Puja keluar dari ruangan Akash dengan menggerutu kesal. Bisa-bisanya sudah malam Akash malah memanggil perempuan panggilan? Padahal dari pagi Akash tidak ada tamu perempuan. Puja kira Akash hari ini sudah taubat, ternyata kambuh lagi penyakitnya.
“Mana pulpenku? Ah pasti ketinggalan di ruangan bos gila itu?” ucap Puja lirih.
Puja tidak mau pulpen kesayangannya itu hilang. Iya, dia tidak mau mengganti dengan pulpen lainnya, karena kalau dia sudah suka, pasti Puja tidak mau melepasnya. Padahal Cuma perkara Pulpen saja, toh di laci masih banyak stok pulpen. Tapi, Puja tidak mau memakainya. Kadang tertukar dengan Rena pun Puja langsung protes dengan Rena.
“Ahhh ... terus, Baby ...,” racau Akash saat perempuan seksi itu mengurut bagian pusat Akash.
“Ya, begitu, Beib,” racau Akash lagi.
“Sorry ganggu, ambil pulpen!” ucap Puja dengan menutup matanya sedikit saat mengambil pulpen di meja Akash.
“s**t!!! Siapa yang menyuruh kamu masuk!” umpat Akash.
“Maaf, Pak. Maaf!” teriak Puja. Lalu dia bergegas lari, keluar dari ruangan Akash, sebelum Akash benar-benar murka padanya.
Puja langsung mengemasi meja kerjanya, lalu mengambil tasnya, dan dia langsung pulang. Dia tidak mau berurusan dengan Akash lagi. Biar besok saja Akash marah-marah dengan dirinya. Yang penting dia harus segera pulang. 
^^^
Satu bulan sudah Puja bekerja di perusahaan milik Akash. Tepat hari ini dirinya menerima gaji pertamanya. Senyumnya mengambang, saat dirinya menerima notifikasi dari M-Banking. Uang gajian sudah masuk di rekeningnya. Puja benar-benar tidak percaya, gaji yang dia peroleh sebanyak itu. Gajinya sampai dua digit. Tentunya sebagian gajinya akan Puja berikan pada orang tua di kotanya. Apalagi ayahnya sedang melakukan pengobatan. Jadi dengan gaji segitu, sangat cukup sekali untuk biaya pengobatan Ayahnya, dan untuk kebutuhan sehari-hari kedua orang tuanya.
“Cie, senyum-senyum kenapa nih?” tanya Rena.
“Terima notif dari M-Banking, Mbak,” jawabnya dengan senyum mengembang.
“Gajian, ya?”
“Iya, Mbak. Alhamdulillah, banyak banget gajianku, Mbak. Uang lembur juga banyak, ini tadi baru saja aku melihat slip gajinya,” jawab Puja.
“Syukur Alhamdulillah, jadi kamu bisa bantu orang tua kamu di kota,” ucap Rena.
“Iya, Alhamdulillah, sudah aku kirim ke ibu tadi.”
“Baguslah, itu namanya anak yang berbakti,” ucap Rena.
Pintu ruangan Akash terbuka. Akash keluar dari dalam ruangannya menuju ke meja Rena. Dia menatap Rena dengan tatapan yang menyiratkan suatu kesedihan. Bagaimana Akash tidak sedih, hari ini Rena terakhir di kantornya. Hari ini adalah hari perpisahan Rena. Semua karyawan sore ini akan mengadakan pesta perpisahan, Akash mengajak semua karyawan untuk makan-makan di restoran.
“Kamu yakin hari ini terakhir? Yakin mau resign, Ren?” tanya Akash, dengan berharap Rena mau mengubah keputsannya untuk resign dari perusahaannya.
“Akash, kita sudah sepakat, bukan? Jadi aku mohon sekali pengertianmu kali ini,” ucap Rena.
Akash hanya mengembuskan napasnya kasar. Dia tidak bisa juga memaksakan Rena untuk tetap bertahan di perusahaannya. Karena Dito pun sudah minta pada Akash, kalau Rena harus resign.
“Yakin gak mau berubah pikiran?” tanya Akash lagi, dan masih sangat berharap Rena berubah pikiran.
“Enggak, Akash. Keputusanku sudah bulat,” jawab Rena lugas.
“Ya sudah, kalau begitu sekarang kita ke restoran,” ajak Akash.
“Oke. Kamu sama Puja, ya? Mas Dito menjemput aku katanya. Jadi aku mau bareng Mas Dito saja,” ucap Rena.
Lagi-lagi Akash mengembuskan napasnya kasar. Apalagi harus satu mobil dengan Puja. Padahal dia ingin satu mobil dengan Rena, karena ini yang terakhir Rena bekerja di perusahaannya. Meski bukan terakhir untuk mereka bertamu, tapi Akash yakin setelah ini dirinya tidak bisa setiap hari bertemu dengan Rena.
“Oke deh!” jawabnya terpaksa.
Rena berjalan dengan Puja, mereka sambil bergandengarn tangan dan sambil ngobrol segala hal dengan tawa renyah mereka. Akash hanya mengikuti keuda perempuan itu dari belakang. Sesekali dia tersenyum tipis, saat melihat keakraban dua wanita yang ada di depannya.
Sampai di lobi. Dito ternyata sudah berada di sana. Dito langsung tersenyum saat melihat istri tercintanya itu keluar dari lift bersama dengan Puja dan Akash juga. Rena langsung berlari menghampiri suaminya itu.
“Rena, jangan lari! Nanti kalau kamu jatuh bagaimana, Ren?” terika Akash.
Akash sangat panik melihat Rena berlari ke arah suaminya dengan keadaan perut besar, dan dia memakai heels. Namun, Rena tidak menghiraukan ucapan Akash. Ia terus berlari hingga masuk ke dalam pelukan sang suami.
“Ya ampun, istriku ini. Jangan lari-lari gini, Sayang? Kamu gak sadar perutmu sudah besar gini, sudah gitu kamu pakai hak tinggi. Kalau jatuh bagaimana?” tegur Dito dengan lembut.
“Iya, Maaf, Mas. Aku kangen sama Mas,” jawab Rena sambil bergelayut manja pada suaminya.
“Hai, Kash, apa kabar?” sapa Dito saat melihat Akash mendekat.
“Baik,” jawabnya singkat.
“Terima kasih banyak ya, Kash? Akhirnya lo mau ngizinin istri gue resign,” ucap Dito.
“Tentu saja. Gue gak mau terjadi apa-apa sama Rena. Karena Rena begitu berarti buat gue!” ucap Akash.
Ucapan Akash terdengar ambigu di telinga Puja. Membuat Puja semakin bertanya-tanya. Apa ada cinta segitiga di antara mereka? Jiwa kekepoan Puja kembali memberontak. Ingin rasanya Puja menguak semuanya tentang Akash dan Rena, yang setiap hari membuat dirinya bingung. Sebetulnya ada hubungan apa antara Rena dan Akash.
“Iya, gue tahu lo sayang banget sama istri gue. Kalian berdua sahabatan dari lo dan istri gue masih kecil. Tenang saja, Akash, lo bisa main kapan saja ke rumah kalau lo kangan Rena.”
“Terima kasih banyak atas tawarannya,” jawab Akash singkat.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat ke restoran yang sudah Akash booking jauh-jauh hari untuk merayakan pesta perpisahan Rena. Mereka pun berjalan menuju ke arah tempat parkir. Rena bersama dengan Dito, dan mereka sudah menaiki mobil mereka menuju ke restoran. 
Sedangkan Akash, dia masih terpaku di depan mobilnya, menatap kepergian mobil Dito, dengan tatapan yang sulit diartikan. Puja mengernyitkan keningnya saat melihat Akash menatap lekat mobil Dito yang melaju lebih dulu, sampai mobil itu hilang dari pandangannya.
Akash masuk ke dalam mobilnya, bersiap untuk berangkat ke restoran menyusul Dito dan Rena, juga karyawan Akash lainnya.
“Hei, bengong aja! Cepat naik, apa saya tinggal!” teriak Akash.
“Hah, kalau sama Mbak Rena saja dia halus bicaranya. Sama aku, boro-boro? Kembali ke setelan pabrik. Jadi mode galak!” batin Puja.
Puja membuka pintu belakang. “Hei, kamu pikir saya sopirmu?!” sembur Akash saat melihat Puja membuka pintu bagian belakang.
“Sesekali jadi sopir, Pak! Jangan jadi bos mulu?! Galak lagi? Bisa gak sih ngomongnya pelan, yang lembut dikit, kayak pas ngomong sama Mbak Rena?” ucap Puja.
“Tidak usah banyak bicara, duduk di depan! Lagian untuk apa saya bicara lembut sama kamu?!” ucap Akash.
Puja langsung membuka pintu bagian depan mobil Akash, lalu dia masuk ke dalam, dan menutup pintu itu dengan setengah membanting.
“Terus saja dibanting pintunya!” umpat Akash.
“Sudah jangan banyak bicara, jalankan mobilnya! Gak usah lama-lama dekat saya, katanya bisa alergi kalau dekat saya?” ucap Puja santai.
“Diam kamu!”