"Kamu kenapa, Ima?"
Terlihat raut khawatir Ibu saat mendapatiku berjalan sedikit terseok menuju meja makan pagi itu. Wajah tua itu tampak tulus, membantuku mencapai kursi lebih cepat.
"Ini juga mukamu kenapa? Ditampar? Sama siapa?"
Dulu, ketulusan Ibu yang membuatku menerimanya sebagai Ibu angkat. Tanpa mengetahui jika suami bahkan anaknya tega mengerjaiku seperti binatang. Meski begitu, aku menggeleng seraya tersenyum. Setidaknya sedikit melegakan hatinya yang selama ini sudah cukup membuatku merasakan kasih sayang layaknya Ibu kandung seutuhnya.
"Jatuh semalam, Bu. Pipinya kena lantai."
Di ujung kata aku tertawa, meski hambar namun cukup membuat Ibu tersenyum. Mungkin merasa lega. Lalu, ia berlalu kembali berkutat dengan masakan yang sedang dikerjakannya seperti biasa.
Rasanya, ingin kucurahkan semua mengenai hal yang selama ini terjadi. Tentang bagaimana suaminya bahkan Daniel yang terus saja menerorku beberapa waktu belakangan ini. Namun melihat bagaimana perempuan itu memperlakukanku, semua luapan itu menghilang begitu saja. Aku tak mampu jika harus menambah beban berat pada bahu rapuh itu.
"Ima, siang nanti banguni Bapakmu, ya? Itu disuruh Pak Haji Kadir bersihin musalla gang tujuh." Seraya berujar Ibu terus menyajikan hidangan di atas meja. Lengkap dengan empat piring seperti biasa.
Gelengan kepalaku ditangkap Ibu dengan raut heran, "kenapa?" tanyanya.
'Aku mau ikut Ibu aja. Kerja.'
Ibu menatapku dalam setelah gerakan isyarat yang kuberikan. Kemudian ia mendekat mengusap bahuku yang mulai terisak.
"Nggak boleh, Nak. Kamu tanggung jawab Ibu. Kamu cukup di rumah, nggak usah ikut Ibu."
Aku kembali menangis dengan gelengan kepala yang kulakukan berulang kali.
'Aku bisu, Bu. Tapi badanku sempurna!'
"Yaudah, jangan hari ini. Gimana kalo besok? Bisa, ya?"
Aku mengangguk antusias. Kemudian memeluk perempuan itu dengan sayang. Setidaknya, aku tak lagi-lagi harus tinggal bersama dua setan berwujud manusia itu di rumah ini jika Ibu tiada.
*****
Seperti malam-malam sebelumnya, mimpi jahat itu hadir lagi. Berhenti kala mataku terbuka lalu seolah dilanjutkan kembali saat mata kupejam. Aku heran, mimpiku seolah di bawah kendali seseorang. Di mana di alam bawah sadarku ada seseorang yang terus menggerayangi tubuh ini.
Berulang kali kucoba membalikkan badan ke sana kemari guna mengusir mimpi sialan itu, sayangnya ini mimpi hanya bunga tidur tapi terasa nyata sekali. Terlebih saat tubuhku mulai terasa dijamah seseorang.
Sialnya, entah mengapa mataku tiba-tiba merasakan kantuk yang luar biasa. Sehingga tak begitu mengingat lagi mimpi jahat tersebut.
****
'Lepas!'
Aku terus meronta, menendang apa saja yang aku bisa. Selain tak bisa bersuara, aku begitu kesusahan melihat keadaan sekeliling yang begitu gelap. Tanpa penerangan. Meski begitu, dapat kurasakan tubuhku sedang dikerjakan oleh seseorang, dengan posisi tangan dan kaki bahkan diikat pada sisi ranjang di mana aku berbaring. Menangis bukan lagi salah satu cara melepas diri, aku tak tahan. Muak dengan ini semua.
Kali ini, kubiarkan ia dengan pasrah memaksa diriku yang tak berdaya meski rasa sakit serta air mata tak bisa kutahan begitu saja. Karena suatu masa nanti, aku yakin bisa membalas mereka berdua.
Terlebih pria yang sedang memaksaku, Bapak. Ia akan kubalas bahkan melebihi ini.
Tunggu saja.