Orang Asing dan Seorang Bayi

1179 Words
Tangis itu berhenti. Bukan perlahan, bukan berkurang—tapi benar-benar berhenti, seperti lilin yang padam dalam sekali tiup. Ruangan itu, yang sejak tadi penuh suara isak bayi, kini sunyi. Hening yang asing, sekaligus… melegakan. Tubuh mungil yang tadi menggeliat gelisah, menendang dan meronta dalam pelukan siapa pun yang mencoba menenangkannya, kini terdiam dalam dekapan Ayla. Begitu tenang dan nyenyak. Tangan kecil Leo menggenggam kain baju Ayla yang sudah basah di bagian d**a. Napasnya pendek-pendek saat menyusu, tetapi teratur. Mata kecilnya terpejam, pipinya menempel di kulit Ayla, mencari kehangatan yang baru saja ditemukannya kembali. Ayla tidak berani bergerak. Hatinya berdetak terlalu kencang untuk ukuran seseorang yang seharusnya hanya menjadi pendonor ASI. Ia bahkan belum sepenuhnya sadar bagaimana tubuhnya bisa begitu sigap menerima bayi ini, padahal bayinya baru saja meninggal. Mungkin karena insting. Mungkin karena luka. Atau karena dua-duanya adalah bagian dari dirinya yang belum selesai berduka. Air matanya menetes diam-diam, jatuh ke rambut tipis Leo. Masih tercium wangi bedak bayi. Masih terasa hangat yang sama, seperti ketika ia menggendong putranya—yang bahkan belum sempat ia beri nama. Hanya dua puluh tiga jam setelah lahir prematur, bayinya pergi. Ia tidak menangis, tidak membuka mata. Hanya diam, seperti tahu dunia ini terlalu berat untuknya sehingga memilih kembali pada Sang Pencipta. Dan sekarang, di d**a Ayla, ada bayi lain. Bayi orang lain yang sangat membutuhkan ASI-nya. Tapi tubuhnya... tubuhnya tidak membedakan. ASI-nya tetap mengalir sangat deras, jiwa keibuannya pun tetap menyala. Ia tak bisa menolak. Bahkan jika ia mau, bagian dalam dirinya sudah terlanjur merespons tangisan Leo seperti kepada bayinya sendiri. Dari sudut ruangan, suara langkah pelan mendekat. Ayla tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Pria itu. Rayan. Namanya baru ia dengar lima menit lalu dari suster yang menjemputnya dari ruang tunggu. “Ayah bayi itu menunggu di dalam,” kata suster itu singkat. Tapi sekarang ia tahu, pria itu bukan ayahnya. Ia pamannya. Di telinga Ayla masih terngiang suara lirih pria itu saat menyerahkan Leo kepadanya. Penuh keputusasaan, dan kebingungan. Suara itu... dingin, tapi bukan karena tidak peduli. Lebih seperti orang yang sudah terlalu lama menahan diri untuk tidak hancur. “Dia tidak pernah setenang ini,” suara itu terdengar lagi, lebih dekat sekarang. Ayla akhirnya menoleh perlahan. Mata mereka pun bertemu. Rayan Arthens. Usianya mungkin awal tiga puluhan. Tingginya menjulang, setelan jas hitam yang mahal menempel pada tubuh atletisnya dengan sempurna. Tapi semua itu tak bisa menyembunyikan kantung mata yang membengkak, kerutan di dahi yang terlalu dalam untuk pria seusianya, dan tangan yang mengepal terlalu erat di sisi tubuhnya. Jelas sekali kesedihannya begitu dalam. Sama seperti Ayla. “Terima kasih,” katanya. Singkat. Datar. Tapi ada sesuatu di balik dua kata itu—sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. Ayla tidak menjawab. Ia belum siap bicara. Tenggorokannya seperti terkunci. Beberapa saat mereka hanya diam. Leo terlelap dalam dekapan Ayla, napasnya lembut dan tenang. Sesekali tubuh kecilnya bergerak, tapi tidak menangis meraung-raung lagi, tidak rewel lagi. Ayla membenarkan posisi kepala Leo agar lebih nyaman. Gerakannya lembut, seperti seseorang yang sudah terbiasa melakukannya. Kepalanya berdenyut. Ia merasa bersalah. Karena ada bagian dalam dirinya yang merasakan kenyamanan. Padahal ia seharusnya masih berduka. “Aku belum tahu namamu,” kata Rayan akhirnya, sedikit ragu. “Ayla,” jawabnya pelan. “Ayla Radipta.” Rayan mengangguk. “Terima kasih, Ayla.” Ia mengatakannya lagi. Kali ini lebih pelan. “Aku... baru kehilangan anakku kemarin,” Ayla akhirnya bicara, suaranya nyaris tak terdengar. “Anakku lahir prematur. Dan dia... tidak bisa bertahan.” Rayan menunduk. “Maaf. Aku tidak tahu tentang itu. Rumah sakit hanya bilang kamu pendonor ASI sementara.” “Memang begitu.” Ayla menatap Leo. “Aku pikir... mungkin kalau aku bisa membantu bayi lain, itu akan membuat aku merasa... sedikit lebih baik.” Kebohongan kecil. Ia tidak tahu apakah bisa merasa lebih baik. Tapi setidaknya ia merasa berguna. Itu cukup untuk malam ini. Rayan menatapnya lama, seperti mencoba membaca isi kepalanya. Tapi Ayla tidak berpaling. Ia tidak punya energi untuk pura-pura kuat atau sopan. “Leo... keponakanku,” ujar Rayan. “Orangtuanya meninggal dua hari lalu dalam insiden kecelakaan mobil. Mereka baru pindah ke luar kota. Aku bahkan belum sempat menjenguk mereka sejak Leo lahir. Tapi sekarang—” Ia berhenti bicara. Matanya memerah. Ia menoleh, seolah tidak ingin Ayla melihatnya dalam keadaan hancur dan rapuh. “Dia alergi s**u sapi. Aku, Ibuku, dan Ayahku sudah coba memberinya s**u soya, bahkan s**u formula khusus. Tapi dia menolak semuanya. Dokter bilang tubuhnya sudah dehidrasi. Kalau hari ini tak ada perubahan, kondisinya bisa kritis.” Ayla mengangguk pelan. “Tubuh bayi tahu siapa yang memberinya rasa aman. Mungkin karena tubuhku masih hangat, atau mungkin dia ingat... wangi ibunya.” Rayan menggenggam tangannya, keras. “Aku... tidak bisa kehilangan dia juga.” Ayla diam. Ia tahu rasa itu. Ketakutan akan kehilangan yang datang lagi sebelum luka lama sempat sembuh. “Aku tidak tahu berapa lama aku sanggup membantumu,” katanya jujur. “Aku bahkan belum pulih sepenuhnya. Tapi... kalau tubuhku masih bisa memberinya apa yang dia butuhkan, aku akan lakukan.” Rayan menatapnya. Kali ini lebih lama. Lebih dalam. “Kamu tinggal di mana?” tanyanya tiba-tiba. Ayla agak kaget. “Di rumah kost kecil dekat tempatku bekerja. Kenapa?” “Aku ingin kamu tinggal di rumah kami untuk sementara. Bersama Leo,” katanya tenang. “Agar kamu bisa menyusui secara rutin. Aku akan siapkan ruang dan perawat pribadi untukmu, kalau kamu mau. Keamanan dijamin. Gaji juga akan sangat layak. Bahkan aku akan menawarkan bayaran yang jauh lebih besar dari gajimu di tempatmu bekerja.” Ayla menahan napas. Tawaran itu terlalu mendadak. Terlalu besar. Ia bahkan belum mengenalnya. Bahkan belum tahu seperti apa rumah yang dimaksud. Ia hanya tahu satu hal—bayi ini... membutuhkan dia. Dan mungkin, ia pun membutuhkan bayi ini untuk tetap merasa hidup. “Aku akan pikirkan tawaranmu,” katanya akhirnya. “Tapi malam ini... izinkan aku tetap di sini bersamanya.” “Baiklah,” Rayan mengangguk. “Aku akan minta suster menyiapkan tempat istirahat untukmu di ruang perawatan Leo. Aku akan titipkan nomorku padanya. Kalau kamu butuh apa-apa... hubungi aku langsung.” Ayla mengangguk singkat. Ia pun menunduk, mencium ubun-ubun Leo dengan hati yang mulai hangat walau masih penuh retakan. Setelah beberapa saat, Rayan berjalan ke arah pintu. Tapi sebelum keluar, ia berhenti sejenak. “Kalau kamu butuh waktu sendiri... aku bisa suruh mereka kosongkan ruangan ini malam ini.” Ayla mengangkat wajah. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi manusiawi dari pria yang sejak tadi begitu dingin. “Terima kasih, Pak Rayan.” “Panggil aku Rayan,” katanya pelan. “Sepertinya usia kita pun tidak beda jauh.” Setelah itu, ia pergi. Menutup pintu dengan pelan. Dan Ayla, untuk pertama kalinya dalam dua hari terakhir, memejamkan mata—bukan untuk tidur, tapi untuk merasakan sensasi ini. Ia tidak tahu besok akan seperti apa. Ia belum siap memikirkan kemungkinan tinggal di rumah pria asing, atau membayangkan reaksi orang-orang. Tapi malam ini... ia merasa dibutuhkan. Dan itu, entah bagaimana, memberi harapan kecil yang belum berani ia sebut dengan nama. “Nak... Izinkan ibu membagi kasih sayang ini kepada Leo.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD