Tiga hari setelah malam itu, Ayla berdiri di depan gerbang besi tinggi berukir lambang keluarga Arthens—sebuah huruf A besar yang dibalut ukiran daun laurel, kokoh dan dingin. Tak ada suara dari dalam, tak juga suara burung atau hembusan angin. Semuanya terasa... terlalu tenang. Seperti rumah ini sudah lama tak ada kehangatan.
Leo tertidur di gendongannya, tubuh kecil itu hangat menempel di d**a. Ayla bisa mendengar napasnya, teratur dan lembut. Sedangkan Rayan berdiri di sampingnya, mengenakan kemeja putih yang digulung di lengan dan celana panjang gelap. Wajahnya tegas seperti biasa, tapi kali ini sorot matanya lebih seperti manusia.
“Ayla... Terima kasih sudah menerima tawaranku. Dan... Terima kasih juga sudah bersedia untuk memberi kehidupan yang dibutuhkan oleh Leo,” kata Rayan. Suara pria itu cukup lembut, berbeda dengan sebelumnya.
Ayla tersenyum. “Aku butuh uang, dan kamu butuh aku untuk menjaga dan menyusui Leo. Itu sudah cukup menjadi alasan aku menerima tawaranmu, Rayan. Jadi, tidak usah berterima kasih begitu. Kita saling membutuhkan.”
Ada sedikit senyuman tertampil di sudut bibir Rayan, dan pria itu mengangguk. “Silakan masuk,” katanya singkat, menekan tombol di samping gerbang. Gerbang pun terbuka perlahan dengan dengung pelan.
Ayla melangkah masuk. Jalan setapak menuju rumah utama dilapisi batu alam, diapit taman rapi yang terlalu sempurna—seperti dipaksa tumbuh. Rumah itu besar dan megah, dinding kaca tinggi, tiang-tiang putih menjulang, dan pintu kayu gelap dengan ukiran rumit seperti menghias. Tapi terasa begitu sepi di sana. Semua terlalu steril.
Pintu pun dibukakan oleh seorang wanita paruh baya berseragam pelayan, wajahnya ramah namun kaku, seolah dilatih seperti itu sejak awal. “Selamat datang, Bu Ayla. Saya Hana, kepala pengurus rumah ini.”
Ayla mengangguk kecil. “Terima kasih. Tapi, panggil saja aku Ayla.”
Wanita bernama Hana itu hanya tersenyum tipis. “Ruangan Anda sudah disiapkan di sayap timur, dekat kamar bayi. Kami juga sudah menyiapkan semua kebutuhan anda di sana.”
Ayla mengangguk lagi, sedikit gugup. Seolah rumah ini akan menelannya bulat-bulat jika ia tidak hati-hati. Tapi kemudian Leo bergerak pelan di pelukannya, dan rasa takut itu berubah menjadi kewajiban yang lebih besar. Ia sadar bahwa ia ada di sini bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk ‘bekerja’ sebagai pengasuh Leo dan Ibu s**u untuk bayi itu.
Rayan mengarahkan langkah ke tangga. “Ikut aku. Aku ingin menunjukkan sesuatu.”
Ayla menatapnya sejenak, lalu mengikutinya. Mereka menaiki anak tangga lebar yang dilapisi permadani tebal, berbelok ke lorong panjang dengan jendela besar di satu sisi. Cahaya sore masuk, menerpa lantai kayu mengilap yang nyaris tanpa debu. Semua terlalu bersih. Bahkan sangat bersih. Tidak seperti rumah kostnya.
Mereka berhenti di depan sebuah ruangan. Dan Rayan membuka pintu pelan.
“Ini kamar Leo.”
Ayla melangkah masuk. Ruangan itu penuh warna pastel—dinding biru pucat, perabot bayi putih bersih, dan boneka-boneka kecil di rak tinggi. Tapi ada sesuatu yang aneh.
Di sana, Ayla bahkan tidak mencium aroma bayi.
Tidak ada bekas tinggal Leo. Tidak ada baju berantakan, tidak ada selimut tergeletak.
“Apa kamar ini sengaja dibuat untuk pameran peralatan bayi?” tanya Ayla.
Rayan mengerutkan dahi. “Apa maksud kamu?”
Ayla berdiri di tengah ruangan, menatap ranjang bayi yang masih mulus, bersih, bahkan tidak ada noda s**u sama sekali, dia pun langsung berbisik, “Kamu belum pernah tidur di sini, ya, Leo?”
Rayan yang akhirnya mengerti maksud dari pertanyaan sindiran Ayla pun memilih tidak menjawab. Tapi itu cukup jadi konfirmasi.
Ayla pun menoleh padanya.
“Jadi sebenarnya Leo tinggal di kamar siapa?”
“Di kamarku,” jawab Rayan. “Sejak pulang dari rumah sakit, aku belum pernah meninggalkan dia sendirian.”
“Apa stok ASIP yang kuberikan sudah habis?” tanya Ayla.
Rayan mengangguk. “Habis. Bahkan tidak tersisa sedikit pun. Maka dari itu aku menghubungimu.”
Ada sesuatu dalam suara itu. Rasa bersalah, mungkin. Atau rasa takut yang belum sempat ia akui. Ayla bisa memahami itu.
“Aku akan tinggal di sini kalau kamu yakin Leo siap dipisahkan dari kamu,” kata Ayla pelan.
Rayan menatapnya lama. “Dia bisa tenang saat bersamamu. Itu cukup jadi alasan untuk percaya padamu.”
Ayla diam. Ucapan itu terasa berat. Terlalu besar. Tapi saat Leo menggeliat pelan di dadanya dan menguap kecil, Ayla tahu—ia tidak boleh mundur demi bayi kecil tak berdosa ini yang sangat membutuhkannya.
Hanya berselang beberapa menit, Hana datang membawa dua koper kecil milik Ayla. Ia meletakkannya di sudut kamar. “Kamar anda ada di samping. Kalau butuh apa pun, tinggal tekan bel saja.”
“Terima kasih, Mbak Hana,” ujar Ayla.
Hana tersenyum, lalu keluar. Rayan masih berdiri di ambang pintu sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
“Ayla... Sepertinya aku harus kembali ke kantor. Ada rapat penting yang harus aku hadiri sore ini.” Ia ragu sejenak, lalu menambahkan, “Tapi aku akan pulang malam ini. Kalau ada yang darurat, hubungi aku segera.”
Ayla mengangguk. “Baik, Rayan.”
Setelah itu, Rayan pergi, dan untuk pertama kalinya, Ayla sendirian di rumah itu. Sendirian... bersama Leo.
Ia menatap wajah kecil itu yang masih tertidur. Ada kedamaian di sana yang tidak ia temukan di tempat lain. Dengan hati-hati, ia membaringkan Leo di atas ranjang bayi, lalu duduk di kursi goyang di sebelahnya.
Ruang itu masih sepi. Tapi kali ini, kesepian itu tak lagi terasa menakutkan.
Ayla bersandar, memeluk dirinya sendiri pelan. “Mungkin, di tempat asing ini, di rumah yang terlalu besar dan terlalu dingin ini... Aku akan berhasil berdamai dengan keadaan, meskipun perjalanannya mungkin nggak semudah yang dibayangkan. Benarkan, Leo?”
Bayi yang sedang tertidur itu tiba-tiba tersenyum dalam mimpinya, seperti memberi jawaban kepada Ayla.
Sementara di sisi lain, Rayan berjalan ke halaman parkir lalu masuk ke dalam mobil. Pria itu menarik sun visor untuk menutupi sinar matahari sore, hingga selembar foto tiba-tiba jatuh ke pangkuannya.
Rayan tidak langsung mengambilnya. Dia terdiam sejenak memandangi foto tersebut. Foto sepasang pengantin yang terlihat begitu bahagia dengan senyuman lebar.
Namun, tanpa terduga, pria itu malah merobek foto tersebut menjadi kepingan kecil, dan membuangnya keluar hingga terbang terbawa angin cukup jauh.
Raut wajah Rayan pun berubah tanpa ekspresi, sebelum akhirnya melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
***