Chapter: 17

1659 Words
Damien melangkah pelan di koridor sayap timur rumah keluarga Vale. Langkah sepatunya nyaris tak terdengar di lantai marmer yang dingin. Ruangan itu berada di ujung, dijaga oleh dua pria berjas hitam yang hanya mengangguk kaku saat Damien lewat. Ia mendorong pintu perlahan. Aroma antiseptik samar bercampur wangi lembut bunga lili dari vas di dekat jendela. Cahaya sore menembus tirai tipis, jatuh di ranjang besar di tengah ruangan. Celine terbaring di sana, dikelilingi peralatan medis yang diatur rapi. Selang infus menusuk kulit pucatnya, monitor jantung berdetak pelan namun stabil. Damien berhenti di ambang pintu, menatap wajah yang nyaris tak berubah meski lima tahun telah berlalu. Perlahan ia mendekat dan duduk di kursi di samping ranjang. “Celine…” suaranya serak, hampir ragu apakah ia berhak memanggil nama itu. Kelopak mata Celine bergetar, lalu terbuka. Tatapan beningnya langsung mengunci milik Damien. Senyum tipis, nyaris genit, tersungging di bibirnya. “Damien… akhirnya kau datang,” bisiknya, suaranya serak tapi mengalun manja. Damien mengeraskan rahang. “Kau sudah sadar.” “Sudah lama,” jawabnya santai, jemarinya bergerak pelan menyentuh selimut seolah menelusuri bentuk tangannya di bawahnya. “Hanya saja mereka bilang kau terlalu sibuk untuk menemuiku.” Senyum kecil itu berubah menjadi senyum licik. “Atau kau memang sengaja menghindar?” Damien tidak membalas sindiran itu. “Celine, aku tahu semua ini, bagaimana kondisimu dan semua yang terjadi karena aku. Lima tahun kau harus terbaring di sini, menanggung akibat dari keputusan bodohku.” Celine tertawa kecil, meski suaranya terdengar lemah. “Oh, Damien. Kau selalu pandai membuat dirimu terdengar seperti pahlawan yang penuh rasa bersalah. Padahal rasa bersalah itu justru membuatmu tetap dekat denganku.” Ia memiringkan kepala, matanya menatap tajam. “Aku suka itu.” Damien hanya diam. “Kau bilang kau akan memastikan aku tetap hidup,” lanjutnya, nada bicaranya turun menjadi lebih lembut, nyaris menggoda. “Lalu bagaimana kalau aku bilang aku ingin lebih dari sekadar hidup? Aku ingin bersamamu. Seperti dulu.” “Kita menikah bukan karena cinta, Celine.” “Benar,” sahutnya cepat, senyumnya melebar. “Tapi aku bisa belajar mencintaimu. Dan kau bisa belajar mencintaiku. Bukankah itu lebih mudah daripada kau mencari yang lain?” Damien menatapnya lama, dalam diam. Ia tahu permainan ini. Ia tahu Celine tidak hanya bicara soal perasaan, ada motif lain, sesuatu yang ia sembunyikan bersama keluarga Vale. Tapi ia memilih untuk tidak membongkarnya. Akhirnya, ia berkata pelan, “Kalau aku bisa memutar waktu, aku akan memilih cara yang berbeda.” “Sayangnya kau tidak bisa,” balas Celine, matanya berkilat. “Dan sekarang aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi.” Damien menarik napas panjang, tapi tetap duduk di sana, meski setiap instingnya berkata untuk berdiri dan keluar. Damien berdiri di dekat jendela kamar yang lebar, menatap keluar tanpa benar-benar memerhatikan pemandangan halaman belakang keluarga Vale. Cahaya sore masuk lewat tirai tipis, membiaskan warna keemasan di lantai marmer. Celine duduk di ranjangnya, mengenakan gaun sutra tipis. Dengan langkah pelan, ia mendekati Damien, lalu tanpa basa-basi menggelayut di lengannya. Tubuhnya menempel erat, jemari halusnya mengusap pelan d**a pria itu seakan haus akan sentuhan. “Damien… sudah lama kita tidak begini,” bisiknya manja, tubuhnya menempel, jemarinya menyusuri lengan jasnya seakan mencari kehangatan. Ia menoleh sedikit, matanya menatap Damien penuh harap. “Kenapa kau tidak meresponsku?” Damien menahan napas, otot rahangnya tegang. Ia menatap lurus ke depan, tapi jemarinya yang tergenggam di sisi kursi sedikit mengencang. “Kau tahu alasanku,” ucapnya datar, suaranya rendah. “Aku tidak bisa bersikap… seperti dulu.” Celine menyikut ringan lengan Damien, pura-pura kesal tapi bibirnya tetap tersenyum tipis. “Ah, selalu begitu. Selalu dingin, Damien. Tapi aku tahu kau menikmati ini, walau kau tidak mau mengakuinya.” Damien mengalihkan pandangan, menahan sensasi risih yang muncul dari kedekatan itu. “Aku menikmati cukup untuk keperluan sementara. Bukan lebih.” Celine mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, menyentuh pipi Damien dengan ujung jari. “Keperluan sementara? Hahaha… aku tidak mau ‘sementara’, Damien. Aku mau selamanya. Kau harus tahu itu.” Damien menelan ludah, menahan napas panjang, dan memusatkan pandangan ke jendela. Ia tidak bisa menjauh, tidak bisa menolak, karena posisi ini masih penting, yaitu akses ke keluarga Vale masih tergantung padanya. Setiap sentuhan Celine membuatnya risih, tapi ia tetap diam. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Ayah Celine, Tuan Vale, masuk bersama Marcus. Pandangan mereka langsung jatuh pada posisi Damien dan Celine yang tampak seperti sepasang suami istri yang sedang mesra. “Oh… bagus kalau kalian kembali akrab,” ucap Tuan Vale dengan senyum puas. Celine tersenyum tipis, lalu menatap Damien penuh arti. “Damien akan tinggal di sini, Ayah.” Damien akhirnya membuka mulut. “Aku memang berencana tinggal, tapi hanya beberapa hari—” “Tidak!” potong Celine cepat, suaranya meninggi. “Aku mau kamu di sini selamanya. Di rumah ini. Bersamaku.” Damien menatapnya datar. “Itu tidak mungkin.” Wajah Celine mengeras, dan Tuan Vale segera ikut bicara, suaranya tegas namun tenang. “Damien, tinggal lebih lama. Setidaknya sampai kondisi Celine benar-benar stabil. Itu perintahku.” Damien menahan napas sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baik.” Namun dalam hatinya, ia tahu bahwa setiap detik di rumah ini adalah permainan berbahaya yang harus ia jalani dengan hati-hati. *** Seraphina menuruni tangga dengan langkah ringan, tubuhnya sudah rapi dalam pakaian sederhana, tas kecil tergantung di bahu. Niatnya jelas, yaitu ia ingin pergi ke desa, menemui ibunya untuk beberapa hari. Namun, di anak tangga terakhir, langkahnya terhenti. Lauren sudah berdiri di sana, tangan disilangkan di d**a, tatapannya tajam. “Kemana kau pergi?” Tanya Lauren, nadanya terdengar seperti perintah, bukan sekadar pertanyaan. Seraphina mengangkat alis, mencoba menyingkir dengan tenang. “Ke desa. Aku ingin menemui ibuku.” “Ke desa? Tanpa memberitahu Damien lagi?” Lauren melangkah lebih dekat, matanya menatap serius. “Aku sudah izin beberapa hari yang lalu. Dokter Damien, dia bilang boleh. Hanya beberapa hari,” jawab Seraphina, nada suaranya mulai meninggi karena kesal dengan sikap Lauren yang mengekangnya. Lauren mengeraskan rahang. “Seraphina, kau tidak mengerti. Ada banyak hal yang tidak bisa kau atur sendiri. Tidak semua hal se-sederhana itu. Dan saat ini, meninggalkan rumah begitu saja bisa berisiko.” Seraphina berhenti, tangan menggenggam pegangan tangga, dadanya berdebar. “Aku bukan anak kecil. Aku bisa menjaga diriku sendiri!” “Menjaga dirimu sendiri? Kau pikir situasinya sesederhana itu? Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Kau tidak bisa hanya pergi seenaknya!” Lauren membentak, nada suaranya tegas tapi tegang, seperti sedang memaksa seseorang yang keras kepala. Seraphina menggigit bibir, napasnya memburu. Ia menatap wajah Lauren yang keras itu, lalu menunduk sejenak. Dalam hatinya, ia tahu memang tidak ada jalan keluar saat ini. Ia ingin menolak, ingin tetap pergi, tapi kenyataan menekan, ia tidak bisa. Akhirnya, ia melepas tas dari bahunya, menaruhnya di kursi dekat tangga, suara pelan namun tegas. “Baik… aku… tidak jadi pergi.” Lauren menatapnya, ekspresinya sedikit melunak tapi tetap waspada. “Bagus. Kau tahu ini untuk kebaikanmu, bukan?” Seraphina hanya mengangguk pelan, menahan rasa frustrasi dan kecewa karena rencananya ke desa harus tertunda lagi. Ia melangkah pelan ke ruang tengah, rasa sakit di d**a bukan hanya karena fisik, tapi karena ketidakberdayaannya di bawah pengawasan rumah yang kini terasa lebih seperti penjara. Seraphina melangkah pelan kembali ke kamar, menutup pintu di belakangnya dengan suara pelan namun berat. Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari rasa frustrasi karena rencananya ke desa harus tertunda lagi. Beberapa menit kemudian, suara telepon berbunyi di meja samping. Lauren menatap layar sebentar, lalu menjawab. “Tuan, aku harus memberitahumu,” suara Lauren terdengar serius di ujung telepon. “Seraphina tadi berusaha keluar. Dia bilang mau ke desa, menemui ibunya. Aku menahannya, tapi aku pikir Tuan perlu tahu.” Damien, yang sedang menata beberapa dokumen di ruang kerja, mengangkat telinga sebentar, suaranya tetap datar dan tenang. “Baik, untuk saat ini jangan biarkan dia pergi ke mana pun. Pastikan ia tetap di rumah.” Lauren mengangguk di ujung telepon meskipun Damien tidak bisa melihatnya. “Mengerti, Tuan. Tapi… apakah Tuan akan lama di rumah keluarga Vale?” Damien menatap sekilas ke arah jendela, matanya redup, suara rendahnya hampir berbisik. “Sepertinya begitu. Kondisi Celine harus stabil sebelum aku bisa kembali. Kau harus pastikan Seraphina tidak membuat keputusan yang bisa mengganggu semuanya.” Lauren menutup telepon dengan ekspresi tegang. Ia menoleh ke arah kamar Seraphina yang tertutup pintu, lalu menarik napas. “Baiklah, Tuan… aku pastikan dia tetap di sini.” Di dalam kamar, Seraphina duduk menunduk, menyadari bahwa rencananya untuk pergi memang mustahil saat ini. Ia menepuk lembut sisi ranjang, menahan rasa kecewa, sementara di luar, Lauren mulai menyiapkan segala cara agar Seraphina tetap berada di rumah, sesuai arahan Damien. Seraphina duduk di tepi ranjang, menatap tas kecil yang sudah ia siapkan sejak pagi. Hatinya masih panas, pikiran tentang ibunya di desa terus mengusik. Ia tahu, hari ini ia harus menemukan cara lain. Seraphina berdiri dan melangkah ke jendela, memperhatikan halaman rumah. Semua jalur keluar yang terlihat jelas dijaga atau mudah terlihat dari ruang tengah. Ia menghela napas, lalu duduk kembali, menutup mata sejenak untuk memikirkan strategi. “Kalau Lauren selalu mengawasi pintu, mungkin aku harus mencari jalan yang tidak biasa,” gumamnya pelan, jemarinya menyentuh dahi seakan menarik ide dari pikirannya. Ia mengingat ruang servis di lantai belakang yang jarang digunakan. Ada tangga kecil menuju garasi, dan dari garasi, jalan ke luar rumah tidak terlalu mencolok. Tapi jalan itu harus dilalui diam-diam, tanpa menimbulkan suara. Seraphina berdiri lagi, berjalan perlahan ke lemari, mengambil sepatu datar yang ringan dan tidak bersuara. Ia menatap ke arah pintu kamar, lalu ke arah lantai bawah, merencanakan waktu terbaik. “Mungkin kalau aku menunggu sampai malam, saat rumah lebih sepi, aku bisa keluar tanpa ketahuan.” Ia membuka tas kecil, memeriksa isinya: beberapa pakaian sederhana, peta desa yang ia simpan diam-diam, serta uang secukupnya. Semua sudah siap, tinggal menunggu kesempatan. Seraphina tersenyum tipis, meski masih merasa frustrasi. “Ini harus berhasil. Aku harus bertemu ibu, aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD