Chapter: 14

1251 Words
Lauren menatapnya sebentar, lalu menurunkan sedikit bagian atas dress-nya. Gerakannya pelan, seolah memberi waktu bagi Damien untuk memperhatikan. Lekuk yang biasanya tersembunyi kini hanya untuk mata pria di sampingnya. Damien tidak langsung menyentuh. Pandangannya turun dulu, lalu jemarinya bergerak menyapu ringan di permukaan kulit, seperti mengukur respons. Sentuhan itu membuat napas Lauren sedikit berubah, tapi ia tetap menjaga ekspresinya netral. Jari Damien memberi tekanan ringan, lalu meremas singkat. Sentuhan itu tidak keras, tapi cukup untuk mengirimkan sinyal hangat ke tubuh Lauren. Tangannya yang lain bergerak tanpa tergesa, mengambil ponsel dari saku jas, dan mulai menekan layar untuk menghubungi asistennya, seakan ia bisa membagi fokus antara percakapan kerja dan sentuhan yang ia lakukan. Lauren merasakan perbedaan suhu antara kulitnya dan jemari Damien. Ia tahu, saat Damien bersikap begini, ia tidak sedang bermain-main, ia sedang menegaskan siapa yang memegang kendali. Dan meski ia sudah terbiasa, debar halus di dadanya tetap ada. Di tengah sentuhan itu, Damien menempelkan ponsel ke telinganya. “Siapa saja yang sudah datang?” Suaranya datar, dan profesional. Di ujung sana, asistennya mulai menyebut satu per satu nama tamu. Sementara itu, jemari Damien di put*ng Lauren semakin mengencang, memelintir, dan bermain-main di sana. Dengan ringan, ia menjepit lembut put*ng Lauren yang terpampang di hadapannya, lalu memutarnya sedikit, seperti menguji seberapa jauh ia bisa membuatnya bereaksi tanpa mengeluarkan suara. “…dan Dokter Marcus.” Suara asisten terdengar jelas. Gerakan Damien berubah. Jepitannya menjadi lebih kencang, putaran jemarinya sedikit kasar. Lauren tak bisa menahan helaan napas pendek yang lolos di sela bibirnya. Tubuhnya refleks sedikit menegang, pipinya semakin memanas. Damien menutup panggilan dengan gerakan santai, lalu menyimpan ponselnya ke saku jas. Tatapannya turun ke arah Lauren, dingin tapi penuh maksud. “Kita akan bicara tentang Marcus nanti,” katanya pelan. Jemarinya memberi satu putaran terakhir sebelum melepaskan, seolah menandai akhir dari ‘peringatan’ yang baru saja ia berikan. Damien masih menatap Lauren beberapa detik, jemarinya tetap di sana, memberi tekanan ringan yang membuat detak jantung Lauren terasa di telinganya sendiri. Lalu perlahan, ia melepaskan sentuhannya, membiarkan kain dress itu kembali menjadi penghalang. Dengan gerakan santai, Damien menarik bagian atas dress Lauren ke atas, menutup rapat area yang tadi ia buka. Ujung jarinya merapikan lipatan kain di bahu Lauren, seperti memastikan tidak ada yang terlihat tidak rapi. “Sudah cukup untuk sekarang,” ucapnya pelan. *** Restoran privat itu terletak di lantai atas sebuah gedung perkantoran, jauh dari keramaian. Limosin Damien berhenti tepat di depan pintu masuk. Seorang pelayan membukakan pintu, membungkuk sedikit ketika Damien dan Lauren keluar. Mereka langsung diarahkan ke sebuah ruangan VIP. Pintu kayu gelap terbuka, memperlihatkan meja bundar besar dengan enam kursi. Di sana sudah duduk empat orang pria, semuanya pejabat tinggi rumah sakit. Tiga di antara mereka langsung mengalihkan pandangan ke Lauren, tatapan mereka bukan sekadar menilai penampilan, melainkan lapar, seperti sedang menimbang sesuatu yang bukan urusan bisnis. Damien menyadarinya. Ia menarik kursi untuk Lauren, memastikan ia duduk di sampingnya, lalu menatap ketiga pria itu. “She’s not your dessert,” ucap Damien tenang tapi tegas. “I’ve arranged a different dessert for you.” Ketiganya terdiam sebentar, lalu tertawa kecil seolah menganggap itu lelucon, meski mereka tahu Damien jarang bercanda. Marcus, yang duduk tepat di seberang Damien, hanya mengamati, ekspresinya netral. Pelayan masuk, menuangkan anggur ke gelas-gelas kristal, lalu keluar lagi. Damien meneguk sedikit minumannya, lalu membuka pembicaraan. “So.. we need to address the situation at the hospital. The rumors are spreading faster than we expected.” Salah satu pria berkacamata mencondongkan tubuhnya. “You mean the embezzlement gossip?” Damien mengangguk. “Exactly. It’s been on the lips of both staff and patients. We can’t allow that to affect our reputation. Marcus…” Ia menoleh, tatapannya tajam, “…I need you to handle this before the week ends.” Marcus menghela napas pelan. “I’m aware of the rumors, Damien. But tracing the source isn’t simple. The finance department—” Damien memotongnya. “—is useless if they can’t keep internal matters quiet. I want names. I want the trail. And I want whoever’s responsible to disappear from the hospital before this turns into a media circus.” Seorang pria botak di sebelah Marcus menambahkan, “We’ve also received inquiries from the board. They’re asking if the rumors are true.” “They’re not.” Damien menjawab cepat, suaranya penuh keyakinan. “And they will never be true as long as we control the narrative.” Ia mengarahkan pandangannya kembali pada Marcus. “That’s your job now.” Marcus mengangguk sekali. “Understood.” Damien menyandarkan diri ke kursi, jemarinya mengetuk ringan permukaan meja. “Good. While you’re at it, make sure the staff knows we’re monitoring every department closely. Fear is a very effective disinfectant.” Pria berkacamata itu tertawa singkat, “Trust Damien to put it that way.” Pertemuan berlanjut dengan pembahasan lebih detail mengenai audit internal, penggantian beberapa kepala departemen, dan pengetatan prosedur keuangan. Damien memimpin diskusi dengan nada yang tidak pernah meninggi, tapi setiap kata terasa seperti perintah yang tidak bisa dibantah. Lauren hanya duduk diam di sisinya, menyesap minuman sesekali, menyimak wajah-wajah di meja itu, terutama Marcus yang kini tampak lebih tegang dibanding saat mereka pertama masuk. Saat pembicaraan mulai mereda, Damien melirik ke arah Lauren. Hanya satu tatapan, tapi Lauren tahu itu adalah kode. Gerakan halus jari Damien di sisi gelas anggurnya menjadi isyarat lanjutan. Ia paham maksudnya. Lauren menoleh ke tiga pejabat rumah sakit di seberang. Bibirnya membentuk senyum ramah. “Gentlemen, would you follow me upstairs? There’s something special prepared for you.” Ketiganya saling berpandangan, tatapan lapar mereka dari tadi seakan mendapat jawaban. Mereka berdiri hampir bersamaan, mengikuti Lauren keluar ruangan. Di lantai atas, sebuah pintu ganda terbuka. Di dalamnya, lima wanita berpenampilan memikat sudah menunggu, mengenakan gaun tipis, senyum terlatih, dan tatapan yang mengundang. “Enjoy your evening,” kata Lauren singkat sebelum berbalik meninggalkan ruangan, tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer. Ia kembali turun ke restoran, melangkah masuk ke ruangan tempat Damien dan Marcus masih duduk. Pertemuan inti akhirnya selesai. Yang tersisa hanya Damien, Lauren, dan Marcus. Pelayan masuk sebentar untuk membersihkan gelas dan piring, lalu menutup pintu rapat, meninggalkan keheningan yang hanya diisi suara pendingin ruangan. Marcus duduk sedikit condong ke depan, menatap Damien. “Damien...” Suaranya rendah, seperti hendak membicarakan sesuatu yang tidak boleh terdengar oleh orang luar. “Keluarga Celine… mereka meminta Seraphina. Dan mereka menginginkannya secepat mungkin.” Lauren yang sedang merapikan letak sendok berhenti, matanya bergerak cepat ke arah Damien. Damien tetap duduk santai, satu tangan menopang dagunya. “I see,” jawabnya tenang, seolah Marcus baru saja melaporkan hal biasa. “And you told them what?” Marcus menghela napas. “I said I’d talk to you. They’re… insistent, Damien. It’s not something I can keep delaying.” Damien meletakkan gelasnya, lalu menatap Marcus langsung, sorot matanya dingin tapi bibirnya membentuk senyum tipis. “I’m not giving her back.” Keheningan jatuh. Marcus menatap Damien, nyaris tidak percaya dengan ketegasan yang terdengar seperti pernyataan mutlak. Lauren pun terkejut, bukan hanya karena isi kalimatnya, tapi juga cara Damien mengucapkannya tanpa sedikit pun ragu, seolah keputusan itu sudah final bahkan sebelum Marcus membuka mulut. “Damien…” Marcus mulai, nada suaranya setengah protes. “No,” Damien memotong, suaranya tetap rendah tapi penuh penekanan. “Seraphina stays. Not now, not ever, unless I decide otherwise.” Marcus menahan diri untuk membalas, hanya bersandar kembali di kursinya. Lauren, di sisi Damien, bisa merasakan jelas bahwa di balik nada santai itu, ada lapisan ancaman yang tidak mungkin dibantah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD