa orang untuk memantau dia di sana. Siapa pun yang melakukan kontak dengan dia, laporkan langsung padaku. Apapun yang terjadi, laporkan.” Lauren menelan ludah, cepat menulis catatan di ponselnya. “Ya, Tuan. Aku akan mengatur semuanya.” Damien menatapnya sebentar, lalu menegaskan. “Ingat, aku tidak ingin ada kejutan lagi. Jangan sampai aku harus turun tangan karena kelalaian kalian.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD