Malam sudah turun. Rumah besar keluarga Ludwig diselimuti cahaya lampu-lampu hangat yang memantul di dinding marmer. Aroma kopi sisa sore tadi masih samar di udara, bercampur dengan wangi kayu furnitur yang mengilap.
Di ruang belajar itu, Luna duduk di sofa dengan laptop terbuka. Kaca jendela besar di belakangnya memantulkan bayangan samar dirinya yang menunduk serius, mencoba fokus pada dokumen skripsi. Axel baru saja keluar, katanya hendak mengambil beberapa dokumen di kamarnya.
Kesempatan itu menciptakan keheningan yang jarang terjadi. Dan di keheningan itulah, Luna merasakan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
Ia mengangkat kepala pelan.
Di ujung ruangan, di depan rak buku tinggi yang memenuhi hampir separuh dinding, Hayes berdiri. Jemarinya tampak asal menelusuri punggung buku, seolah mencari sesuatu, tapi matanya jelas tidak benar-benar membaca. Tatapannya tertuju penuh pada Luna.
Bukan tatapan biasa.
Itu tatapan seseorang yang sedang menimbang, menahan diri, tapi juga tidak bisa mengalihkan pandangan.
Jantung Luna berdegup. Ia buru-buru kembali mengetik, meski jari-jarinya gemetar. Tapi sensasi itu tetap ada—seperti disentuh tanpa benar-benar tersentuh.
Kenapa dia menatapku seperti itu? Apa aku salah duduk? Atau … memang aku yang terlalu peka?
Belum sempat ia menenangkan diri, suara langkah Axel terdengar. “Pa, besok aku butuh tanda tangan buat surat izin penelitian, ya,” ujarnya sambil membawa map tebal.
Hayes baru berpaling, seolah baru sadar keberadaan anaknya. “Letakkan di meja kerjaku.” Suaranya tenang, kembali dingin. Lalu ia berjalan pergi tanpa sepatah kata pun untuk Luna.
Gadis itu menghela napas panjang, tangannya meremas kain rok di pahanya.
***
Hari-hari berikutnya, Luna semakin sering datang ke rumah Ludwig. Skripsi bersama Axel menuntut kerja intensif. Mau tidak mau, ia terperangkap pada rutinitas yang sama: laptop, catatan, diskusi panjang … dan tatapan itu.
Entah kebetulan atau tidak, Hayes selalu ada. Kadang ia sekadar melintas, kadang duduk sebentar membaca koran di ruang tamu, kadang muncul di dapur saat Luna mengambil minum.
Yang sama dari semuanya: tatapan itu.
Tatapan singkat, tapi menusuk. Seolah Hayes sedang mencari sesuatu di balik wajah Luna, seolah ia ingin tahu apa yang gadis itu sembunyikan.
“Kenapa kamu sering banget keliatan gugup, Na?” tanya Axel suatu sore sambil menutup laptop. “Padahal kita udah sahabatan lama.”
Luna tersentak, pura-pura tertawa. “Gugup? Enggak, ah. Mungkin cuma … capek aja.”
Axel mengangguk ringan. “Ya udah, jangan dipaksain. Kalau capek, ngomong aja. Kita bisa break kok.”
Luna mengangguk cepat, tapi dalam hatinya ia tahu: yang membuatnya gugup bukanlah skripsi, melainkan pria yang dua kali usianya itu—ayah dari sahabatnya sendiri.
***
Suatu malam, Luna hendak pulang lebih larut dari biasanya. Axel mengantarnya sampai pintu, tapi ia harus naik lagi untuk mengambil jaket yang tertinggal di kamar.
Luna menunggu di ruang tamu, menenteng tas selempang. Rumah besar itu terasa hening, sebagian lampu sudah diredupkan.
Tiba-tiba, perasaan itu kembali—seolah ada seseorang yang mengawasi.
Ia menoleh.
Di tangga menuju lantai atas, Hayes berdiri dalam gelap. Hanya sebagian wajahnya tertimpa cahaya lampu gantung. Garis rahangnya tegas, bayangan di bawah matanya menambah kesan misterius. Matanya tertuju lurus pada Luna, tenang tapi dalam.
Luna menelan ludah. “S-selamat malam, Tuan Ludwig,” ucapnya terbata.
Hayes hanya mengangguk tipis, tapi tidak langsung beranjak. Pandangannya bertahan terlalu lama, membuat napas Luna tercekat. Baru ketika Axel muncul lagi sambil mengancingkan jaket, Hayes melangkah naik, tanpa sepatah kata.
