“Vio, aku cuma senyum karena dia senyum. Jadi wajar dong kalau aku balas senyumannya,” ucap Jarek dengan nada lembut, mencoba meredam ketegangan. Vio menoleh dengan sorot mata tajam. “Satu kali itu wajar, Mas. Tapi ini berkali-kali! Kalau dia senyumin Mas, kenapa Mas enggak langsung alihin pandangan? Kenapa harus balas senyum lagi, lagi, dan lagi?” Jarek menghela napas panjang. “Ya ampun, Sayang… itu cuma senyum, loh.” “Cuma senyum?” Vio menyilangkan tangan di dadanya, suaranya meninggi. “Mas enggak ngerti, ya? Senyum itu bisa punya banyak arti. Kalau sekali dan pas berpapasan, aku masih bisa maklumin. Tapi kalau udah berkali-kali, di ruangan yang sama, saling tatap lalu saling senyum lagi? Itu bukan sekadar senyum, Mas. Itu ada artinya!” Vio menekankan setiap kata dengan getir, lalu m

