Roomates

1064 Words
Harin memicingkan matanya dan menyibak rambut yang menutupi telinganya. “Aku gak salah dengar kan?” Harin bermonolog. Gadis itu berjalan ke ruang bawah tanah yang berada di rumahnya. Mendadak bulu kuduknya berdiri. Ini jam dua belas malam dan orang tua mereka sedang menginap di luar tapi Harin samar-samar mendengar suara piano dari ruang bawah tanah rumah mereka. Rasa takut sekaligus merinding tiba-tiba saja menyelimuti Kim Harin. “Ilsung apa itu kau?” tanya Harin dengan suara bergetar. Dia belum berani bergerak maju. Tubuhnya kini berdiri di depan pintu ruang bawah tanah. Tak ada sahutan dan pikiran yang mengerikan benar-benar menghantui Harin. Tapi dibanding rasa takutnya, rasa penasaran Harin lebih besar. Perempuan itu yakin bahwa yang berada di ruang bawah tanah adalah Ilsung. Harin membuka pintu dan langsung masuk ke dalam ruangan. Gadis itu menarik napas lega karena yang berada di ruang bawah tanah benar-benar Ilsung. “Ilsung? Sedang apa kau di sini?” Tak kalah kagetnya dengan Harin, Ilsung juga kaget melihat kedatangan sang kakak. Ilsung merasa tertangkap basah. Selama ini diam-diam Ilsung belajar piano di ruang bawah tanah. Papanya Ilsung dan Harin adalah seorang musisi. Dia punya kursus piano, tapi Ilsung selalu menolak belajar piano dari orang tuanya. Meskipun begitu Ilsung sering datang ke tempat kursus bersama papanya dan diam-diam dia belajar piano tanpa sepengetahuan keluarganya. Ilsung tersenyum lebar dan menatap Harin, senyum Ilsung benar-benar seperti matahari, hangat dan membuat orang lain yang melihatnya nyaman. “Kau bermain piano?” Tanya Harin tak percaya. Ilsung mengangguk dengan malu. Harin tidak percaya bahwa Ilsung akhirnya mau menyentuh piano. Otang tua mereka sudah menawari Ilsung bolak-balik namun lelaki itu tidak mau belajar piano. “Aku hanya bermain-main kok, Nuna,” gumam Ilsung. Harin menarik sudut bibirnya, “Bermain-main katamu? Kau barusan memainkan lagu Flying to the Moon kan? Kau bilang seperti itu main-main? Dasar,” tukas Harin. Perempun itu duduk di samping Ilsung lalu memeluk pundaknya, “Kenapa gak minta ajarin Appa?”  tanya Harin. Ilsung menggeleng. Tempat kursus milik papanya punya banyak murid dan  lumayan terkenal sebagai guru piano yang handal. Dia benar-benar sibuk, Ilsung tidak mau menggangu aktivitas sang ayah. “Kau tahu sendiri Appa kan sibuk, Nuna tolong jangan bilang eomma, appa aku ingin belajar piano sendiri. Aku tidak ingin merepotkan mereka,” gumam Ilsung. Harin menarik napas berat. Ilsung menatap Harin dengan tatapan puppy eyes. Jika sudah seperti Harin tidak bisa menolak permintaan Ilsung. Jadi mau tak mau menurutinya, “Baiklah aku tidak akan bilang Eomma, Appa tapi aku harap kamu serius belajar piano. Siapa tahu kau bisa jadi pianis terkenal nanti,” gumam Harin. Ilsung mengangguk. Meski sekarang Ilsung hanya bermain piano karena gabut namun Ilsung akan berusaha untuk belajar dengan sebaik mungkin. Dia ingin orang tuanya bangga padanya suatu hari nanti. *** “Austin!” Dae Jung bisa mendengar orang-orang di sekitarnya berbisik. Bahkan sebagian dari mereka banyak yang mengambil jarak setelah kedatangan murid dengan jaket bisbol dan tas hitam yang berada di punggungnya. Dia menatap Dae Jung tanpa rasa takut, tatapannya tenang tapi mengintimidasi. “Tak bisakah kalian pergi dari sini?” Austin menatap mereka dengan tatapan tidak suka, kerumunan di depan kamar Dae Jung langsung benar-benar bubar ketika Austin meminta mereka untuk bubar, lebih tepatnya mengintimidasi dengan kata-kata dan tatapannya. Bahkan Bastilo yang tadinya ingin merundung Dae Jung pun mendadak takut. Siapa sih yang tak takut dengan Austin. Dia terkenal dingin dan tak suka bergaul dengan siapapun. Austin pendiam dan juga misterius. Dia bahkan tidak punya teman di asrama ini. Kesalahan terbesar Bastilo malam ini adalah membuat keributan di kamar Austin. “Kenapa kau tidak bilang kalau anak baru itu sekamar dengan Austin,” gerutu Bastian setelah keluar dari kamar Dae Jung. “Mana kutahu kalau mereka sekamar,” ujar Danelo yang benar-benar tidak tahu bahwa mereka adalah roommates. Kesan pertama Dae Jung pada Austin tidaklah terlalu baik. Lelaki itu tidak sopan seenaknya saja masuk ke kamarnya tanpa izin. Dae Jung mencekal lengan Austin,” Kau siapa? Kenapa kau ada di sini?” tanya Dae Jung dengan nada tidak suka. Austin menatap tangan Dae Jung yang mencekalnya dengan tatapan tidak suka perlu digaris bawahi bahwa Austin tidak suka seseorang menyentuhnya. Dengan gerakan kasar Austin menepis tangan Dae Jung, “Don’t touch me!” ujarnya dengan penuh penekanan. Selain tidak sopan, Dae Jung tidak menyangka bahwa orang yang berada di hadapannya ini sangat kasar. “Aku tanya kau siapa! Kenapa kau ada di sini?” Dae Jung kembali bertanya, kali ini dengan nada yang tidak bersahabat sama sekali, Austin menatap Dae Jung dengan pandangan tidak suka, “I am your roommates.”  Dueng! Rasanya seperti ada sesuatu yang memukul kepala Dae Jung. Dia tidak tahu bahwa orang yang berada di hadapannya ini adalah teman sekamarnya. Mendadak dia lupa bahwa dia tidak tinggal sendirian di sini, bahkan kepala asrama juga sudah bilang padanya bahwa Dae Jung akan tinggal berdua sekamar. “Anyeonghaseo, aku Dae Jung, senang bertemu denganmu,” gumam Dae Jung gugup dan berbicara dalam dua bahasa sekaligus. Saking gugupnya Dae Jung bahkan memberikan salam dengan membungkuk 90 derajat ke arah Austin. Austin menatap Dae Jung dengan tatapan aneh. Baru saja beberapa saat yang lalu dia melontarkan tatapan menyebalkan padanya, tapi Dae Jung mendadak bersikap formal padanya, “Kau tidak usah bersikap manis seperti itu, aku tidak tertarik denganmu,” gumam Austin dengan tatapan tak acuh. Dae Jung mencibir dalam hati, tapi dia harus bersikap sopan padanya. Dia tidak ingin membuat masalah di sini. “Aku harap kita bisa berteman,” ujar Dae Jung dengan tatapan tulus. “Aku Dae Jung kau siapa?” Tanya Dae Jung sambil mengulurkan tangannya. Austin sama sekali tidak ada niatan untuk menyambut uluran tangan Dae Jung. Dia malah berjalan ke arah kasurnya dan meninggalkan Dae Jung begitu saja, “Aku tak ada niatan berteman denganmu, sebaiknya kau urusi saja urusanmu dan jangan menimbulkan keributan di sini,” ujar Austin dengan tatapan tak bersahabat. “Sombong sekali,” cicit Dae Jung yang tanpa sadar terdengar di telinga Austin. “Aku bisa mendengarmu,” tatap Austin dengan tajam. “Sorry,” tukas Dae Jung. Bayangan hidup damai di Kanada mendadak buyar di hari pertama Dae Jung menginjakkan kakinya di sini. Sekamar dengan orang yang menyebalkan, bagaimana bisa hari-hari Dae Jung menyenangkan? Mendadak Dae Jung ingin pulang, haruskah dia mengemas barang-barangnya dan kembali ke Korea? Dae Jung menarik napasnya, dia tidak mungkin melakukan itu, dia tak mau membuat orang tuanya kecewa lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD