Bab 5

1473 Words
    Bryan POV     Aku tengah gusar dengan pemberitaan bodoh ini, seluruh media tengah menyorotiku tanpa henti. Memang sudah sewajarnya sih jika aku menjadi berita utama di media manapun, toh bukan hanya sekali aku di sorot. Karena bagaimana pun, aku adalah pebisnis yang sedang naik daun di Negara ini. Tetapi ini lain ceritanya, berita konyol tentang aku yang membeli narkoba pada preman jalanan sangat menggangguku.         Aakhh, harusnya malam itu aku tidak pulang lewat taman, sekarang aku sendiri yang kena getahnya. Lihat saja kalau si badut pembuat berita ini tertangkap, akan ku buat jari-jarinya terpisah dari tubuhnya. Tidak peduli dia pria atau wanita, yang jelas badut itu telah membuat saham perusahaan telah menurun.     Drrr.. drrr…     Getaran telepon genggamku yang tiba-tiba ini sangat menggangguku, kalian benar aku sedang berpikir cara terkejam untuk menyingkirkan badut pengganggu itu. “Halo!” kataku ketus sedikit berteriak. Aku memang tidak sabar menanti telepon darinya. “Boss, pelakunya sudah ku temukan” jawaban Andre sedikit menghiburku. “Benar seperti dugaanmu, wanita itu pelakunya” ucapnya lagi. “Bawa dia padaku malam ini juga” ucapku tanpa pikir panjang. “Baik, boss”     Tidak peduli dia wanita atau bukan, dia manusia atau makhluk jadi-jadian. Kehadirannya sangat mengganggu ketenangan hidupku. Aku akan menghabisinya dan melakukan apa saja untuk menyingkirkannya. Satu hal yang masih menjadi ganjalan pikiranku, mengapa dia meninggalkan petunjuk malam itu? Apa dia sengaja agar aku menemukannya? Lalu apa manfaatnya jika dia ketahuan olehku? Apa rencana dia sebenarnya? *****     Flashback On     “Apa yang kau inginkan?” ucapku tajam pada wanita berdandan menor di depanku. Entah apa saja yang telah dia kenakan hingga kulit wajahnya tidak terlihat, tertutup oleh bedak, foundation atau apalah itu namanya aku tidak paham alat menggambar di wajah wanita     “Aku hanya ingin kamu kembali padaku” ucapnya sedikit manja. Suara sok imutnya membuatku merinding setengah mati.     “Kembali padamu? Apa kau lupa jika hubungan kita telah berakhir dua tahun yang lalu” ucapku masih dalam emosi stabil.     Sebenarnya aku sudah muak dengan segala ucapannya tentang hubungan kami yang telah kandas, karena dia telah menggangguku sejak kami tak lagi bersama. Tetapi kegigihannya ini benar-benar membuatku kaget, aku ingin melihat usahanya lebih jauh lagi. Seperti saat ini, aku menuruti keinginannya untuk bertemu di café dekat dengan apartemennya. Sekali lagi aku hanya ingin melihat usahanya menarik perhatianku agar kembali padanya. “Kau benar, Bryan. Hubungan kita memang sudah berakhir tetapi selama ini aku hanya memberimu waktu untuk memikirkannya lagi”     Nah kan, apa ku bilang? Usahanya sangat menakutkan, apa dia terobsesi padaku atau bagaimana aku juga tidak memahaminya. Aku ingin tahu drama apa yang akan dia mainkan kali ini. “Aku sudah memutuskannya Vanessa. Aku tidak akan kembali padamu, lagi pula perpisahan kita bukan karena kesalahanku. Kau lah penyebabnya” ucapku santai sambil meneguk caramel macchiato milikku.     