Eps. 12 Menyusul Awan

1240 Words
Awan tiba di toko bukunya. Ia memarkir motor sport hitam miliknya lalu membuka toko. Tentu saja kantin di dalam juga belum buka karena masih kepagian. Tapi saat ini perutnya sudah lapar. "Coba aku periksa di kulkas ada apa?" Awan masuk ke ruang kerjanya. Di ruang kerja itu ada lemari es. Di dalamnya ada stok minuman dan makanan instan. Awan sendiri yang menyetok kue kering, sereal, s**u dan makanan ringan lain untuk kondisi darurat seperti ini. Ia mengambil sebungkus roti kering dari sana, lalu membuka kemasan dan mulai memakannya sembari duduk di kursi kerja. Sembari makan, ia mulai menyalakan laptop. "Saatnya bekerja." Awan membuka drawyer di depannya, mengeluarkan dokumen dari sana. Ia lantas mulai bekerja memeriksa laporan di kantor. Terdengar suara ketukan pintu. "Masuk." Setelahnya pintu dibuka. "Pagi, Pak Awan." Seorang pria dengan memakai jas hitam masuk ke ruangan. "Ya, ada apa tiba-tiba datang kemari?" "Tuan besar yang memintaku datang kemari, mengirimkan ini." Pria rapi itu menyerahkan berkas. "Duduklah dulu Aldi. Biar ku periksa dulu laporan ini." Aldi duduk, seperti yang Awan pinta. Sementara Awan mulai memeriksa laporan tadi. Aldi sendiri adalah sekretaris Awan di kantor. Memang cukup repot menjadi sekretaris Awan. Dia harus pontang-panting dari kantor ke toko buku seperti ini berulang kali. Tapi sudah beberapa tahun dia seperti ini dan tak mengeluh sama sekali. Meski dibilang lelah, tapi dia menyukai pekerjaannya. "Pak Awan, kapan Anda akan pindah ke kantor? Ruangan Anda sudah kosong beberapa bulan ini." "Besok mungkin." "Serius, Pak?" "Apakah aku terlihat bercanda?" Aldi diam tak bertanya lagi menunggu Awan menyerahkan berkasnya kembali. Awan membubuhkan tanda tangan pada dokumen itu. Butuh waktu baginya untuk membubuhkan stempel di sana. "Ini, kamu bawa kembali dokumennya." Awan menyerahkan dokumen tadi pada Aldi. "Pak, ikut kembali ke kantor tidak?" ungkap pria yang mengenakan cincin polos di jari manis kanan sembari mengambil dokumen tadi. "Tidak. Bila tak ada lagi tugas, serahkan itu segera pada ayah." Aldi tak berkata lagi. Muka Awan memang tidak menyeramkan, tapi cukup mampu membuat Aldi pergi dari sana dengan secepat kilat. Sore hari. Aluna pulang dari kantor. Seharian ini dia sibuk sekali di sana. Persiapan untuk serah terima jabatan. Berbagai hal sudah dipersiapkan sebelum acara serah terima dilaksanakan besok. Meski Niam sendiri sudah menyerahkan jabatannya pada Aluna, tapi resminya belum. Bahkan Niam pun masih ada di kantor dan belum pindah dari ruangannya. Tapi Christin sudah membersihkan ruangan Aluna. Semua barang nya sudah masuk boks, tinggal bawa saja ke ruangan Direktur Utama yang kini kosong ditinggalkan oleh pemiliknya. "Ibu, aku pulang." Aluna masuk, lalu membanting tubuhnya pada sofa yang ada di ruang tengah. "Nyonya belum pulang, Nona," jawab pelayan yang kebetulan ada di dekat Aluna. "Sejak pagi tadi?" "Ya, Nona." Aluna tak bertanya lagi. Elga meski tidak mengurus kantor, tapi dia aktif di LSM. Seringnya setelah dari sana, dia keluar dengan teman-temannya. Kadang juga ada acara keluarga. Aluna menjelajahkan pandangan ke sekitar. Rasanya ada yang kurang. Barulah ia ingat pada Awan. "Awan sudah pulang?" Seingatnya saat masuk tadi tak terlihat motor sport di depan. "Belum, Nona." Aluna mengangkat sebelah alisnya setelah menatap jam yang ada di dinding lagi. Dia baru saja pulang lembur. Waktu saat ini menunjukkan pukul 17.00. Harusnya Awan sudah pulang seperti sebelumnya. Toko bukunya tidak buka sampai malam bukan? Sial! Aluna bahkan tidak tahu jam buka maupun jam jam tutup toko itu. Mungkinkah itu Awan buka toko sampai malam? "Tadi pagi Pak Awan juga tidak menyentuh sarapan pagi, Nona." "Kamu yakin? Ada apa dia tidak menyentuh sarapannya? Apa tidak cocok menunya?" "Maaf, kurang paham, Nona. Beliau bahkan tak masuk ke ruang makan. Menu itu dilihatnya saja tidak." "Bagaimana kamu, padahal aku sudah bilang untuk memintanya sarapan tapi kamu membiarkannya pergi." "Maaf, Nona." Pelayan menunduk, takut bila Aluna marah padanya. Ia menunggu perintah namun tak ada perintah lanjutan, maka dia pun pergi dari sana. Aluna kemudian berjalan dengan malas masuk ke kamar. Ia taruh tas ke meja. Tubuhnya terasa berat, ia pakai berebah. Sejenak, ia bisa menghirup aroma parfum Awan yang tertinggal di sana. Aroma itu tertinggal di mana-mana. Di bantal, di seprai. Entah, di mana lagi, aroma Awan seperti memenuhi ruangan. Terlebih kala Aluna miring ke kiri menatap bantal kosong Awan. "Sial! Kenapa aku jadi teringat padanya? Dia hanya suami kontrak saja bagiku. Terserah dia mau apa sekarang. Itu bukan urusanku." Aluna coba untuk menepis bayangan Awan yang kembali muncul dalam benak. Betapa ia teringat pria itu bertelanjang d**a setiap malamnya. Ia pun jadi teringat kejadian semalam dia duduk di atas tubuh Awan. "Sial! Kenapa aku teringat pada kejadian itu lagi?" Aluna kembali menepis bayangan Awan yang kini mulai hadir mengisi hati. Sampai dua jam ke depan, di jam makan malam, Awan tak kunjung datang ke rumah. "Dimana suamimu?" tanya Elga di ruang tengah. "Entah, Ibu. Aku juga tidak tahu. Mungkin dia masih di toko buku." "Kamu yakin dia ada di toko?" Aluna menggeleng. Elga kembali bertanya yang terdengar seperti mendesak. Membuat Aluna terpaksa mengeluarkan ponsel kemudian menghubungi nomor Awan. Nomornya tidak aktif, setelah Aluna hubungi dua kali. Entah, ini membuat Aluna resah, berpikir bila Awan marah karena kejadian semalam. Terpaksa ia mengambil kunci mobil lalu mengendara menuju ke toko Awan. "Tokonya memang buka." Di depan sana, pintu toko masih terbuka. Lampu di sana juga masih terang menyala. Aluna turun dari mobil. "Permisi, Awan ada?" Aluna menemui pelayan toko wanita di sini. "Pak Awan sudah pulang sejak sore tadi. Apa ada sesuatu atau bagaimana, Nona?" Bila Awan sudah pulang harusnya dia ada di rumah ketika Aluna datang tadi. Tapi buktinya Awan tak ada. "Tahu kemana dia pergi?" "Maaf, saya kurang tahu, Nona." Aluna tak bertanya lagi kemudian pergi dari toko buku. Ia tak tahu lagi di mana harus mencari Awan bila tak ada di toko buku. "Kemana dia pergi sebenarnya? Lalu kenapa ponsel juga dinonaktifkan?" Aluna masih tak habis pikir dan meraba-raba, kira-kira kenapa Awan pergi tanpa pamit dengan ponsel tak aktif? Ini membuat kepala terasa pusing berdenyut sekarang! Aluna kembali duduk di mobil. Dia melihat ke sekitar jalanan yang dia lewati. Barangkali saja Awan ada di sekitar jalanan ini. Dengan sorot lampu sein, ia mencari Awan. Berharap menemukan pria itu. "Dia tak ada di sini. Lebih baik aku pulang saja." Aluna lelah mencari setelah satu jam lebih berada di jalanan mencari dan tak kunjung ada hasil. Ia kembali melaju mobil menuju ke rumah. Entah, dimana Awan? Ini masih misteri! "Bagaimana, apa dia sudah pergi?" Awan keluar dari ruangan kerja yang ada di toko buku, menghampiri pelayan toko sejam. Kemudian. Awan bukan pulang ke rumah, sejak tadi dia memang masih berada di toko buku ini. Dia juga berpesan bila Aluna datang mencarinya, untuk bilang tidak tahu saja. Ia tak mau bertemu dengan wanita itu saat ini. "Istri Bapak sudah pergi." Pelayan tahu status mereka. Awan yang memberitahu beberapa waktu yang lalu. Itu karena dia teramat sangat senang sampai membagi berita bahagia tersebut pada pelayan. Mungkin bila bisa ia akan beritahu seluruh dunia pernikahan ini. Tak tahu kalau ternyata hanya menikah kontrak saja. "Sudah, Pak. Istri Bapak terlihat resah mencari Anda." "Apa kamu yakin dengan ucapanmu?" "Ya, Pak. Istri Bapak terlihat kecewa saat saya memberitahu bila Bapak sudah pulang sejak sore tadi." Awan hanya mengangguk saja merespons. Setelah kepergian pelayan toko, Awan kembali ke ruang kerja untuk mengambil kunci motor. Toko sebentar lagi tutup. Biar pelayan yang nanti menutup. "Aluna, apa benar kamu resah mencariku? Aku tidak salah dengar bukan?" Jujur, Awan masih marah karena hanya dimanfaatkan saja oleh Aluna di sini. Tapi baru saja, cerita dari pelayan mengikis rasa marah itu. "Aluna. Kuharap kamu masih peduli padaku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD