Chapter: 10

1382 Words
Di lantai bawah, Damien berdiri di sisi ruang makan terbuka, tak jauh dari balkon kecil yang menghadap taman belakang. Ia mengenakan kemeja putih, masih setengah terbuka di bagian atas, memperlihatkan sebagian d**a dan garis rahangnya yang tegas. Kancing manset sebelah kirinya belum dikaitkan. Penampilannya nyaris santai, tapi ada sesuatu dalam caranya berdiri, diam, tegak, tak sepenuhnya santai, yang membuat udara di sekitarnya tetap tegang. Ia mengangkat cangkir porselen hitamnya, menyesap pelan kopi tanpa gula yang sudah mulai mendingin. Rasa pahitnya memenuhi mulut, tapi Damien tak mengernyit. Seolah itu adalah satu-satunya rasa yang ia izinkan bertahan di pagi hari. Langkah kaki pelayan terdengar dari belakang, ringan tapi penuh kehati-hatian. Damien tak menoleh, hanya sedikit memiringkan kepala, memberi isyarat bahwa ia mendengar. “Tuan Damien,” ucap pelayan itu, berhenti pada jarak sopan. “Hm?” “Nona Seraphina menyampaikan bahwa beliau tidak dapat turun untuk sarapan. Beliau mengeluhkan sakit di bagian perut dan ulu hati. Tampaknya cukup parah.” Tatapan Damien tidak langsung berpindah. Ia tetap menatap ke luar jendela, pada taman yang tenang dan langit yang nyaris tanpa awan. Lalu perlahan, matanya bergeser, tapi bukan kepada sang pelayan, melainkan ke bayangannya sendiri yang terpantul samar di kaca. “Sakit perut?” gumamnya, lebih seperti berbicara kepada dirinya sendiri daripada bertanya. Bukan kekhawatiran yang pertama kali muncul di benaknya, melainkan kalkulasi. Analisis cepat. Kemungkinan sebab. Dampaknya. Seraphina tidak boleh jatuh sakit. Setidaknya, belum sekarang. Bukan di tengah segala yang belum selesai. Belum di tengah langkah-langkah yang masih ia sembunyikan di balik lapisan kontrol. Ia menurunkan cangkirnya ke atas meja marmer dengan pelan, nyaris tanpa suara, namun penuh ketegasan. Lalu ia berdiri, tubuh tingginya meregang dengan gerakan yang efisien. Sekilas, cahaya pagi menyapu sisi wajahnya, menampakkan sorot mata yang tidak bisa ditebak, campuran lelah, ketegangan, dan sisa-sisa masa lalu yang terus menghantuinya dalam diam. “Sampaikan ke dapur. Siapkan kompres hangat. Airnya jangan terlalu panas,” ucapnya akhirnya, datar namun tak bisa dibantah. Sang pelayan menunduk cepat. “Segera, Tuan.” Damien melangkah menjauh, menuju tangga, tanpa menoleh lagi. Tapak sepatunya terdengar berat di lantai marmer yang dingin, menciptakan irama pendek yang mengumumkan, bahwa sang tuan rumah telah bergerak, dan siapa pun yang menjadi penyebabnya, kini sedang berada dalam jangkauan langsungnya. Seraphina hampir tertidur ketika suara ketukan lembut di pintu membuat matanya terbuka. Pintu terbuka pelan dan Damien masuk, membawa handuk kecil dan semangkuk air hangat yang mengeluarkan uap. Melihat Damien, Seraphina spontan ingin duduk, tapi ia kembali meringis. Damien berjalan mendekat dan menatapnya cepat. “Berapa lama perutmu terasa sakit?” “Sejak tadi malam... tapi makin parah pagi ini,” jawab Seraphina pelan. Damien mendekat, meletakkan baskom air di meja kecil di sisi ranjang, lalu duduk di tepi ranjang, tidak menunggu izin. “Ulu hati atau bawah perut?” tanyanya, datar namun sigap. “Ulu hati, d**a seperti ditekan,” gumam Seraphina, matanya terpejam. “Dan mual…” Damien mengangguk pelan, jemarinya sudah meraba denyut di pergelangan tangan Seraphina. Sentuhan tangannya dingin tapi presisi, seperti seorang profesional yang terbiasa menangani situasi darurat. “GERD,” katanya akhirnya. “Bukan hal yang berbahaya, tapi bisa menyiksa. Kau seharusnya tidak melewatkan makan kemarin.” Seraphina menggigit bibir bawahnya, menunduk, menahan rasa nyeri dan rasa bersalah yang sama-sama menusuk. Damien mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan berdiri, sedikit menjauh dari ranjang. Jemarinya cepat menekan nomor. “Marcus. Siapkan antasida dan H2 blocker dari farmasi. Dosis biasa, tidak perlu modifikasi,” ucapnya singkat dan tegas. “Kirimkan segera ke rumah. Lauren akan menjemputnya dalam lima belas menit.” Ia mendengarkan sebentar, kemudian mengangguk kecil sebelum menutup panggilan tanpa basa-basi. Segera setelahnya, ia menekan nomor lain dan menyandarkan satu tangan di ambang meja dekat jendela. “Lauren. Ambil obat dari Marcus di rumah sakit. Lima belas menit dari sekarang. Lewat jalur belakang. Jangan sebutkan nama pasien,” katanya cepat. “Dan bawa langsung ke ruanganku.” “Baik, Tuan,” jawab Lauren singkat dari seberang. Begitu telepon ditutup, Damien kembali bergerak. Ia meraih handuk kecil, mencelupkannya ke dalam semangkuk air hangat yang telah disiapkan oleh pelayan tadi. Uap tipis mengepul dari air, membungkus tangannya yang kini terlihat jauh lebih tenang daripada sorot matanya yang tetap tajam dan penuh perhitungan. Ia memeras handuk itu perlahan, lalu menoleh ke arah Seraphina yang masih meringkuk dengan napas pendek di atas ranjang. “Naikkan bajumu sedikit,” katanya pelan tapi tetap tegas. “Aku akan mengompres perutmu.” Seraphina menegang ketika melihat Damien mendekat dengan handuk hangat di tangan. Uap tipis masih mengepul dari kain yang basah, aroma air hangat dan eucalyptus samar tercium. “Aku bisa melakukannya sendiri,” ucap Seraphina pelan, mencoba terdengar tegas meski suaranya bergetar. Damien menghentikan langkahnya sejenak. Tatapannya lurus, tenang, dan tanpa toleransi. “Kalau kau tidak mau, tahan saja sendiri rasa sakitnya,” katanya dingin. Seraphina terdiam. Tak ada ancaman dalam suaranya, tapi nadanya membuatnya merasa tak punya pilihan. Ia menggigit bibir, lalu mengangguk kecil, terpaksa menyerah. Dengan canggung, ia menarik bagian bawah piyamanya perlahan, hingga perutnya yang datar dan pucat terlihat. Gerakannya lambat, seolah takut menyentuh udara. Damien tidak berkata apa-apa. Ia berlutut di depan tempat tidur, posisinya sejajar dengan tubuh Seraphina. Tanpa ragu, ia menekan handuk hangat itu ke perut gadis itu. Gerakannya mantap, tidak terburu-buru, tapi juga tidak terlalu lembut. Seperti seseorang yang tahu betul apa yang sedang ia lakukan. Sentuhan pertama membuat Seraphina terkejut. Hangat dari kain basah bercampur dengan dingin dari jemari Damien yang kadang ikut menyentuh kulitnya. Sensasinya menusuk pelan, bukan hanya karena suhu, tapi karena jarak. Kedekatan. Ia menahan napas saat tangan Damien bergerak pelan, memindahkan titik tekanan handuk sedikit demi sedikit, menyesuaikan letak nyeri. Ia sangat fokus. Tidak ada tatapan menggoda. Tidak ada senyum. Hanya ketenangan seorang pria yang terbiasa menangani tubuh manusia, dan tahu batasnya. Namun bagi Seraphina, ini terlalu nyata. Napasnya memburu pelan tanpa ia sadari. Tubuhnya masih terasa sakit, tapi detak jantungnya jauh lebih cepat dari rasa perih itu sendiri. Damien tetap tenang. Matanya sempat menatap kulit perut Seraphina yang putih, mulus, dan nyaris tanpa cela. Tapi ia tak bereaksi. Tidak berpaling. Tidak bicara. Ia hanya menekan pelan, menahan handuk di atas titik nyeri, mengatur tekanan dengan presisi medis. Suasana di kamar itu sunyi, hanya terdengar napas Seraphina yang tak teratur. “Lebih baik?” Damien akhirnya bertanya, suaranya rendah. Seraphina nyaris tak bisa menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, tapi matanya tak sanggup menatap pria di depannya. Ada sesuatu yang berdesir dalam dirinya, entah karena sakit itu mulai mereda atau karena kehadiran Damien yang terlalu dekat, terlalu menguasai. Tanpa sadar, Seraphina memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak mau kompromi. Dan Damien, meski tampak setenang laut tanpa ombak, merasakan semuanya. Ia tahu efek kehadirannya. Tapi ia tetap diam. Karena jika ia bicara lebih jauh, ia mungkin tak bisa berhenti. “D-dokter Damien…” gumamnya pelan. “Hm?” “Bolehkah aku pergi sebentar ke desa? Menemui Ibu.” Damien tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah Seraphina. “Sudah cukup sehat untuk jalan-jalan, tapi tak sanggup turun untuk sarapan?” Seraphina mengernyit. “Ini penting.” “Berapa lama?” tanya Damien akhirnya. “Dua hari. Tiga kalau perlu.” Damien mendiamkannya sejenak. “Baik. Tapi kau akan tetap dalam pengawasan.” Seraphina menghela napas. “Aku tidak sedang merencanakan pelarian.” “Aku tidak pernah menyepelekan kemungkinan.” Beberapa menit kemudian, saat kompres berganti, Damien kembali bertanya. “Orang tuamu tinggal di desa?” “Iya,” Seraphina menjawab pelan. “Hanya Ibu sekarang. Ayah meninggal waktu aku SMA.” Damien tidak mengomentari. Tapi matanya kembali fokus pada perut Seraphina yang mulai tenang. “Dulu Ayah kerja di kota. Buruh pabrik. Perusahaan ekspor-impor, Vale International,” tambah Seraphina pelan. “Waktu itu ada tugas ke luar negeri. Tapi dia tidak pernah kembali. Katanya kecelakaan laut. Tapi sampai sekarang jasadnya tidak pernah ditemukan.” Jari Damien yang menggenggam handuk tiba-tiba berhenti. “Siapa nama ayahmu?” tanyanya, datarnya tidak bisa menyembunyikan ketegangan yang baru muncul. Seraphina menatap Damien. “Rizal Hartana.” Seketika, Damien menegang. Wajahnya tetap tak berubah secara kasat mata. Tapi sorot matanya, tajam, dalam, gelap seperti lubang tanpa dasar. Damien menarik diri pelan. Ia meletakkan handuk itu ke baskom. Lalu berdiri. “Aku akan kembali nanti,” ucapnya singkat. Dan sebelum Seraphina sempat bertanya lebih jauh, Damien sudah membuka pintu dan meninggalkannya sendirian, dengan lebih banyak tanya daripada sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD