Awan yang mendengar itu dan akan masuk ke ruang makan, memutar balik langkahnya, kembali berjalan masuk ke kamar. Padahal niatnya ia ingin menyusul Aluna ke sana, tapi ia batalkan.
Hah!
Awan menghempas tubuhnya keras ke tepi ranjang. Rasa-rasanya sudah beberapa kali ini dia kecewa, dikecewakan oleh Aluna. Dari pernikahan kontrak dan motif mengadakan pernikahan kontrak ini. Aluna yang dulu menurutnya polos kini sudah berubah tidak seperti dulu lagi. Berpisah dalam waktu lama membuatnya jadi tidak mengenal wanita itu lagi.
"Aluna, aku tidak sangka saja kamu benar-benar berhati dingin. Apa yang salah denganku, kenapa aku bisa menyukaimu?"
Awan kemudian berebah beberapa saat setelahnya. Rasanya nafsu makannya hilang seketika dalam sekejap. Kini ia tak merasa lapar. Lebih baik dia tidur saja.
"Permisi, Pak Awan." Suara pelayan di depan pintu memanggil, kembali mengetuk pintu.
Awan yang ada di dalam hanya memutar badan menatap pintu yang tertutup. Tapi ia enggan turun dari ranjang. Masih malas bila harus menghadapi Aluna nantinya.
"Pak Awan, Nona Aluna memanggil, meminta Anda datang ke ruang makan untuk makan malam."
Aluna ... bahkan kamu saja menyuruh pelayan untuk datang memanggilku. Kamu makan sendiri saja dengan ibumu.
Awan masih diam menatap pintu yang tertutup. Jika dia jawab, pasti pelayan ini akan mendesaknya untuk keluar dari kamar. Jadi ia diamkan saja.
Karena tak ada balasan, maka pelayan pergi dari sana, kembali ke ruang makan.
"Sudah kamu panggil, Awan?"
"Maaf, Non. Pak awan tidak menjawab, sepertinya beliau sudah tidur."
"Jam segini sudah tidur? Ya sudah biarkan saja." Pelayan pergi setelahnya.
"Kamu saja yang bangunkan Awan, Aluna."
"Tidak perlu, Bu. Biar saja dia tidur. Mungkin dia lelah."
"Lelah kenapa? Bukannya dia tak sesibuk dirimu?"
"Sudah Bu, biar saja." Aluna malah lanjutkan mengobrol dengan Elga sampai beberapa saat lamanya barulah dia kembali ke kamar.
Terdengar suara tuas pintu ditarik setelah sebuah suara langkah berhenti di depan pintu.
Dari dalam, Awan kembali menatap ke arah pintu. Dia sejak tadi memang belum tidur.
Siapa yang datang kini kira-kira? Pelayan atau Aluna?Siapapun itu, aku harus pura-pura tidur.
Tepat di saat pintu terbuka, Awan sudah memejam mata kembali dengan posisi miring ke kanan.
"Awan, kamu sudah tidur rupanya. Padahal kamu belum makan. Jika aku paksa bangun takutnya kamu marah. Tapi bila tidak makan, nanti kamu sakit." Aluna berhenti sejenak menatap Awan yang tengah tertidur.
Agak lama dia menatap pria yang tergolek lemah di ranjang ini. Menurutnya pria ini meski ada sedikit perubahan tapi tetap terlihat menawan seperti yang dia lihat dulu.
Astaga! Apa yang aku pikirkan barusan tentangmu? Aku pasti gila!
Aluna tak mau menatap lebih lama lagi. Dikhawatirkan, dia akan berpikiran aneh-aneh lagi pada pria ini.
Ia seret langkah kaki menuju ke lemari baju. Sejak tadi, dia memang belum ganti baju.
Terdengar suara pintu lemari dibuka, membuat hati Awan berderit mendengarnya.
Apa yang dilakukan Aluna?
Pelan sekali, Awan membuka mata. Sungguh, dia Penasaran sekali melihat apa yang dilakukan Aluna kini. Bola matanya sampai hampir lepas dari tempatnya. Jakunnya naik-turun melihat punggung Aluna yang kini polos tanpa sehelai benang pun. Terlihat kulit Aluna yang seperti porselen, mengkilap juga putih bersinar.
Aluna ... kamu membangkitkan kelelakianku.
Tubuh Awan terasa panas-dingin, melihat lekuk tubuh Aluna yang kemudian berhenti di bagian pinggang. Dia tak sanggup lagi melihat, takut kalap dan memejam mata kembali, mencoba menahan sesuatu yang telah bangkit dari dirinya.
Aluna selesai ganti baju. Dia naik ke ranjang. Tatapannya terkunci pada Awan.
"Aneh sekali, dia berkeringat di malam hari begini. Suhu di kamar juga dingin, tidak panas. Ada apa dengannya?"
Aluna yang mau berebah kembali menatap Awan, bergeser mendekat untuk memeriksanya sendiri. Posisinya kini persis berada di samping Awan. Ia melambaikan tangan untuk menyentuh dahi Awan.
"Tidak panas. Suhu tubuhnya normal. Lalu kenapa dia berkeringat? Atau jangan-jangan dia punya kelainan jantung?" Aluna kemudian menggeser tangannya ke d**a kiri Awan, namun ia merasa kurang jelas mendengar detak jantung itu.
Aluna yang berada di samping Awan, kemudian bergeser naik ke tubuh Awan. Dia lantas menempelkan telinga pada d**a kiri Awan. Bisa didengarkan sekarang detak jantung itu menghentak cepat sekali.
Aluna, apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak punya kelainan jantung apapun. Bagaimana degup jantungku tidak semakin cepat bila kamu berada di atas tubuhku begini? Turun lah sebelum aku kelepasan.
Aluna melihat keringat yang meleleh dari pelipis Awan semakin banyak. Membuatnya mengusap keringat itu. Dia menyangga tubuhnya dengan satu tangan yang kemudian terjatuh lagi membentur tubuh Awan.
Akh!
Awan kini membuka mata setelah merasakan nyeri di d**a.
"Aluna, ada apa kamu ada di atas tubuhku?" Sontak, Aluna bingung mencari alasan. Pasti Awan salah paham padanya.
Aluna membeku di tempat menatap Awan dengan pipinya yang bersemu merah. Mata mereka beradu sekarang. Sumpah, baru kali ini Aluna tercekat.
"Awan ... ini salah paham. Aku hanya menyeka keringatmu saja. Aku pikir kamu sakit." Aluna salah tingkah, kemudian segera turun dari tubuh Awan.
Ia lantas segera berbaring memunggungi Awan, tak berani menatapnya lagi. Ia juga tak lagi bicara.
Bodoh! Awan pasti mengiraku mau mengambil keuntungan darinya. Kenapa aku sial sekali hari ini?"
Awan hanya menatap punggung Aluna yang kini terdiam tanpa suara. Jujur, dia rasanya masih spot jantung dengan aksi mendadak Aluna yang naik ke atas tubuhnya hanya untuk mengusap keringatnya.
Aluna ... kamu membuatku kesal. Tapi baru saja kamu membuatku berdebar.
Awan masih menatap intens punggung Aluna hingga dia pun tertidur setelahnya.
Pagi hari, kala Awan terbangun dia mendapati dirinya tidur sendiri di ranjang besar ini.
"Aluna sudah pergi?" Awan beringsut duduk. Ditatapnya jam dinding. Waktu menunjukkan masih pukul 06.30 pagi.
Ia pun memilih untuk keluar dari kamar dan membersihkan diri di kamar mandi.
"Ruang makan kosong. Apa benar Aluna sudah pergi?" Awan sepintas melihat saat melewatinya. Bahkan pelayan yang biasa ada di ruang makan juga tak terlihat di sana.
Ia pun segera masuk ke kamar mandi daripada terus bertanya namun tak mendapatkan jawaban.
"Pak Awan, Nona Aluna berpesan agar Anda sarapan setengah jam lagi." Pelayan menyapa Awan yang baru saja keluar dari kamar mandi sudah berpakaian, lengkap dengan rambut basahnya. Sarapan untuk Awan disesuaikan dengan jam Awan yang tidak buru-buru berangkat kerja, lebih siang dari jam makan Aluna.
"Aluna ada di ruang makan sekarang?"
"Tidak, Pak. Nona sudah pergi setengah jam yang lalu." Rupanya Awan salah sangka. Ia pikir Aluna menunggunya untuk sarapan pagi bersama. Nyatanya ia kembali sarapan sendiri. Dingin!
"Bagaimana dengan ibu?"
"Nyonya Elga baru saja keluar ada acara dengan temannya." Bahkan mertuanya juga tak menemani. Rasanya sungguh sepi sekali di sini dan semua orang sibuk sendiri dengan urusan mereka masing-masing.
"Ya, baik. Terima kasih," balasnya meski kembali kecewa. Padahal dia sudah luluh dengan sikap Aluna semalam. Tapi meninggalkan sarapan lagi membuat hatinya mencelos kembali.
Pelayan pergi bersamaan dengan perginya Awan yang masuk ke kamar.
"Aku tak nafsu sarapan sekarang ini. Lebih baik aku berangkat saja dan sarapan di toko." Awan hanya mengambil jaket beserta kunci motor saat pergi.
Karena tak ada siapapun di rumah selain pelayan yang bisa ia pamiti, maka Awan pun melenggang pergi begitu saja.
"Pak Awan kemana, kok tidak ada di ruang makan?"
Pelayan bukannya kepo Awan sudah makan apa belum. Ia melintas di ruang makan untuk memeriksanya apakah sudah disantap sarapan pagi yang dia sajikan sepuluh menit yang lalu? Selain itu memang Aluna menugaskan untuk memeriksanya.
"Kemana ya, Pak Awan? Kamu tahu?" Pelayan bertanya pada pelayan lain yang kebetulan lewat.
"Pak Awan keluar dari rumah beberapa menit yang lalu."
"Apa? Astaga! Semoga saja Nona Aluna tidak marah padaku nanti."