***
Malam itu, Luna susah tidur. Ia berbaring menatap langit-langit kamarnya, pikirannya berputar. Bayangan tatapan itu tak mau hilang.
Apa dia sengaja? Atau hanya kebetulan?
Kenapa rasanya … seolah ada sesuatu yang tidak terucapkan di balik caranya menatap?
Ia memejamkan mata, menutup wajah dengan bantal. “Luna, kamu harus waras. Dia ayahnya Axel. Jangan … jangan aneh-aneh,” bisiknya pada diri sendiri.
Tapi tubuhnya tidak sejalan dengan logika. Jantungnya tetap berdegup lebih cepat setiap kali bayangan Hayes muncul di kepalanya.
***
Beberapa hari kemudian, Axel memutuskan untuk mandi sebentar setelah sesi diskusi panjang. “Tinggal revisi tabel, habis itu kelar. Kamu tunggu bentar, ya. Aku mandi dulu, badan lengket banget,” katanya sambil membawa handuk.
Luna mengangguk, menyalakan laptop di ruang belajar. Ruangan terasa hening, hanya suara kipas angin langit-langit yang berputar lambat. Ia menunduk, fokus pada layar, mencoba menyingkirkan segala bayangan tentang tatapan itu.
Namun beberapa menit kemudian, suara berat itu terdengar dari arah belakang.
“Masih mengutak-atik data?”
Luna tersentak kecil. Ia menoleh—Hayes berdiri di dekat jendela besar, jasnya sudah dilepas, kemeja biru muda dengan lengan yang tergulung rapi menampakkan otot lengan yang kencang. Aura tenang tapi menekan.
“Eh … iya, Tuan,” jawab Luna cepat, berusaha tersenyum. “Saya sedang memperbaiki tabel metodologi.”
Hayes melangkah mendekat. Sepatunya menimbulkan bunyi lembut di lantai marmer, semakin dekat hingga akhirnya ia berhenti tepat di belakang kursi Luna.
“Boleh saya lihat?” tanyanya, nada suara rendah tapi tak memberi pilihan selain mengiyakan.
Luna menahan napas. “T-tentu … silakan.”
Hayes mencondongkan tubuh, kedua telapak tangannya bertumpu di sandaran kursi. Tubuhnya yang tinggi dan kokoh menciptakan bayangan, seolah mengurung Luna di kursinya. Nafas hangatnya menyentuh pelipis gadis itu.
Luna kaku, jari-jarinya terhenti di atas keyboard. “Ini … data surveinya, Tuan. Masih agak berantakan.”
Mata Hayes menelusuri layar. Suaranya terdengar tepat di telinga Luna. “Kamu salah meletakkan variabel di kolom ini. Harusnya dipindah ke sampel, bukan populasi. Kalau tidak, analisisnya bias.”
“Oh … begitu.” Luna buru-buru menggeser mouse, tapi jemarinya gemetar.
Hayes menunduk sedikit lebih dekat, jarak wajahnya hanya beberapa senti dari bahu Luna. “Tenang saja. Tarik napas dulu. Fokus. Jangan terburu-buru.”
Nada itu—bukan hanya instruksi akademis. Ada lapisan lain di balik kata-katanya, sesuatu yang membuat darah Luna berdesir.
“Baik, Tuan,” bisiknya lirih.
Hayes tidak segera mundur. Ia tetap di sana, matanya mengawasi layar, suaranya rendah seolah hanya untuk telinga Luna. “Sekarang coba perbaiki. Aku ingin lihat caramu menyelesaikan.”
Luna berusaha mengetik, tapi kesadarannya tidak lagi penuh pada angka-angka. Yang ia rasakan hanyalah kehadiran Hayes di belakangnya, begitu dekat, begitu mengurung. Setiap kali ia menarik napas, d**a dan punggungnya serasa ikut menegang.
Ketika akhirnya ia berhasil merapikan tabel itu, Hayes bergumam, “Bagus. Kamu cepat belajar.”
Luna menoleh sedikit, tak sengaja mata mereka bertemu dalam jarak yang terlalu dekat. Tatapan itu—dalam, menusuk, membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Hayes seolah baru sadar posisinya. Perlahan ia menegakkan tubuh, menarik napas panjang. “Lanjutkan. Aku tidak akan ganggu lagi.”
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan aroma samar parfum maskulinnya yang masih tertinggal di udara, bersama detak jantung Luna yang belum juga melambat.