Segala tindakan pasti memiliki resiko, apalagi perbuatan buruk. Khavi lupa jika serapat apapun seseorang menyimpan bangkai, lama-lama baunya akan tercium juga. Meminta maaf pun sudah tidak berguna. Satu yang membuat Khavi menyesal adalah airmata Ibundanya. Beliau menangis saat tahu apa yang membuat Eyangnya marah. Khavi mungkin masih bisa tenang seandainya di pukul atau di marahi, tapi ketika Bundanya diam seribu bahasa dan lebih memilih pergi meninggalkannya, ia tahu sedalam apa luka di hati wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya.
"Kenapa kamu bisa jadi seperti ini Khavi? Ayah sama Bunda tidak pernah menekanmu, membebaskan kamu untuk memilih jalan dan masa depan sendiri karena kami mengira kamu sudah dewasa, sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah. Kami juga sudah membekalimu dengan ilmu agama."
"Maafkan Khavi, Ayah. Sudah membuat Ayah malu."
"Ayah tidak hanya malu, tapi merasa bersalah karena gagal mendidik kamu Khavi. Ayah hanya sakit hati karena sejak kecil kamu tidak pernah membuat Bunda menangis, selalu membuatnya bangga. Tapi hari ini, saat kamu sudah dewasa, di beri akal lebih untuk berpikir, kamu mengecewakannya."
Khavi terdiam, tenggorokannya tercekat. Ia tidak berpikir sejauh ini ketika melakukan dosa itu. Ayahnya benar, ia sudah menyakiti dan mengecewakan Bundanya. Padahal Ayahnya saja sebagai suami tak pernah membuatnya menangis.
"Sekali lagi Khavi minta maaf, Ayah."
"Jangan temui Bunda dulu, sebelum masalahmu selesai. Kita semua menyimpan aib ini rapat-rapat, jadi Ayah harap kamu bisa menyelesaikan masalah dengan bijak, tidak membuat huru-hara yang bisa membuat nama pesantren Eyang buruk dan beliau malu. Eyang sudah sepuh Khavi, seharusnya kamu bisa menjadi penerus beliau yang sukses di dunia dan memiliki bekal di akhiratnya, bukan malah melakukan hal seperti itu."
Khavi sudah tidak mampu lagi berkata-kata, yang bisa ia lakukan saat ini hanya memperbaiki keadaan dan bertanggung jawab dengan apa yang sudah di perbuatnya. Ia akan mencoba memberi pengertian pada Zahra, dan membujuk Vanya agar mau menikah dengannya.
***
"Ra, saya sudah menemukan wanita yang saya cintai. Apa kamu masih ingat dengan perjanjian yang kamu buat?"
Setelah pulang ke rumah Khavi langsung mencari Zahra untuk membicarakan masalahnya. Ia harus memastikan lebih dulu Zahra akan mengambil jalan keluar seperti apa.
"Lalu?"
"Apa kita bisa bercerai?"
Zahra menatap mata Khavi, dulu, satu tahun yang lalu ia bisa dengan mudah mengucapkan janji itu. Bahkan, beberapa hari yang lalu mungkin hatinya masih di beri kelapangan tentang hal ini. Kesiapan seandainya Khavi menemukan cintanya dan mereka berpisah. Akan tetapi ketika tahu hubungan dan permainan seperti apa yang biasa di lakukan Khavi dengan sekretarisnya di kantor, ada perasaan tidak rela. Seperti apapun jalur pernikahan mereka, Khavi adalah suaminya. Ada rasa sakit mengapa Khavi bisa dengan mudah menyentuh wanita yang belum halal tapi mengabaikan ia sebagai istri sah-nya. Ia tahu ini akan terdengar salah di telinga Khavi, tapi ia ingin mempertahankan hak-nya.
"Aku belum mau di ceraikan, Mas."
"Tapi saya ingin menikahi wanita lain Zahra!"
"Tidak masalah. Bukankah aku pernah bilang bersedia di poligami untuk sementara waktu, sampai kuliahku selesai."
"Tapi ini akan menyakitimu, Zahra."
"Lebih menyakitkan tahu kalau kamu ada main sama sekretarismu, Mas."
"Ra?"
"Kalau memang sudah dari lama kamu ada hubungan dengan wanita itu, seharusnya kamu beritahu aku. Tidak membuatku seperti orang bodoh yang bahkan mendekati wanita itu dan menganggapnya teman. Seharusnya kamu tidak berbohong dengan mengatakan sedang dalam posisi tidak memiliki kekasih. Aku belum mau di ceraikan, silahkan menikah lagi dan bersikaplah adil."
Khavi menatap marah mata Zahra, dia terkejut dengan keputusan yang di buat wanita yang kini berstatus sebagai istrinya. Zahra mengingkari janjinya yang pernah mengatakan tidak akan menuntut apapun dan mencampuri urusan asmaranya. Namun, saat ini Zahra menuntut keadilan.
Zahra memang rela di poligami tapi jujur Khabi lebih lebih ingin mereka bercerai saja, setelahnya ia tak akan keberatan jika harus membiayai Zahra sampai jadi dokter.
"Kamu menipuku Zahra? Kamu mengingkari janji yang kamu buat sendiri?"
"Tidak Mas, aku hanya mengatakan mau di ceraikan jika kuliahku sudah selesai."
"Aku akan membiayai kuliahmu sampai selesai."
Zahra menggeleng. "Tidak, aku lebih memilih di poligami. Tolong mengertilah, pahami posisiku. Aku seorang wanita, baru menikah beberapa bulan dan kamu menceraikanku. Selain kasihan pada orangtuaku, apa kata orang nanti, mereka pasti berpikir aku yang tidak bejus jadi istri. Mereka pasti akan memandangku buruk karena sibuk kuliah dan tidak berbakti pada suami."
"Sudah sedari awal saya bilang menikah bukan untuk tujuan berumah tangga bukan hal yang baik Zahra, dan akhirnya berakhir seperti ini."
"Tolong Mas, aku tidak akan menyebar aibmu, bahkan pada orangtuaku. Menikahlah dengan wanita itu, aku mengizinkan. Aku yang akan memberi pengertian pada orangtuaku nanti."
"Lalu apa maksud dari ucapanmu tentang saya yang harus bersikap adil, Zahra?"
"Aku tidak memaksa Mas Khavi memberiku nafkah batin, tapi aku ingin kita bertiga tinggal dalam satu rumah. Dan, dari tujuh hari itu, bagilah dengan adil. Tolong jaga harga diriku di mata istri baru kamu nanti juga orangtuaku, tidurlah di kamarku beberapa malam. Satu lagi, karena aku tidak bekerja, dia juga jangan, berhentikan dia dari jabatan sekretaris kamu di kantor Mas."
Zahra akan lebih tenang jika Vanya tidak lagi menjadi sekretaris Khavi. Ia tak mungkin bisa berkonsentrasi saat di kampus seandainya dua orang itu masih berada di posisi yang sama. Zahra tak bisa membayangkan jika seharian di kantor mereka hanya bermesraan.
"Apa kamu sungguh-sungguh dengan keputusanmu Zahra? Tinggal satu rumah dengan istriku yang lain? Aku mencintai dia dan tidak mencintaimu, apa yakin kau akan kuat dengan kondisi seperti itu sampai kamu mendapatkan gelar kedokteran?"
Zahra tersenyum manis pada suaminya.
"Siap Mas, apa susahnya sih? Aku nggak mungkin cemburu 'kan karena kita menikah bukan karena alasan saling cinta. Aku hanya minta kamu menjaga harga diriku sebagai istri pertama di depan Vanya." Ucap Zahra meyakinkan Khavi, tapi mungkin membohongi dirinya sendiri.
Zahra meyakinkan dirinya tidak cemburu dengan hubungan Khavi dan Vanya. Membuat mereka menikah terasa lebih baik daripada ia di selingkuhi. Inilah alasan ia nekad memberikan rekaman yang di berikan Raga pada Eyang Bara.
***
Menunggu jam istirahat makan siang terasa sangat lama bagi Khavi. Vanya sudah tidak mau datang ke ruangannya dan lebih memilih menyuruh Raga jika ada yang hendak di sampaikan. Membuat Khavi kesulitan mencari celah untuk berbicara.
Vanya juga sangat tertutup padanya tentang dimana dia tinggal. Khavi tak pernah di beritahu. Hubungan mereka memang hanya terjadi di kantor, entah itu tentang pekerjaan, maupun yang lain.
"Ga, tolong panggil Vanya untuk menghadap saya sekarang juga," perintah Khavi.
"Vanya tidak mau, Pak."
Khavi menggebrak mejanya. "Saya tahu kamu tahu hubunganku dengan Vanya Ga, bahkan sampai ada gambar dan rekaman tentang apa yang kita lakukan dan sampai ke Eyang juga saya yakin itu ulahmu. Jadi tolong jangan buat Vanya minder seperti ini, jangan menekan dia, jangan di olok-olok. Semua yang terjadi ini mutlak kesalahan saya, dan dengan kamu membuat hubungan kita terbongkar, hari ini akan jadi hari terakhir dia bekerja di sini. Tolong jangan beritahu dia tentang aibnya yang di ketahui orang lain dan panggil dia kesini. Ada yang ingin saya bicarakan empat mata sama dia. Tolong kamu jangan terlalu semena-mena Ga, hanya karena saya tidak punya kuasa untuk memecatmu."
Raga tidak bisa berbuat apa-apa, apa yang di katakan Khavi memang benar, ia yang merekam perbuatan mereka, saking muaknya. Apapun yang terjadi saat ini, segala kekacauan itu sudah menjadi resiko yang harus mereka tanggung.
"Van, masuk dulu sebentar."
"Pekerjaan saya belum selesai, Pak." Jawab Vanya yang kini berdiri di pintu ruangan Khavi yang terbuka.
"Aku mau bicara serius, Van."
"Di sini aja," jawab Vanya. Ia yang tak pandai menjaga diri membuatnya takut.
"Van, aku mau kita menikah."
Ucapan Khavi membuat Vanya terkejut.
"Bapak sudah punya istri, jadi jangan bermimpi kita akan menikah. Sekali lagi saya tegaskan tidak tertarik dengan hubungan pernikahan."
"Van, aku mohon, Zahra mau di madu."
"Astaga, Vi! Aku tidak percaya. Wanita mana yang ikhlas berbagi suami. Aku cuma mau hubungan kita setelah ini hanya untuk urusan pekerjaan saja, Pak."
"Van, tolong, menikahlah denganku, karena jika tidak kamu akan tetap kehilangan pekerjaan. Mulai besok kamu tidak lagi bekerja di sini, Om Zio mau mengganti kamu dengan orang baru."
"Aku buat salah apa, Vi?"
"Aku nggak bisa jelaskan, tapi kalau kamu menikah denganku, uang gajimu akan tetap aku berikan sebagai uang bulanan, Van."
Vanya terdiam, ia orang yang realistis, hidupnya butuh uang. Tapi untuk menggadaikan hidupnya dalam sebuah ikatan pernikahan ia tidak yakin.
Sayangnya, kemana lagi ia bisa mendapat pekerjaan dengan gaji sebesar sekarang agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan mencicil hutang?
"Van?"
"Aku benci pernikahan, Khavi, apalagi jika harus jadi istri kedua dan menjadi racun di rumah tangga orang lain. Aku lebih rela seandainya kamu bayar tubuhku setiap kali memakainya. Sebuah hubungan pernikahan terlalu mengerikan untukku yang memiliki trauma, satu lagi alasan aku menolak menikah denganmu, karena aku tidak mencintaimu Khavi," tekan Vanya.
"Kalau begitu anggaplah menjadi istriku adalah sebuah pekerjaan, Van. Mulai besok kamu di pecat dan tidak lagi menjadi sekretarisku. Aku akan membayarmu setiap kali kita tidur bersama, menggajimu untuk pekerjaan rumah yang kamu lakukan. Jadilah sekretarisku di rumah dan di ranjang, bukan kantor lagi."
Hati Khavi sakit kala Vanya lebih memilih menjual tubuh padanya daripada menjadi istri sah.
"Dan apa aku boleh resign seandainya bosan dengan pekerjaan itu, Khavi?"