Sorot matanya mulai menajam seakan tidak terima dengan keputusanku, aku sudah terbiasa dengan tatapan menjengkelkannya ini. Jujur saja aku tidak pernah melihat dia marah saat kami masih bersama dulu. Kini setelah kami berpisah, Vanessa mantan kekasihku ini makin sering memperlihatkan sifat-sifat aslinya padaku. “Kau tidak bisa lari, Bryan! Kau punya tanggung jawab besar!” matanya memerah menahan amarahnya, mungkin karena kami berada di tempat ramai sehingga dia sedikit menahan emosinya. “Tanggung jawab apa maksudmu?” tanyaku sedikit bingung. “Kau lupa telah menelatarkan anak kandungmu selama dua tahun ini” nada amarah Vanessa kini berangsur berubah isakan tangis. Aku sedikit terkejut melihat air matanya yang jatuh membasahi wajahnya. “Kau meninggalkan bayi tak berdosa itu padaku dan membiarkannya tumbuh tanpa ayah, kau lah iblis sesungguhnya Bryan!”     Bayi? Bayinya siapa? Aku bahkan baru mendengar hal ini dari mulutnya sendiri. “Apa kau menuduhku sebagai ayah dari bayi yang telah kau lahirkan?”      Aku baru ingat, Andre penah memberiku informasi jika Vanessa telah melahirkan 10 bulan setelah kami berpisah. Aahh mengapa aku melupakannya? Akan lebih baik jika aku waspada dari jauh hari, aku tidak mengira jika hal ini akan terjadi juga. “Benar, kaulah ayah dari bayi yang telah ku lahirkan. Aku tidak menyangka semudah itu kau membuangnya Bryan!” kini aku melihat orang yang dulu ku cintai berubah menjadi ular mengerikan yang siap menerkamku. “Oh ya? Aku tidak ingat pernah membuatnya bersamamu” aku mencoba tidak masuk dalam jebakannya dan bersikap sesantai mungkin. Bisa gawat kalau aku termakan hasutannya. “Sudah ku duga kau akan mengatakan hal ini” isakan tangisnya mendadak berhenti di gantikan oleh seringai di bibirnya. Jujur saja dia sangat pandai berakting.     Vanessa merogoh sesuatu di tas jinjingnya dan mengeluarkan telepon genggamnya, nampaknya ia sedang mencari sesuatu disana. Aku masih memperhatikan gerak-geriknya tanpa menurunkan kewaspadaanku.     Mataku tidak percaya dengan apa yang telah ku lihat setelah Vanessa menunjukkan sebuah foto padaku. Itu aku, benar itu wajahku terpampang jelas sedang berada di atas ranjang tanpa sehelai busana menutupi tubuhku. Dan disampingku terdapat seorang perempuan tanpa busana pula berbaring ke arah samping, satu tangannya sedang melingkar di perutku. Dia adalah Vanessa, kami terlihat sedang tertidur setelah melakukan percintaan panas selama beberapa ronde, seperti itulah gambarannya. Dan lihatlah wajahku, sangat damai disana. Aku tidak percaya ini. “Darimana kau dapatkan foto ini?” tanyaku pada Vanessa yang memperlihatkan senyuman kemenangannya. “Jangan bilang kau lupa malam itu Bryan. Kau mabuk berat dan memintaku melayanimu!” ucapannya sedikit mengingatkann aku di malam pertama aku menginjakkan kaki di Indonesia. “Kau benar saat itu aku memang sangat mabuk” senyum kemenangan Vanessa makin melebar saja “Tapi aku ingat apa saja yang telah aku lakukan malam itu” ucapku sambil menatapnya tajam. “Kau memang mabuk Bryan. Kau kehilangan kesadaranmu sepenuhnya” dia berusaha membantah ucapanku. “Aku sangat ingat kau lah yang membawaku ke hotel dan melucuti pakaianku. Aku tidak bisa menghentikanmu saat itu karena kepalaku luar biasa pusing. Jadi aku hanya melihat semua perbuatanmu” “Memang benar aku membawamu ke hotel karena kau sendiri yang memintanya, Bryan!” “Aku masih sadar apa yang ku lakukan meskipun aku sedang mabuk berat. Aku penasaran apakah kau memberiku obat tidur saat itu?” ucapanku sukses membungkam mulutnya. Terlihat raut wajahnya berubah menjadi merah padam, bukan karena ingin menangislagi atau malu tetapi karena amarah. “Tetap saja aku tidak bisa meninggalkan aku dan Leon sendiri, Bryan! Bertanggung jawablah atas perbuatanmu” “Baiklah, jika itu yang kau inginkan” ucapku tanpa beban “Kalau begitu aku akan membawa Le-“ “Tes DNA” Matanya sekonyong-konyong menbulat sempurna mendengar ucapanku “Apa maksudmu?” kini dia makin marah dengan ucapanku barusan “Aku ingin membuktikan kalau bayi itu memang memiliki DNA yang sama denganku” ucapku menatap lurus pada bola mata Vanessa. Aku pikir tidak ada salahnya jika aku masuk ke dalam dramanya dan menjadi salah satu aktornya. “Tanpa tes pun Leon sangat mirip denganmu, Bryan” bantahnya tak kalah sengit.  “Kau ingin aku bertanggung jawab atas anak itu kan? Maka aku ingin tes DNA untuk mencocokkan hasilnya denganku. Jika benar dia adalah anakku, aku akan membesarkannya layaknya orangtua pada umumnya” “Bryan!”     Teriakannya mengundang perhatian pengunjung lain di café, kami jadi tontonan baru mereka dalam beberapa detik. Aku harap tidak ada yang mengeluarkan ponselnya dan merekam kami, bisa gawat nanti. “Kau bilang Leon anakku bukan? Kenapa kau berteriak saat aku minta tes DNA?” ucapku santai “Kau sudah kelewatan Bryan!” ucapnya marah “Kenapa? Kau ragu?”     Vanessa diam saja, tangannya meremas telpon genggamnya kuat. Coba kalau dia seorang pria, mungkin telepon genggamnya sudah patah jadi dua. “Baiklah jika itu maumu” ucapnya mulai merendahkan intonasi nya “Aku harus membawa Leon ke Jakarta”     Aku segera berdiri dan meninggalkannya tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirku, aku rasa duduk berlama-lama dengannya hanya membuang waktuku saja. Leon anak kecil itu anakku dia bilang? Bercanda Vanessa itu, menyentuhnya saja tidak pernah ku lakukan apalagi membuat bayi dengannya. Yang paling konyol dari semua ceritanya, bagaimana bisa foto itu ada padanya sedangkan saat itu kami sedang terlelap tidur? Apakah ada CCTV disana? *****     Aku berjalan makin menjauhi café dimana pembahasan konyolku dengan Vanessa berlangsung sekitar sepuluh menit yang lalu. Sengaja tidak ku bawa mobil kesayanganku karena aku ingin sekali menikmati malam ini, sudah lama aku tidak berjalan sendirian melewati trotoar jalan berbarengan dengan pejalan kaki lain. Kota ini memang tidak pernah sepi akan kendaraan, bahkan di malam hari pun masih saja banyak kendaraan berlalu lalang.     Langkah kakiku terhenti saat melewati perempatan jalan, ada sebuah bangunan lama di sebelah kiri tengah menarik perhatianku. Entah kenapa aku ingin sekali mendekati bangunan lama itu, semakin dekat semakin jelas bangunan itu adalah Taman Kanak-kanak di kota. Aku tersenyum sendiri ketika melihat taman bermain di halaman, sungguh mengingatkan aku pada masa lalu.     Saat itu hari pertama aku masuk TK tetapi di hari itu pula aku menangis kencang karena takut Mama akan meninggalkanku sendiri, sungguh konyol bukan? Tetapi aku teringat seseorang yang selalu menemaniku disaat aku ketakutan, entah siapa dia aku pun sudah lupa. Yang kuingat hanya suara lembut dan kehadirannya sungguh menghangatkan hatiku.     Kembali ku melangkahkan kaki menjauhi gedung TK itu sebelum aku tertawa sendiri jika teringat hal-hal konyol lagi di masa lalu. Sejenak aku melupakan semua obrolanku dengan Vanessa tadi, mulai besok aku akan memikirkan cara yang lebih efektif untuk membantah semua tuduhannya padaku. Aahhh.. kenangan manis tentang masa kecilku memang bisa melenyapkan seluruh kegundahanku akhir-akhir ini, aku beruntung tadi mengikuti instingku untuk melewati jalan ini. Bukk.. Aku merasakan sebuah sebuah tepukan kasar dari telapak tangan besar mendarat di pundakku. “Hei bung!” Author: halo readers, jangan lupa tap love dan follow ya, salam sayang miss cherrii *****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD